Skip to main content

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Judul Buku: Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif
Penulis: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M.
Penerbit: Genta Publishing
Tahun Terbit: Maret 2012
Jumlah halaman: XVI + 128 halaman

Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif.

Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional.

Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi secara teratur yang dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi keduanya. Hukum menjadi suatu sarana (bukan alat) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. (halaman 65-66).

Sungguh ideal. Akan tetapi Teori Hukum Pembangunan justru dalam praktik pembentukan hukum dan penegakan hukum masih mengalami hambatan-hambatan yang dikarenakan sukarnya menentukan tujuan dari perkembangan hukum (pembaruan), sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif, dan sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur berhasil/tidaknya usaha pembaharuan hukum. Yang lebih parah lagi, adanya upaya destruktif pengambil kebijakan yang kerap memanfaatkan celah untuk menggunakan hukum sekedar sebagai alat dengan tujuan memperkuat dan mendahulukan kepentingan kekuasaan daripada kepentingan dan manfaat bagi masyarakat. (halaman 77).

Kondisi demikian yang membuat Satjipto Rahardjo merasa gerah dan memandang ternyata hukum selalu ditempatkan untuk mencari landasan pengesahan atas suatu tindakan yang memegang teguh ciri prosedural dari dasar hukum dan dasar peraturan, serta telah terjadi fenomena hukum menjadi saluran untuk menjalankan keputusan politik. Hukum telah menjadi sarana perekayasaan sosial dan juga sarana rekayasa birokrasi.

Karenanya dikemukakanlah Teori Hukum Progresif yang dikatakan merupakan hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro keadilan. Dengan asumsi dasar hukum adalah untuk manusia, maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum. (halaman 89).

Persamaan dan Perbedaan
Romli Atmasasmita kemudian mencoba memahami persamaan dan perbedaan kedua teori tersebut. Titik persamaan yang ditemukan adalah sama-sama menghendaki agar hukum memiliki peranan jauh ke depan, yaitu memberikan arah dan dorongan perkembangan masyarakat agar tercapai masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera. Peranan hukum bukan sekedar sebagai alat (tools) melainkan harus dipahami sebagai saranan (dinamis) untuk mencapai kemajuan peradaban masyarakat.

Perbedaan kedua teori hukum tersebut ada pada tolak pangkal pemikirannya. Pertama, Mochtar beranjak dari bagaimana memfungsikan hukum dalam proses pembangunan sosial, sedangkan Satjipto beranjak dari kenyataan dan pengalaman tidak bekerjanya hukum sebagai suatu sistem perilaku.

Kedua, Mochtar menegaskan bahwa kepastian hukum dalam arti keteraturan masih harus dipertahankan sebagai pintu masuk menuju ke arah kepastian hukum dan keadilan, sedangkan Satjipto menyatakan, demi kepentingan manusia, maka hukum tidak dapat memaksakan ketertiban kepada manusia, hukum lah yang harus ditinjau kembali dan dijalankan dengan nurani.

Ketiga, bagi Mochtar hukum seyogianya diperankan sebagai sarana (bukan alat) pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering), tetapi Satjipto menegaskan bahwa model pemeranan hukum demikian dikhawatirkan mengasilkan “dark engineering” jika tidak disertai dengan hati nurani (manusia) penegak hukumnya. (halaman 90-91).

Menurut Romli, secara teoritis Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif mendasarkan pada teori hukum yang sama, yaitu sociological jurisprudence dari Roscoe Pound dan pragmatic legal realism dari Eugen Ehrlich. Namun, Teori Hukum Progresif diperkuat dengan pengaruh aliran studi hukum kritis (critical legal studies) yang cenderung apriori terhadap segala keadaan dan bersikap anti-foundationalism.

Teori Hukum Integratif
Romli Atmasasmita pun memandang hukum dapat diartikan dan seharusnya juga diartikan sebagai sistem nilai (system of values), selain hukum merupakan sistem norma (system of norms) sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmaja dan hukum sebagai sistem perilaku (system of behavior) sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo. Ketiga hakikat hukum itulah yang disebut oleh Romli sebagai tripartite character of the Indonesian legal theory of social and bereucratic engineering. Yaitu rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku, dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Pandangan itu yang disebut Teori Hukum Integratif.

Dalam halaman 97, Romli secara terbuka menyatakan, “Inti pemikiran Teori Hukum Integratif adalah merupakan perpaduan pemikiran Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif dalam konteks Indonesia yang terinspirasi oleh konsep hukum menurut Hartz.”

Miskinnya upaya untuk menemukan pemikiran hukum yang khas Indonesia membuat kita serta-merta kerap mengadopsi bulat-bulat pemikiran hukum barat yang belum tentu dapat diterima oleh masyarakat timur. Karenanya inisiatif Romli Atmasasmita, seorang Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, untuk menelurkan sebuah teori baru yang disebut Teori Hukum Integratif memang patut diberi apresiasi.

Buku ini tidak hanya mempromosikan Teori Hukum Integratif dan menggambarkan kedua teori lain yang ada yaitu Teori Hukum Pembangunan danTeori Hukum Progresif, melainkan mencoba untuk mengurai latarbelakang kejadian maupun pemikiran di balik teori-teori tersebut. Tentu saja yang saya maksud, pemikiran-pemikiran barat dibalik munculnya teori-teori khas Indonesia itu. Karenanya buku ini pantas untuk dikonsumsi akademisi dan pemerhati.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...