Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Judul Buku : Menuju Keadilan Global: Pengertian, Mandat dan Pentingnya Statuta Roma
Penulis : Prof. Soetandyo Wignjosobroto, dkk.
Penerbit : ICTJ dan Indonesian Civil Society Coalition for The International Criminal Court
Tahun Terbit : Januari, 2012
Jumlah halaman: xxiv + 220
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsudin, dalam pengantar buku ini menyatakan, terlepas adanya perdebatan dan wacana tentang perlu atau tidaknya Indonesia meratifikasi, pemerintah menetapkan bahwa ratifikasi Statuta Roma penting bagi perlindungan, penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. “Dengan meratifikasi Statuta Roma, bukan saja meneguhkan Indonesia sebagai negara demokrasi yang besar, tetapi Indonesia akan sejajar dengan bangsa-bangsa lain dalam upaya untuk terus-menerus menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi warga negara dan manusia di seluruh dunia.” (halaman xxiii).
Pertanyaannya adalah, apakah implikasi dari ratifikasi Statuta Roma tersebut? Buku ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan mendasar itu dengan melihat dari berbagai sudut pandang dan memaknai kemungkinan yang bisa terjadi. Pada prinsipnya, perdebatan yang terjadi adalah mau atau tidaknya negara mendapat intervensi atas kedaulatan hukum nasionalnya.
Eksistensi Statuta Roma
Prof. Soetandyo Wignjosobroto dalam tulisan yang mengawali buku ini telah menjelaskan sejarah terbitnya Statuta Roma dan kontekstualisasi terhadap kehidupan terkini. Menurut Soetandyo, Statuta Roma muncul atas sebuah kesepakatan berbentuk perjanjian internasional yang bertujuan membentuk suatu Badan Pengadilan Pidana Internasional (the International Criminal Court) yang bersifat permanen guna menuntut dan mengadili oknum yang didakwa melakukan genosida, kejahatan perang, dan/atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang lain. Terlahir dalam sebuah konferensi diplomatik di Roma pada Juli 1998, Statuta Roma berlaku sejak 1 Juli 2002.
Sotandyo mengatakan, mulanya Statuta Roma didasari kontroversi bagaimana kehadiran manusia dalam kehidupan di bumi harus didefinisikan dan dimaknakan. Paradigma pertama mengidentifikasikan manusia sebagai wargabangsa yang berada di dalam yurisdiksi hukum lokal dan/atau nasional dan paradigma kedua yang mengidentifikasikannya sebagai manusia dalam maknanya yang lebih universal sebagaimana dikatakan Ronald Dworkin, “the law which is beyond the law.” Untuk memperjelas maksud tersebut, diketengahkan sejarah Jerman khususnya pada masa Hitler dan pelaksanaan persidangan the Nurenberg Trial (1945).
Melengkapi penjelasan tersebut, Prof. Muladi kemudian menjelaskan secara rinci dan formil pembentukan the International Criminal Court tersebut (halaman 21-36). Menurutnya, Statuta Roma merupakan bentuk keseimbangan antara peranan lembaga nasional dan lembaga internasional atas dasar prinsip incentive dan komplementer. Tentu saja sebagai perjanjian multilateral, Statuta Roma membutuhkan dukungan luas (broad support) tanpa mengorbankan prinsip efektivitas dan keadilan.
Lebih lanjut, Prof. Martino Sardi tidak hanya menguraikan dalam konteks sejarah antarbangsa atas keberadaan Statuta Roma, tetapi juga menjelaskan secara rinci yurisdiksi the International Criminal Court, yaitu terhadap tindak pidana yang oleh keseluruhan masyarakat internasional dianggap paling serius seperti genosida (pembunuhan massal), kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi dengan pengertian masing-masingnya satu persatu.
Rintangan-Rintangan Domestik
Dr. Mohammad Fajrul Falaakh lebih menekankan pada kajian dari perspektif konstitusi dan politik legislasi dalam penerapan Statuta Roma. Menurut Fajrul, the International Criminal Court yang diterjemahkannya menjadi Mahkamah Pidana Internasional (MPI) mempunyai aspek masalah kedaulatan negara yang terkait dengan yurisdiksinya, yaitu materi atau pokok perkara (subject matter jurisdiction) dan sanksi pidana maksimum yang dapat dijatuhkan, subyek hukum yang dapat dikenai pidana atau yurisdiksi personal (personal jurisdiction), batas waktu terjadinya kejahatan yang diancam pidana atau yurisdiksi temporal (temporal jurisdiction), yurisdiksi teritorial (territorial jurisdiction), serta sifat komplementer Statuta Roma dan MPI terhadap hukum pidana nadional (complementarity to national criminal jurisdiction).
Permasalahan kedua yang tak kalah penting adalah kepastian konstitusional tentang status hukum internasional yang diadopsi ke dalam hukum nasional, sedangkan Statuta Roma adalah perjanjian internasional yang tidak membuka reservasi (non-reserved treaty) tetapi membolehkan deklarasi dan penarikan diri (withdrawal). Selain itu, terdapat permasalahan ketiga berupa kerangka pengaturan (regulatory framework) bagi penyelesaian masalah hak-hak manusia di Indonesia beserta masalah harmonisasi hukum nasional terhadap suatu perjanjian internasional yang melarang reservasi dan mengharuskan kerjasama penuh dari negara pihak. (halaman 67-68).
Dalam konteks Indonesia, Fajrul kemudian mengajukan dua pertanyaan yang harus dijawab oleh politik legislasi nasional. Pertama, apakah kejahatan-kejahatan berat yang termasuk dalam kompetensi MPI sebaiknya diadili oleh peradilan umum ataukah peradilan khusus HAM. Kedua, bagaimana hubungan antara Pengadilan HAM yang memiliki kompetensi atas pelanggaran berat HAM (yang juga dicakup oleh MPI), di satu sisi, dengan rekonsiliasi.
Kontekstualisasi Statuta Roma
Tulisan Dr. Artidjo Alkostar, Fuad Maardhatillah UY Tiba, Dr. Andi Widjajanto, Dr. Fadilah Agus lebih menukik pada kontekstualisasi Statuta Roma bila diberlakukan di Indonesia seperti penegakan hukum kasus hak asasi manusia, upaya untuk menyembuhkan masa lalu dan membangun masa depan, pengadopsian doktrin ius ad bellum dalam strategi pertahanan negara, dan dampak terhadap peradilan militer di Indonesia.
Tulisan terakhir dari Abdulkadir Jailani mengenai signifikansi dan kendala ratifikasi Statuta Roma terasa menjawab pertanyaan mengapa Statuta Roma sampai sekarang belum diratifikasi. Jawabannya yaitu telah terjadi mispersepsi (kesalahpahaman) atau kekhawatiran yang berlebihan terhadap MPI. Pertama, adanya kekhawatiran bahwa MPI dapat mengadili kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Kedua, proses penerapan prinsip komplementaritas (complementarity principle) yang menentukan kewenangan MPI dianggap dilakukan melalui proses politik. Ketiga, dominasi kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam MPI dipandang akan menyulitkan posisi Indonesia apabila meratifikasi Statuta Roma. Keempat, ratifikasi Statuta Roma dapat memberikan dampak negatif terhadap hubungan bilateral Indonesia dan Amerika yang akhir-akhir ini sudah membaik. Kelima, Indonesia sebaiknya meratifikasi Statuta Roma menunggu setelah semua hukum nasional siap untuk melaksanakannya di dalam negeri. Keenam, yurisdiksi MPI terhadap kejahatan agresi akan menyulitkan Indonesia apabila meratifikasi Statuta Roma.
Yang tak kalah pentingnya, buku ini juga mengikutkan dua lampiran berupa Kertas Posisi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pengesahan the Rome Statute of International Criminal Court (Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Semua tulisan dalam buku ini memang ingin menunjukkan betapa pentingnya Statuta Roma. Dengan demikian, MPI dapat lebih berperan dalam penegakan hukum dan keadilan di negara kita dengan berpaut pada prinsip the last resort atau ultimum remedium agar sistem peradilan pidana lebih efektif dan mampu melakukan proses peradilan terhadap pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia.
Buku ini memang bermaksud membujuk agar pembuat undang-undang segera meratifikasi Statuta Roma.
Comments