Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Selama tahun 2012, paling tidak
terdapat tiga putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan pengakuan hak
atas tanah. Pertama, Putusan Nomor
45/PUU-IX/2011, bertanggal 21 Februari 2012 telah memberi pertimbangan: “Dalam
suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak
hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan
perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary
powers). Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan
tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku
kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan
perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan
kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan
harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang
akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup
orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan”.
Kedua, Putusan Nomor
32/PUU-VIII/2010, bertanggal 4 Juni 2012 telah memberi pertimbangan:
“Penggunaan kata “dengan memperhatikan” dalam Pasal 10 huruf b UU 4/2009
sebenarnya memiliki makna imperatif yang menegaskan bahwa Pemerintah, saat
menetapkan WP (red--Wilayah Pertambangan),
berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai
bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak
konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapa pun [vide Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945].
Oleh karenanya, untuk lebih memperkuat fungsi kontrol masyarakat terhadap
Pemerintah dan sekaligus untuk menjamin kepastian hukum yang adil baik bagi
masyarakat secara umum maupun masyarakat yang secara khusus berada dalam WP dan
masyarakat yang terkena dampak, termasuk para pelaku usaha pertambangan, serta
demi tercapainya amanah UUD 1945, menurut Mahkamah, fungsi kontrol tersebut
tidak cukup hanya dilakukan melalui forum konsultasi dengan DPR RI, namun juga harus diperkuat melalui fungsi kontrol
yang dilakukan langsung oleh masyarakat,
khususnya masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke
dalam WP dan masyarakat yang akan terkena dampak...”.
Ketiga, Putusan Nomor
34/PUU-IX/2009, bertanggal 6 Juli 2012 memberi pertimbangan: “Dalam wilayah
tertentu dapat saja terdapat hak yang telah dilekatkan atas tanah, seperti hak
milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak-hak lainnya atas tanah.
Hak-hak yang demikian harus mendapat perlindungan konstitusional berdasarkan
Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, penguasaan
hutan oleh negara harus juga memperhatikan hak-hak yang demikian selain hak
masyarakat hukum adat yang telah dimuat dalam norma a quo”.
Pada prinsipnya, ketiga putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut ingin memastikan hak warga negara dan masyarakat
yang memiliki hak atas tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan tetaplah
harus diperhatikan mengingat hak tersebut merupakan merupakan jaminan atas
pembingkaian hak tersebut dalam kerangka hukum negara.
Bentuk-bentuk pemberian hak atas tanah tersebut utamanya merupakan bagian dari kepastian hukum atas penguasaan atau pemilikan atas tanah
yang kerap disebut sebagai kepastian tenurial (tenurial security) yang tidak hanya dari segi hukum, tetapi juga
sebagai jaminan atas upaya untuk memanfaatkan secara ekonomi (economic security) dan kebebasan atas
ancaman lainnya, sehingga jaminan atas hak mempertahankan hidup dan
kehidupannya serta hak atas perlindungan harta benda yang di bawah kekuasaannya
dapat terlindungi
Comments