Skip to main content

K.H. Abdul Fatah Hasan: Mengungkap Multi Tafsir Pasal UUD 1945 tentang Agama

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Pada Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia tanggal 10 Juli 1945 bertempat di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang gedung Kementerian Luar Negeri) yang sedang membicarakan mengenai bentuk negara, Ketua Sidang Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat mengumumkan adanya anggota-angota baru BPUPK, salah satunya adalah K.H. Abdul Fatah Hasan.

Awalnya jumlah anggota BPUPK adalah 60 orang dengan Ketua Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat dan Wakil Ketua Itibangase Yosio beserta R.P. Soeroso, kemudian pada tanggal 10 Juli 1945 diumumkan enam anggota tambahan, yaitu K.H. Abdul Fatah Hasan, R. Asikin Natanegara, BKPA Soerjo Hamidjojo, Ir. Pangeran M. Noor, Mr. M. Besar, dan Abdul Kaffar.

K.H. Abdul Fatah Hasan lahir pada Juli 1912, di Kampung Beji, Desa Bojonegara, Kabupaten Serang. Ia adalah putra pertama seorang pengusaha bernama Haji Hasan Adam dan Hajah Zainab. Setelah menamatkan pendidikan di Perguruan Islam Al-Khairiyah, Citangkil, Cilegon, pada tahun 1933, Abdul Fatah Hasan melanjutkan kuliah ke Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, hingga tahun 1939.

Kontribusi K.H. Abdul Fatah Hasan dalam perumusan konstitusi Indonesia terungkap dalam buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia (1998). K.H. Abdul Fatah Hasan termasuk dalam panitia yang bertugas membahas keuangan dan perekonomian dengan Ketua Mohammad Hatta, akan tetapi, dalam buku risalah tersebut tercatat  K.H. Abdul Fatah Hasan mengomentari hasil Panitia Kecil yang merancang Undang-Undang Dasar, khususnya Pasal 28 ayat (2) mengenai agama dalam Rapat Besar BPUPK tanggal 15 Juli 1945 yang membahas Rancangan Undang-Undang Dasar.

K.H. Abdul Fatah Hasan di atas mimbar menyatakan, “Paduka Tuan Ketua, sidang yang mulia, lebih dahulu saya minta maaf kepada Tuan-tuan, kalau sekiranya pembicaraan saya ini mengulangi apa yang sudah terjadi dalam rapat kemarin atau tadi. Tetapi sebetulnya saya hanya akan minta dengan hormat perhatian Panitia Kecil yang telah merancang anggaran dasar Undang-undang, terutama yang mengenai bab 10 pasal 28, ayat kedua. Saya takut, kalau-kalau ayat kedua itu, menurut hemat saya, menyinggung perasaan kaum muslimin; walaupun saya yakin bahwa maksud dari Panitia Kecil sekali kali tidak seperti yang akan saya gambarkan, tetapi kalau-kalau juga timbul perasaan pada kaum muslimin, bahwa ayat kedua itu mengandung sedikit suggestie halus, yang menimbulkan perkiraan bahwa dalam Negara Republik Indonesia, salah satu kaum muslimin meninggalkan agamanya dan kembali kepada agama yang lain. Oleh sebab itu, saya minta, supaya perkataan "untuk" yang pertama dalam ayat kedua itu diganti dengan perkataan "yang", dan perkataan "dan" di situ, itu dibuang sama sekali, jadi bunyinya teks itu begini: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang memeluk agama lain untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing". Sekian Paduka Tuan Ketua yang terhormat.”

Usulan K.H. Abdul Fatah Hasan tersebut mendapat respon dari Prof. Mr. Dr. Soepomo, Hadji Ah. Sanoesi, Mr. J. Latuharhary, P.F. Dahler, Mr. K.R.M.T. Wongsonagoro, dan Drs. Mohammad Hatta.

Prof. Mr. Dr. Soepomo menyatakan, ada kesalahpahaman kalangan kaum muslimin karena menyangka ayat yang dipermasalahkan tersebut mengandung sugesti halus untuk meninggalkan agamanya. Menurut Soepomo, Panitia tidak bermaksud demikian. Panitia hanya bermaksud bahwa para bangsa Indonesia yang memeluk agama lain tidak usah kuatir tentang kemerdekaan mememluk agama dan beribadat. Lebih lanjut Soepomo menegaskan, “Panitia sama sekali menolak adanya gewetensdwang, ialah paksaan kebatinan terhadap agama itu. Akan tetapi di sini, supaya lebih terang, diusulkan oleh Tuan Abdul Fatah supaya maksud itu terang dan tidak menimbulkan salah faham, ialah supaya diganti dengan "negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang memeluk agama lain untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing’. Jikalau memang dengan berubahnya teks itu maksud Panitia akan lebih terang dan tidak akan melahirkan salah faham, maka Panitia tidak ada keberatan.”

Hadji Ah. Sanoesi dalam kesempatan berikutnya menyatakan, menyetujui usul K.H. Abdul Fatah Hasan. Menurut Sanoesi, sebelumnya dia memang berniat mengajukan usul yang sama dengan K.H. Abdul Fatah Hasan, sehingga dengan adanya usul tersebut dia membatalkan pidatonya.

 Mr. J. Latuharhary lebih sepakat dengan bunyi ayat yang lama. Dia menyatakan, “Kalau kita menerima usul anggota Tuan Abdul Fatah, maka ayat itu dibaca demikian: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang memeluk agama lain", lalu artinya menjadi hilang. Sebab maksud Panitia, yaitu menghormati agama, bukan menghormati orang yang memeluk agama, tetapi menghormati agama. Jadi, kalau diganti, dengan "untuk yang memeluk", artinya berlainan; oleh sebab itu saya ada keberatan. Saya minta supaya ayat bunyinya tetap seperti yang diajukan oleh Panitia Kecil itu.”

P.F. Dahler kemudian mengusulkan bunyi ayat yang baru untuk mengakomodir sugesti yang terasa oleh K.H. Abdul Fatah Hasan dan disetujui oleh Hadji Ah. Sanoesi tersebut, yaitu "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan akan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing". Selengkapnya Dahler menyatakan, “Tuan Ketua yang terhormat, barangkali dapat saya menerangkan kesulitan yang dikemukakan oleh saudara Abdul Fatah ini. Kalau perkataan di alinea 2 diubah begini: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan akan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing", jadi menurut pikiran saya sugesti yang terasa oleh anggota Fatah dan disetujui oleh anggota Sanoesi,juga merasa hilang sama sekali jadi: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan akan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing".”

Mr. K.R.M.T. Wongsonagoro menyatakan pendapatnya, “Paduka Tuan Ketua, ayat itu sesungguhnya bersandar juga atas pembicaraan Panitia, dan seolah-olah mengandung maksud lain daripada terhadap si-pemeluk yang bukan Islam. Dalam pembicaraan dalam Panitia Kecil, maka sebelum itu, diusulkan adanya ayat ke-3, tetapi hasil pembicaraan Panitia Kecil ialah bahwa ayat 3 dihapuskan sehingga maksudnya lalu termaktub dalam ayat 2 itu. Dari itu, meskipun maksud kalimat sesuai dengan maksud para anggota pembicara malam ini, akan tetapi ada arti lain; dan di samping maksud terhadap pemeluk agama dalam arti kata kepercayaan, oleh para anggota dirasakan, bahwa dengan usul ini lenyap segala sesuatu, yang barangkali, oleh sebab ayat 1, akan mengandung bahaya penggantian agama lagi untuk pemeluk agama lain yang akan menjalankan syarat-syarat agama. Meskipun pendapat itu hanya disetujui atau diakui oleh sementara anggota saja, tetapi semata-mata untuk menyingkatkan pembicaraan, maka disetujui pula bahwa ayat 3 dihapuskan dan diadakan ayat 2 yang disajikan malam ini. Dari itu perlu kami tegaskan dengan pemyataan, bahwa itu semata-mata sebagai kompromis yang saya setujui.”

Drs. Mohammad Hatta selanjutnya menyatakan menyetujui saran dari P.F. Dahler. “Paduka Tuan Ketua! Saya kira bahwa yang diusulkan oleh Tuan Dahler baiklah diterima, oleh karena dalam teks itu tersebut segala agama. Jadi, yang bisa menimbulkan perasaan kurang senang bagi ini dan itu baik diganti dengan "agamanya masing-masing", sehingga mengenai segala agama.”

Bahkan Prof. Mr. Dr. Soepomo juga menyetujui saran dari P.F. Dahler. Soepomo berkata, “Saya juga mufakat dengan usul Tuan Dahler yang terang sekali tidak akan menimbulkan salah faham. Jadi, begitu; Ayat ke-2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing".”

Semua anggota rapat kemudian menyatakan mufakat. K.H. Abdul Fatah Hasan juga menyatakan demikian. “Saya juga mufakat dengan apa yang diusulkan oleh anggota yang terhormat Tuan Dahler dan saya terima yang ada dalam pergantiannya,” ujarnya. Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat  kemudian mengesahkan hasil rapat tersebut. Perdebatan tersebut ditutup dengan pernyataan, “Jadi, kita terima pergantian perkataan: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing". Sudah diterima dengan bulat.

Pada kenyataannya, norma tersebut kemudian masuk dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan berbunyi menjadi, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Hal demikian ditetapkan dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam Rapat Besar lanjutan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7 bertanggal 15 Februari 1946 dan tetap demikian bunyinya tanpa perubahan bahkan setelah empat kali perubahan dari tahun 1999-2002.  Demikian sekelumit pembicaraan dalam BPUPK yang diawali sebuah usulan dan pernyataan dari K.H. Abdul Fatah Hasan.

H. Sutomo Abdul Fatah Hasan anak dari K.H. Abdul Fatah Hasan dalam korespondensi Forum Silaturahmi Masyarakat Banten pernah menjelaskan keberadaan K.H. Abdul Fatah Hasan lebih lanjut. Menurutnya, setelah Agresi militer Belanda  yang kedua, tentara Belanda menangkap ayahnya yang sedang bergerilya di Gunung Batur Banten pada tahun 1949. K.H. Abdul Fatah Hasan waktu itu menjabat sebagai wakil Bupati Serang dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Setelah berhari-hari ditangkap dan yang lain-lain telah dibebaskan, K.H. Abdul Fatah Hasan belum juga dibebaskan. Bahkan sejak tertangkap hingga kini tidak diketahui dimana kuburannya. Menurut H. Sutomo Abdul Fatah Hasan, keluarganya sempat mencari keberadaan beliau setelah Belanda pergi dari Indonesia, tapi hasilnya nihil. Akhirnya pada tahun 1992, Presiden Republik Indonesia menganugrahkan beliau Bintang Mahaputra dan dijadikan sebagai salah satu Pahlawan Nasional dan penyerahannya dilakukan di Istana Negara. Nama beliau pun dijadikan nama jalan di daerah Ciceri, Serang, Banten.

Daftar Bacaan
2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (RMAB. Kusuma).
1998. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Penyunting: Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati).
[http://ldm-alkhairiyah.blogspot.com/2009/12/kh-abdul-fatah-hasan-1912-1949.html] diakses 8 Mei 2014.
[https://groups.yahoo.com/neo/groups/WongBanten/conversations/topics/4442] diakses 8 Mei 2014.    

      #Telah dimuat di Majalah Konstitusi 2014




Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...