Skip to main content

ASOSIASI ADVOKAT KONSTITUSI TIDAK PUNYA LEGAL STANDING

Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK) yang diwakili Bahrul Ilmi Yakup, S.H., dan Dhabi K. Gumayra, S.H. dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 14 ayat (1) butir i dan ayat (2) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).

Dalam sidang pembacaan putusan yang berlangsung di ruang sidang lantai 1 gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jalan Medan Merdeka barat No. 7 Jakarta Pusat Rabu siang ini (1/3/2006), MK berpendapat, tidak ada hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau potensial yang dirugikan, yang timbul dari hubungan sebab akibat (causal verband) berlakunya Pasal 14 ayat (1) butir i dan ayat (2) UU Pemasyarakatan.

UU Pemasyarakatan memuat norma Pasal 14 ayat (1) butir i yang menyatakan, narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Selanjutnya penjelasannya mengungkapkan, diberikan hak tersebut setelah narapidana yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 14 ayat (2) menentukan, ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Sedangkan penjelasannya cuma mengatakan cukup jelas.

MK menyatakan, dalam persidangan para pemohon tidak tergolong narapidana dan tidak pula mewakili kepentingan narapidana, oleh karena itu tidak terdapat kerugian konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau potensial. Kalaupun para pemohon mendalilkan bahwa AAK memiliki visi untuk melaksanakan penegakan hukum dan HAM secara integral dalam arti seluas-luasnya dan berkepentingan agar UUD 1945 dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen, MK menilai bahwa visi tersebut bersifat terlalu umum, tidak spesifik. Visi AAK tersebut tidak dapat dijadikan jalan masuk (entry point) untuk membangun konstruksi hukum sehingga para pemohon seolah-olah mempunyai kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau potensial dengan berlakunya Pasal 14 ayat (1) butir i dan ayat (2) UU Pemasyarakatan, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU tentang Mahkamah Konstitusi.

Dengan tidak dipenuhinya syarat tersebut, permohonan AAK tidak dapat diterima (niet ontvankeljk verklaard). (Luthfi W.E.)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=79

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan