Skip to main content

KORBAN PELANGGARAN HAM TOLAK AMNESTI BAGI PELANGGAR HAM BERAT

Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan Sidang Panel Pengujian UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR), yang diajukan oleh Asmara Nababan, dkk melalui Tim Advokasi Keadilan dan Kebenaran yang berisikan advokat dan pembela umum dari LBH Jakarta, Kontras, SNB, Imparsial, Yaphi dan Elsam, pagi ini Rabu 3 Mei 2006 jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK lantai 1 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Pada sidang yang lalu (12/4), Asmara Nababan, dkk diwakili oleh para kuasa hukumnya menjelaskan bahwa UU KKR tidak memenuhi jaminan-jaminan yang diberikan UUD 1945. Hal ini terkait dengan hak-hak korban pelanggaran HAM yang tidak terpenuhi dengan diberlakukannya UU tersebut. Hak tersebut diantaranya adalah hak atas pemulihan yang digantungkan dengan keadaan lain yaitu amnesti (Pasal 27 UU KKR), dan hak korban untuk menempuh upaya hukum (Pasal 44 UU KKR).

Selain kedua pasal tersebut, para pemohon juga menggugat Pasal 1 ayat (9) UU KKR yang menyebutkan, amnesti adalah pengampunan yang diberikan Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Menurut mereka, Indonesia sebagai negara yang demokratis dan beradab, maka UUD 1945 sebagai dasar negara juga mengakui prinsip hukum yang telah diakui di seluruh dunia. "Amnesti tidak dapat diberikan terhadap pelanggaran HAM yang berat," kata Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M kuasa hukum para Pemohon dari LBH Jakarta.

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M dalam sidang pleno yang lalu memberi saran agar permohonan tersebut memberikan penjelasan kerugian konstitusional para pemohon. Selain itu Natabaya meminta agar ada penjelasan detail mengenai korban pelanggaran HAM yang mengajukan permohonan perkara nomor 006/PUU-IV/2006 ini.

Senada dengan itu Hakim Konstitusi Dr. Harjono, S.H., MC.L meminta para pemohon agar menjelaskan kualifikasi masing-masing pemohon dan meminta agar ada penjelasan hak konstitusional apa saja yang dilanggar dengan pemberlakuan UU ini. �Hak konstitusional adalah hak yang ada di UUD 1945,� jelas Harjono. Dalam kesempatan itu Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H. meminta agar disusun daftar alat bukti serta daftar nama ahli dan saksi yang akan diajukan pemohon.

Sidang kali ini (3/5) beragendakan pemeriksaan pendahuluan pasca perbaikan permohonan. Pada kesempatan ini kuasa hukum para pemohon Taufik Basari menjelaskan perbaikan-perbaikan permohonan yang telah dilakukannya termasuk penjelasan kerugian konstitusional para pemohon dan penjelasan detail siapa saja yang dimaksud dengan korban pelanggaran HAM yang mengajukan permohonan. Akan tetapi, Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M kembali menanyakan penyebutan istilah korban oleh siapa. menanggapi hal itu kuasa hukum para Pemohon yang terdiri dari para aktivis, organisasi yang dibentuk oleh para korban pelanggaran HAM 1965, korban kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998, dan korban yang merupakan bekas tahanan politik tanpa proses persidangan dalam peristiwa G-30/S menjelaskan kriteria korban sebagian berdasarkan data dari Komnas HAM.

Sebelum sidang ditutup dengan pengesahan alat bukti, Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H. meminta agar daftar alat bukti serta daftar nama ahli dan saksi yang akan diajukan pemohon sesegera mungkin diajukan ke panitera apabila ada perubahan.(Luthfi W.E.)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=122

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan