Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan Sidang Panel Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) yang diajukan 31 Hakim Agung pada Rabu 2 Mei 2006 jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK lantai 1 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.
Sidang yang beragendakan mendengar keterangan pemerintah, DPR, Komisi Yudisial dan para perumus UUD 1945 tersebut dihadiri pemerintah yang diwakili oleh Dr. Hamid Awaludin, S.H., DPR diwakili oleh Drs. H. Lukman Hakim Syaefudin, Komisi Yudisial diwakili M. Thahir Saimima, dan para saksi yang merupakan mantan anggota PAH I BP. MPR, yaitu: Harun Kamil, S.H., Mayjen. Pol. (Purn) Drs. Sutjipno, Drs. Sutjipto, S.H., Drs. Baharudin Aritonang, M. Hum., dan Patrialis Akbar, S.H.
Drs. H. Lukman Hakim Syaefudin yang merupakan anggota Tim Kuasa DPR pada kesempatan itu menjelaskan bahwa dalam penyusunan naskah perubahan UUD 1945, ada semangat terjadinya check and balances, saling mengimbangi dan saling kontrol di antara lembaga negara yang ada, termasuk juga terhadap Mahkamah Agung. "Karena selama ini, para Hakim Agung khususnya, yang istilahnya tidak tersentuh," ujarnya.
Menurut Lukman, istilah Komisi Yudisial sebenarnya awal mula diperkenalkan atau di sampaikan oleh Bapak Iskandar Kamil, selaku Hakim Agung dari Mahkamah Agung yang intinya ingin memberikan bagaimana martabat keluhuran para hakim betul-betul bisa terjaga.
Dr. Hamid Awaludin, S.H. dalam keterangan lisannya juga menyampaikan kepentingan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang tugas dan fungsinya bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, walaupun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Menurut Hamid, Komisi Yudisial memiliki tugas untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim.
"Hal ini sebagai kehendak yang kuat dari pembuat undang-undang agar dapat terwujud mekanisme saling mengontrol dan saling mengendalikan check and balances terhadap pelaksanaan independensi kekuasaan kehakiman dan cabang-cabang kekuasaan lainnya," kata Hamid.
Harun Kamil, S.H. yang diminta datang sebagai saksi menjelaskan, di dalam perumusan perubahan UUD 1945, walaupun tidak ada secara tegas disebutkan kewenangan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan hakim, apa yang disimpulkan dari seluruh rangkaian pembicaraan yang ada pada kewenangan Komisi Yudisial adalah telah sampai pada tingkat Mahkamah Agung.
"Hanya saja Komisi Yudisial tidak pernah untuk mengajukan hak pemberhentian karena pengawasan itu, sedangkan hakim konstitusi sama sekali tidak disinggung dalam pembicaraan di PAH I maupun di tingkat pembicaraan lainnya di MPR, kecuali yang disampaikan oleh Dr. Mariah R. Sumardjono," ungkap Ketua PAH I BP. MPR yang merumuskan perubahan UUD 1945 terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial.
Senada dengan itu Patrialis Akbar, S.H. mantan anggota PAH I BP. MPR menjelaskan, berkenaan dengan kalimat perilaku hakim di dalam kalimat terakhir Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 memang dimaksudkan kepada perilaku hakim menyeluruh, dengan tidak terbatas pada hakim tertentu saja, akan tetapi pada seluruh hakim sebagaimana ditegaskan dalam buku panduan memasyarakatkan UUD 1945. Menurut Patrialis, buku ini dibuat oleh semua anggota PAH I bersama-sama dengan Pimpinan MPR pada waktu itu dan diterbitkan pada tahun 2004.
Di dalam buku tersebut terutama dalam halaman 195 dan 196 menuntun para anggota MPR dalam memasyarakatkan Pasal 24B antara lain menyebutkan: "adanya ketentuan ini didasari pemikiran bahwa Hakim Agung yang duduk di MA dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan penegakan hukum dan keadilan. Apalagi Hakim Agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi/puncak dalam susunan peradilan di Indonesia sehingga menjadi tumpuan harapan bagi para pencari keadilan".
"Jadi di sini dinyatakan dalam halaman 195-196 serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakan peradilan yang handal dan realisasi faham Indonesia adalah negara hukum," kata Patrialis. (Luthfi W.E.)
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=128
Sidang yang beragendakan mendengar keterangan pemerintah, DPR, Komisi Yudisial dan para perumus UUD 1945 tersebut dihadiri pemerintah yang diwakili oleh Dr. Hamid Awaludin, S.H., DPR diwakili oleh Drs. H. Lukman Hakim Syaefudin, Komisi Yudisial diwakili M. Thahir Saimima, dan para saksi yang merupakan mantan anggota PAH I BP. MPR, yaitu: Harun Kamil, S.H., Mayjen. Pol. (Purn) Drs. Sutjipno, Drs. Sutjipto, S.H., Drs. Baharudin Aritonang, M. Hum., dan Patrialis Akbar, S.H.
Drs. H. Lukman Hakim Syaefudin yang merupakan anggota Tim Kuasa DPR pada kesempatan itu menjelaskan bahwa dalam penyusunan naskah perubahan UUD 1945, ada semangat terjadinya check and balances, saling mengimbangi dan saling kontrol di antara lembaga negara yang ada, termasuk juga terhadap Mahkamah Agung. "Karena selama ini, para Hakim Agung khususnya, yang istilahnya tidak tersentuh," ujarnya.
Menurut Lukman, istilah Komisi Yudisial sebenarnya awal mula diperkenalkan atau di sampaikan oleh Bapak Iskandar Kamil, selaku Hakim Agung dari Mahkamah Agung yang intinya ingin memberikan bagaimana martabat keluhuran para hakim betul-betul bisa terjaga.
Dr. Hamid Awaludin, S.H. dalam keterangan lisannya juga menyampaikan kepentingan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang tugas dan fungsinya bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, walaupun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Menurut Hamid, Komisi Yudisial memiliki tugas untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim.
"Hal ini sebagai kehendak yang kuat dari pembuat undang-undang agar dapat terwujud mekanisme saling mengontrol dan saling mengendalikan check and balances terhadap pelaksanaan independensi kekuasaan kehakiman dan cabang-cabang kekuasaan lainnya," kata Hamid.
Harun Kamil, S.H. yang diminta datang sebagai saksi menjelaskan, di dalam perumusan perubahan UUD 1945, walaupun tidak ada secara tegas disebutkan kewenangan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan hakim, apa yang disimpulkan dari seluruh rangkaian pembicaraan yang ada pada kewenangan Komisi Yudisial adalah telah sampai pada tingkat Mahkamah Agung.
"Hanya saja Komisi Yudisial tidak pernah untuk mengajukan hak pemberhentian karena pengawasan itu, sedangkan hakim konstitusi sama sekali tidak disinggung dalam pembicaraan di PAH I maupun di tingkat pembicaraan lainnya di MPR, kecuali yang disampaikan oleh Dr. Mariah R. Sumardjono," ungkap Ketua PAH I BP. MPR yang merumuskan perubahan UUD 1945 terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial.
Senada dengan itu Patrialis Akbar, S.H. mantan anggota PAH I BP. MPR menjelaskan, berkenaan dengan kalimat perilaku hakim di dalam kalimat terakhir Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 memang dimaksudkan kepada perilaku hakim menyeluruh, dengan tidak terbatas pada hakim tertentu saja, akan tetapi pada seluruh hakim sebagaimana ditegaskan dalam buku panduan memasyarakatkan UUD 1945. Menurut Patrialis, buku ini dibuat oleh semua anggota PAH I bersama-sama dengan Pimpinan MPR pada waktu itu dan diterbitkan pada tahun 2004.
Di dalam buku tersebut terutama dalam halaman 195 dan 196 menuntun para anggota MPR dalam memasyarakatkan Pasal 24B antara lain menyebutkan: "adanya ketentuan ini didasari pemikiran bahwa Hakim Agung yang duduk di MA dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan penegakan hukum dan keadilan. Apalagi Hakim Agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi/puncak dalam susunan peradilan di Indonesia sehingga menjadi tumpuan harapan bagi para pencari keadilan".
"Jadi di sini dinyatakan dalam halaman 195-196 serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakan peradilan yang handal dan realisasi faham Indonesia adalah negara hukum," kata Patrialis. (Luthfi W.E.)
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=128
Comments