Skip to main content

MEMAHAMI FRASA "DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA ATAU PEREKONOMIAN NEGARA"

Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang pengujian materil Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1990 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTKP) hari ini, Selasa, (21/3/2006) jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK lantai 1 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Permohonan perkara 003/PUU-IV/2006 ini diajukan oleh Ir. Dawud Djatmiko karyawan PT. Jasa Marga yang telah ditahan sejak 28 Juni 2005 sampai sekarang akibat pemberlakuan pasal tersebut.

Dalam permohonannya, Djatmiko yang diwakili oleh kuasa hukumnya Kasdin Simanjuntak, Yon Richardo dkk menyatakan, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTKP yang mencantumkan kata-kata ?dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara? dalam penjelasannya menerangkan bahwa kata ?dapat? sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dengan demikian maka kata ?dapat? mempunyai pengertian tindak pidana korupsi yang telah merugikan negara secara nyata dan tindak pidana yang tidak merugikan negara (kerugian negara tidak terjadi).

Lebih lanjut dijelaskan, kedua permohonan tersebut secara prinsipil sangat jauh berbeda dan bahkan bertolak belakang, sehingga perbuatan menyamakan ancaman terhadap dua kondisi yang sangat berbeda prinsipil tersebut jelas tidak memberikan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum, sehingga sangat bertentangan dengan Pasal 28 huruf D ayat (1) UUD 1945.

Dalam sidang panel yang dipimpin oleh hakim konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. tersebut terkemuka saran yang disampaikannya berkaitan dengan kewenangan dan legal standing pemohon yang belum disinggung dalam permohonannya. Hakim konstitusi Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. juga menyatakan hal yang sama. Mukhtie menambahkan, dalam lampiran permohonan dicantumkan saksi yang akan diajukan ini adalah Pemohon, padahal sekarang dalam tahanan. Dengan demikian Dawud adalah pemohon prinsipal. Menurut Mukhtie, dengan alat-alat bukti seperti dakwaan dan sebagainya sudah cukup, jadi sudah diwakili karena Dawud mungkin tidak bisa dihadirkan. Mukhtie juga menyarankan, ahli yang akan diajukan sebaiknya dilengkapi dengan riwayat hidup dan diajukan ke Panitera. ?Nanti pada persidangan yang akan datang, pada persidangan pleno tentu akan didengar,? jelasnya.

Hakim konstitusi Soedarsono, S.H. menjelaskan, di dalam permohonan Pemohon menyebutkan provisi (keputusan sementara?red), padahal di dalam hukum acara MK khususnya mengenai pengujian undang-undang tidak dikenal provisi, ?tapi kendati pun begitu kalau memohon ya boleh saja, tapi terpulang nanti pleno, apakah mengabulkan atau tidak,? kata Soedarsono.

Sidang ditutup dengan pengesahan alat bukti oleh ketua panel hakim Laica Marzuki, walau demikian ternyata masih ada alat bukti yang akan disampaikan lagi. Menanggapi itu Laica berkata,? diberi waktu paling lambat 14 hari.? Menurut Laica, bila melampaui batas waktu 14 berarti melepaskan haknya. (Luthfi W.E.)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=98

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan