Skip to main content

MEMBANGUN RES PUBLICA

Mengapa founding person kita memilih negara kesatuan, hal itu tidak terlepas dari proses sejarah yang sudah dialami bangsa ini. Kalimat tersebut diucapkan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dalam acara Forum Konstitusi yang diadakan RRI Pro 3, Selasa sore lalu (26/2/2006). Acara yang rutin setiap Selasa sore jam 17.00-18.00 WIB oleh RRI Pro 3 bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi itu mengupas habis permasalahan konstitusi di Indonesia.

Pada kesempatan itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengangkat tema terkait dengan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Menurut Palguna, berdasarkan fakta empiris, bentuk negara kesatuan inilah yang paling cocok. Setidak-tidaknya asumsi itu masih bertahan hingga saat ini.

Pengalaman sejarah 350 tahun yang panjang dalam proses penjajahan, lalu perjuangan kemerdekaan sporadis di daerah-daerah, telah menjadi pengalaman yang berharga bahwa inilah pilihan terbaik. "Sehingga bangsa yang sedemikian beragam, bangsa yang sedemikian beraneka, baik dari sudut suku, agama dan bentuk-bentuk pembeda sosial lainnya merasa bahwa pilihan itu yang paling baik dan paling cocok," kata hakim konstitusi yang dulunya mantan penyiar RRI juga ketika masih mahasiswa dan dosen.

Menanggapi komentar pendengar, Palguna menjelaskan, pilihan menjadi republik mengandung dua esensi, pertama, Indonesia adalah negara kesatuan, bukan negara federal. Dan kedua, Indonesia adalah negara kesatuan, bukan kerajaan. Mengutip pidato Bung Hatta yang terkenal, Palguna mengungkapkan, yang ingin kita bangun adalah negara pengurus, res publica. Biarlah rakyat yang mengurus dan tidak dibangun dengan tatanan sistem feodal zaman sebelum kita merdeka, yang ternyata menurut pandangan para pendahulu kita pada masa itu dianggap kurang tepat.

Pilihan menentukan republik ini di samping mencerminkan suasana semangat pada masa itu, yaitu semangat kemerdekaan dan pemerintahan rakyat pada masa itu, sampai saat ini juga res publica tetap menjadi cita-cita ideal. Palguna mengatakan, negara pengurus itu mensyaratkan sebuah proses, di mana warga negara ikut aktif terlibat. "Warga negaralah yang pada dasarnya menentukan apa yang terbaik untuk mereka, apa yang akan mereka lakukan dan putusan politik apa yang diambil," tegas Palguna.

Menjawab pertanyaan pendengar terkait dengan federalisme, Palguna menganggap munculnya isu federalisme sesungguhnya dipicu dan mengemuka karena ketidakpuasan sosial. Pada dasarnya orang hidup bernegara itu inginnya sejahtera, adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Ada kondisi sosial di mana keadilan itu dianggap belum terjelma sepenuhnya dan kemudian pemerataan kesejahteraan itu tidak terjadi di seluruh wilayah tanah air. "Lalu di situ orang menarik kesimpulan bahwa bentuk negaranya salah," ujar Palguna.

Menurut Palguna, problem-nya bukan disitu. Ada juga negara kesatuan yang sejahtera, contohnya Inggris. Palguna mengungkapkan, masalahnya lebih pada persoalan bagaimana negara ini dikelola berdasarkan ketentuan konstitusi. Apakah konstitusinya memungkinkan penguasa untuk memberikan tafsir yang berbeda seperti yang diinginkan konstitusi. Ini yang mungkin menjadi persoalan pada waktu UUD 1945 masih belum mengalami perubahan. "Ini sebenarnya semangat perubahan UUD 1945, bila sebelum perubahan pasal-pasalnya masih sangat sumir, maka salah satu tuntutan perubahan itu adalah agar Pasal-Pasal UUD 1945 harus lebih rinci." kata Palguna. (Luthfi W.E.)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/forum.php?forumcode=17&id=1

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...