Mahkamah Konstitusi (MK) mengadakan sidang untuk memeriksa perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan oleh Drs. H. M. Saleh Manaf (Bupati Bekasi) dan Drs. Solihin Sari (Wakil Bupati Bekasi) terhadap Presiden RI (Termohon I), Menteri Dalam Negeri (Termohon II) dan juga DPRD Bekasi (Termohon III). Sidang tersebut dilaksanakan pada Selasa, 16 Mei 2006 jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.
Sidang ini dihadiri Pemohon dan kuasa hukumnya, Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution, S.H., dkk, serta kuasa hukum Termohon I Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Menteri sekretaris Negara), kuasa hukum Termohon II Nata Iswara (staf ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Politik dan Hukum) dan Termohon III Drs. H. Sa'adudin, MM.(Ketua DPRD Bekasi).
Pada kesempatan itu hadir pula ahli Termohon I yaitu: Harun Kamil S.H., Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Drs. Slamet Efendi Yusuf, M.Si., ahli dari Pemohon yaitu: Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., Topo Santoso, S.H., M.H. dan Prof. Dr. Ryaas Rasyid. Selain itu dihadirkan pula saksi dari Pemohon Drs. Adil Makmur Sentosa dan Drs. H. Masyhuri Malik.
Topo Santoso, S.H., M.H. dalam keterangan lisannya menyampaikan bahwa pada prinsipnya pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati Bekasi merupakan tindakan yang bertentangan dengan sifat dan ketentuan pemilihan kepala daerah yang demokratis.
Menanggapi pertanyaan kuasa pemohon, Prof. Dr. Ryaas Rasyid menyatakan, dalam keadaan normal, pemberhentian (bupati/wakil bupati) bisa karena penyelewengan atau kesalahan yang luar biasa, termasuk terjadinya penyideraan terhadap citra pemerintahan. "Normalnya itu diusulkan oleh DPRD dan tergantung pemerintah pusat untuk meneliti dan memutuskan, apakah usul DPRD itu diterima atau tidak," kata Rasyid.
Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. menjelaskan, ada dua sengketa kewenangan yang terjadi. Pertama, pemberhentian secara inkonstitusional Pemohon terjadi karena Pemohon diberhentikan tidak secara demokratis. Padahal Pemohon sebagai organ konstitusi mempunyai hak konstitusional untuk dipilih secara demokratis. "Artinya, pemberhentiannya juga harus secara demokratis," kata Denny. Menurutnya Termohon II (Menteri Dalam Negeri) telah memberhentikan Pemohon secara tidak demokratis karena mendasarkan kepada PTUN.
Kedua, sengketa kewenangan konstitusional DPRD Bekasi (Termohon III) yang tidak melaksanakan kewenangan konstitusionalnya. "Karena tidak melaksanakan kewenangan konstitusional itu maka kewenangan konstitusional Pemohon terganggu," ujar Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum UGM ini.
Hamdan Zoelva, S.H., M.H. pada kesempatan itu menyatakan, tidak bisa suatu lembaga Negara yang kewenangannya tidak secara eksplisit diberikan oleh UUD 1945 mempersengketakan putusan lembaga negara yang sifatnya horizontal. Terkait dengan kementerian negara, menurut Hamdan, kementerian negara bisa ditafsirkan sebagai satu lembaga negara tapi bukan lembaga negara yang bisa bersengketa. Karena kementerian negara pada konteksnya tidak punya kewenangan yang secara eksplisit diberikan oleh UUD 1945. "Jadi menteri negara tidak bisa bersengketa pada Mahkamah Konstitusi, walaupun orang bisa menafsirkan itu adalah lembaga Negara," kata mantan anggota PAH III BP MPR tersebut.
Senada dengan itu Drs. Slamet Efendi Yusuf, M.Si. menyatakan, menteri atau kementerian bukan merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. "Karena yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar adalah Presiden yang mengangkat dia (menteri)," katanya. (Luthfi W.E.)
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=144
Sidang ini dihadiri Pemohon dan kuasa hukumnya, Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution, S.H., dkk, serta kuasa hukum Termohon I Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Menteri sekretaris Negara), kuasa hukum Termohon II Nata Iswara (staf ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Politik dan Hukum) dan Termohon III Drs. H. Sa'adudin, MM.(Ketua DPRD Bekasi).
Pada kesempatan itu hadir pula ahli Termohon I yaitu: Harun Kamil S.H., Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Drs. Slamet Efendi Yusuf, M.Si., ahli dari Pemohon yaitu: Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., Topo Santoso, S.H., M.H. dan Prof. Dr. Ryaas Rasyid. Selain itu dihadirkan pula saksi dari Pemohon Drs. Adil Makmur Sentosa dan Drs. H. Masyhuri Malik.
Topo Santoso, S.H., M.H. dalam keterangan lisannya menyampaikan bahwa pada prinsipnya pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati Bekasi merupakan tindakan yang bertentangan dengan sifat dan ketentuan pemilihan kepala daerah yang demokratis.
Menanggapi pertanyaan kuasa pemohon, Prof. Dr. Ryaas Rasyid menyatakan, dalam keadaan normal, pemberhentian (bupati/wakil bupati) bisa karena penyelewengan atau kesalahan yang luar biasa, termasuk terjadinya penyideraan terhadap citra pemerintahan. "Normalnya itu diusulkan oleh DPRD dan tergantung pemerintah pusat untuk meneliti dan memutuskan, apakah usul DPRD itu diterima atau tidak," kata Rasyid.
Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. menjelaskan, ada dua sengketa kewenangan yang terjadi. Pertama, pemberhentian secara inkonstitusional Pemohon terjadi karena Pemohon diberhentikan tidak secara demokratis. Padahal Pemohon sebagai organ konstitusi mempunyai hak konstitusional untuk dipilih secara demokratis. "Artinya, pemberhentiannya juga harus secara demokratis," kata Denny. Menurutnya Termohon II (Menteri Dalam Negeri) telah memberhentikan Pemohon secara tidak demokratis karena mendasarkan kepada PTUN.
Kedua, sengketa kewenangan konstitusional DPRD Bekasi (Termohon III) yang tidak melaksanakan kewenangan konstitusionalnya. "Karena tidak melaksanakan kewenangan konstitusional itu maka kewenangan konstitusional Pemohon terganggu," ujar Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum UGM ini.
Hamdan Zoelva, S.H., M.H. pada kesempatan itu menyatakan, tidak bisa suatu lembaga Negara yang kewenangannya tidak secara eksplisit diberikan oleh UUD 1945 mempersengketakan putusan lembaga negara yang sifatnya horizontal. Terkait dengan kementerian negara, menurut Hamdan, kementerian negara bisa ditafsirkan sebagai satu lembaga negara tapi bukan lembaga negara yang bisa bersengketa. Karena kementerian negara pada konteksnya tidak punya kewenangan yang secara eksplisit diberikan oleh UUD 1945. "Jadi menteri negara tidak bisa bersengketa pada Mahkamah Konstitusi, walaupun orang bisa menafsirkan itu adalah lembaga Negara," kata mantan anggota PAH III BP MPR tersebut.
Senada dengan itu Drs. Slamet Efendi Yusuf, M.Si. menyatakan, menteri atau kementerian bukan merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. "Karena yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar adalah Presiden yang mengangkat dia (menteri)," katanya. (Luthfi W.E.)
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=144
Comments