Skip to main content

PEMBERHENTIAN SEMENTARA KEPALA DAERAH VS PRESUMPTION OF INNOCENT

Mahkamah Konstitusi(MK) menggelar sidang pleno pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 31 ayat (1) pada hari Rabu (22/2/2006) jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK lantai 1, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Pengujian ini dimohon oleh Muhammad Madel, Bupati Sorolangun Jambi yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 31 ayat (1) UU Pemda yang menyebutkan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

Menurut Madel, Pasal 31 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena sangat tidak adil dan demokratis seseorang yang belum ada kepastian hukum (Inkrach van Gewijh) tetapi sudah diusulkan untuk diskorsing (pemberhentian sementara). Madel menganggap hal tersebut telah melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), dengan demikian bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Kejadian yang menimpa Madel yaitu sudah diusulkannya dirinya oleh Gubernur Provinsi Jambi untuk diberhentikan sementara akibat penerapan pasal tersebut, dianggapnya telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Sidang pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie ini beragenda untuk mendengarkan keterangan pemerintah, DPR dan ahli dari pemohon. Sidang ini dihadiri Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, Menteri Dalam Negeri Moh. Ma'ruf dan anggota DPR Nursyahbani Katjasungkana. Pemohon mendatangkan Dr. Jawahir Tantowi, S.H. pakar hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta untuk menjadi ahli dalam persidangan ini.

Hamid Awaludin dalam keterangan lisannya menyatakan, tidak benar kalau dikatakan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda merupakan instrumen untuk menggampangkan non aktif seseorang. Karena menurut Hamid, berdasarkan penjelasan pasal tersebut, non aktif dilakukan saat berkas perkara sudah di level penuntutan pengadilan. Ketika rumusan di buat oleh pemerintah dan DPR, terbayang oleh pembuat UU tersebut bahwa dalam rangka menjaga independensi dan imparsiality pengadilan yang mengadili, maka harus ada pasal yang bisa membuat pengadilan benar-benar bersifat independen dan imparsial. Hamid membuat contohnya, yaitu pada saat seorang pejabat, gubernur atau bupati di daerah ketika berhadapan dengan pengadilan masih menyandang status jabatannya. Untuk menghindari itu, DPR dan pemerintah saat membuat pasal ini membayangkan pejabat tersebut harus lebih dulu diberhentikan sementara dari jabatannya.

Hamid kemudian menjelaskan, terkait due process of law jelas sekali bahwa pengadilan merupakan forum untuk menguji alat bukti terhadap orang yang dibawa penuntut umum. Proses pembuktian, proses membela diri terdakwa ini butuh waktu dan konsentrasi, oleh karenanya pembuat UU membayangkan ketika seorang pejabat diadili maka ia harus diberhentikan sementara dahulu dalam rangka memberi kesempatan berkonsentrasi dan mempersiapkan diri membela diri dalam rangka menjaga martabat dan kehormatannya.

Moh. Ma'ruf yang melengkapi keterangan Hamid, mengungkapkan Pasal 31 ayat (1) digunakan untuk menjaga wibawa hukum dan persamaan di muka hukum, hingga aparat penegak hukum tidak ewuh pakewuh dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana tersebut. Pemberhentian sementara dilakukan karena kepala daerah/wakil kepala daerah sebagai pejabat negara mempunyai kesibukan luar biasa. Pemberhentian sementara tersebut dimaksudkan agar pemeriksaan di pengadilan sampai putusan hakim tidak mengganggu kesibukan atau tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah, utamanya pelayanan pada masyarakat.

Terkait dengan asas praduga tak bersalah, Ma'ruf menjelaskan ketentuan Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. "Karena itu pemerintah menganggap pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana adalah dalam rangka menghormati dan menjunjung tinggi asas presumption of innocent tersebut, yang pada gilirannya bila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakaan tidak bersalah oleh pengadilan maka yang bersangkutan harus dipulihkan nama baik dan jabatannya," ujar Ma'ruf.

Nursyahbani Katjasungkana, merumuskan beberapa alasan mengapa ada kewenangan presiden berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tersebut. Pertama, pemberhentian sementara dimaksudkan untuk menghindari terhambatnya proses pemerintahan di daerah, karena proses hukum akan memakan waktu yang cukup lama. Kedua, pemberhentian sementara dimaksudkan untuk memudahkan urusan-urusan penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga tugas-tugas kepala daerah yang dialihkan ke pejabat sementara dan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah tidak akan terpengaruh proses hukum pejabat daerah yang berstatus sebagai terdakwa. Ketiga, kepala daerah dapat diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD.

Pengaturan ini menurut Nursyahbani merupakan bentuk penegasan adanya supervisi pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah. Keempat, untuk menjamin kepastian hukum serta memudahkan aparat penegak hukum melakukan proses peradilan terhadap terdakwa yang telah dibebastugaskan dari jabatannya. Dengan bebas tugas, pejabat tersebut tidak dapat melakukan intervensi atau menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat publik menyangkut kasus yang didakwakan padanya. Kelima, pemberhentian dilakukan selama dia masih menjabat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah agar tidak menimbulkan kekhawatiran atau konflik kepentingan terdakwa yang dapat merusak dan/atau menghilangkan barang bukti. "Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut maka sesungguhnya perumusan pasal dan penjelasan ketentuan pasal tersebut adalah untuk menjamin kepastian hukum atau due process of law dan tidak menganggu proses hukum yang sedang dilaksanakan," jelas anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa ini.

Menanggapi pertanyaan kuasa hukum pemohon terkait substansi Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, ahli Jawahir Tantowi menjelaskan, pasal tersebut punya banyak kelemahan karena multi tafsir. Pertama, karena UU itu produk legislatif, tetapi kemudian tiba-tiba dalam pasal yang sama menginstruksikan langsung kepada presiden tanpa prosedur DPR. "Jadi ada percampuran esensi hukum, substansi hukum," ungkapnya. Kedua, melihat dari obyek. Menurut Tantowi, para perumus UU Pemda khususnya Pasal 31 ayat (1) tidak memperlihatkan adanya perbedaan obyek jenis tindak pidana korupsi, makar, dan kejahatan terorisme. "Ini sesuatu yang dalam ilmu perundang-undangan jelas tidak memberikan keberpihakan pada keadilan,' ujar Tantowi. Hal itu menurutnya dikarenakan adanya perbedaan antara korupsi dengan terorisme, yaitu salah satunya bahwa korupsi bukan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Menurut Tantowi juga, seharusnya perbuatan yang menimbulkan sebab, akibat dan pertanggungjawaban menyangkut penetapan obyek kalau obyeknya berbeda, maka tentu saja pertanggungjawabannya akan berbeda juga.

Sidang ini ditutup jam 12.35 WIB. Agenda sidang berikutnya akan mendengarkan keterangan ahli lain dari pemohon. (Luthfi W.E.)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=63

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan