Skip to main content

PEMBERHENTIAN SEMENTARA TIDAK BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945

Dalil Drs. H. Muhammad Madel, M.M. yang menyatakan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dianggap Mahkamah Konstitusi (MK) tidak beralasan sehingga tidak pula terdapat alasan bagi MK untuk mengabulkan permohonan tersebut.

Hal itu terungkap dalam sidang pembacaan putusan UU Pemda hari ini Rabu (29/3) yang dimulai jam 10.00 WIB bertempat di Ruang Sidang MK lantai 1, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Pengujian UU Pemda yang dimohonkan Bupati Sorolangun Jambi ini dikarenakan Madel merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 31 ayat (1) UU Pemda yang menyebutkan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

Menurut Madel, Pasal 31 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena sangat tidak adil dan demokratis seseorang yang belum ada kepastian hukum (Inkrach van Gewijh) tetapi sudah diusulkan untuk diskorsing (pemberhentian sementara). Madel menganggap hal tersebut telah melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), dengan demikian bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Kejadian yang menimpa Madel yaitu sudah diusulkannya dirinya oleh Gubernur Provinsi Jambi untuk diberhentikan sementara akibat penerapan pasal tersebut, dianggapnya telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Menanggapi hal itu, MK menganggap Pemohon telah mencampuradukkan atau menyamakan dakwaan dengan putusan pengadilan. Pada saat yang sama juga mencampuradukkan bentuk tindakan administratif pemberhentian sementara dengan hukuman (pidana). Yang dapat memiliki kekuatan hukum tetap adalah putusan pengadilan, yang merupakan kewenangan hakim untuk menjatuhkannya, bukan dakwaan, yang merupakan kewenangan penuntut umum, yang tunduk pada pembuktian dan penilaian hakim.

Terkait dengan fakta yang diajukan Pemohon bahwa dirinya sudah diusulkan oleh Gubernur Jambi untuk diberhentikan sementara pada saat proses penuntutan atas dakwaan terhadap Pemohon telah dimulai, MK berpendapat hal itu malah menunjukkan telah berjalannya kepastian hukum. Sebab, dengan adanya fakta sebagaimana dikemukakan Pemohon tersebut berarti ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda telah dilaksanakan sebagaimana maksud ketentuan itu.

Pemberhentian sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda dan Penjelasannya diberlakukan terhadap Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota). Dalam hubungan ini, berlaku adagium yang berbunyi ?Ubi eadem ratio, ibi idem jus?, pada alasan yang sama berlaku hukum yang sama. Oleh karena itu, tidaklah tepat apabila pemberhentian sementara terhadap Pemohon dari jabatan Bupati Sarolangun dikatakan bersifat diskriminatif dengan cara membandingkannya dengan pejabat publik atau pihak lain dalam kualifikasi yang berbeda dan diatur oleh undang-undang yang berbeda.

Misalnya, sebagaimana dibandingkan oleh Pemohon, Ir. Akbar Tanjung selaku Ketua DPR RI yang pernah berstatus sebagai terdakwa di pengadilan, tetapi tidak diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI, bukanlah merupakan diskriminasi karena tunduk pada undang-undang yang berbeda dan bukan tergolong pejabat tata usaha negara sebagaimana halnya kepala daerah. MK menegaskan, benar bahwa dalam pengertian diskriminasi terdapat unsur perbedaan perlakuan tetapi tidak setiap perbedaan perlakuan serta-merta merupakan diskriminasi.

Menanggapi dalil Pemohon mengenai adanya pelanggaran asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), MK berpendapat, berdasarkan ketentuan baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional, sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam sejumlah undang-undang, telah nyata bahwa prinsip atau asas praduga tak bersalah hanya berlaku dalam bidang hukum pidana, khususnya dalam rangka due process of law. Secara lebih khusus lagi, asas tersebut sesungguhnya berkaitan dengan beban pembuktian (burden of proof, bewijslast) di mana kewajiban untuk membuktikan dibebankan kepada negara, c.q. penegak hukum, sedangkan terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, kecuali dalam hal-hal tertentu di mana prinsip pembuktian terbalik (omgekeerde bewijslast) telah dianut sepenuhnya.

Menurut MK, yang dirumuskan oleh Pasal 31 ayat (1) UU Pemda dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, adalah keadaan yang menggambarkan bekerjanya dua proses dari dua bidang hukum yang berbeda namun berhubungan, yaitu proses hukum tata usaha negara dalam bentuk tindakan administratif (administrative treatment) berupa pemberhentian sementara terhadap seorang pejabat tata usaha negara, in casu bupati, dan proses hukum pidana yaitu dituntutnya pejabat tata usaha negara tersebut dengan dakwaan melakukan tindak pidana tertentu.

Untuk adanya proses hukum yang disebut terdahulu, yaitu tindakan administratif pemberhentian sementara, dipersyaratkan adanya proses hukum yang disebut belakangan, yaitu telah dituntutnya seorang pejabat tata usaha negara, in casu bupati, dengan dakwaan melakukan tindak pidana tertentu. Prinsip atau asas praduga tak bersalah adalah prasyarat terhadap proses yang disebut belakangan, yaitu dalam proses beracara guna membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap seorang pejabat tata usaha negara, in casu bupati, di mana untuk itu diperlukan apa yang dinamakan conclusive evidence atau conclusive proof, yaitu bukti yang sedemikian kuatnya sehingga membuat setiap orang tiba pada kesimpulan bahwa terdakwa bersalah dan karena itu dijatuhi sanksi berupa pidana (hukuman) tertentu.

Namun, asas praduga tak bersalah bukanlah prasyarat bagi proses yang disebut terdahulu, yaitu diambilnya tindakan administratif pemberhentian sementara. Sebab, untuk melakukan pemberhentian sementara, karena hanya merupakan tindakan administratif dan bukan dalam rangka menjatuhkan hukuman (punishment), tidak diperlukan apa yang dinamakan bukti yang meyakinkan (conclusive evidence, conclusive proof) melainkan cukup apabila telah ada bukti permulaan yang cukup (presumptive evidence, circumstancial evidence) yaitu bukti yang untuk sementara dapat dianggap benar sampai ada bukti lain yang menunjukkan sebaliknya.

Dalam kasus Madel, presumptive evidence atau circumstancial evidence tersebut adalah fakta perihal telah dimulainya proses penuntutan terhadap seorang pejabat administrasi negara, in casu bupati, yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana disebut dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda. Tatkala presumptive evidence demikian belum ada maka dengan sendirinya tindakan administratif pemberhentian sementara itu tidak dapat dilakukan. Dengan kata lain, jika dihubungkan dengan permohonan a quo, apabila berkas dakwaan atas dugaan kejahatan yang dilakukan oleh seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, telah diserahkan ke pengadilan oleh penuntut umum maka berarti telah terdapat presumptive evidence yang cukup untuk melakukan tindakan administratif pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut. (Luthfi W.E.)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=109

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan