Permohonan pengujian Pasal 78 ayat (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan beserta Penjelasannya yang telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang (UU Kehutanan) yang diajukan PT. Astra Sedaya Finance dalam sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Rabu siang ini (1/3/2006) dinyatakan ditolak untuk seluruhnya.
PT. Astra Sedaya Finance yang diwakili oleh Hendra Sugiharto, Wakil Presiden Direktur PT. Astra Sedaya Finance, menganggap norma pidana dalam Pasal 78 ayat (15) UU tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang limitatif karena bersifat kategoris. Akibatnya norma yang muncul adalah norma tunggal yang bersifat luas, fleksibel, vague dan memberikan beberapa peluang penafsiran (multi tafsir) serta tidak mensyaratkan adanya dwingen verband antara kondisi dan konsekuensi. Salah satu bentuk perbedaan penafsiran atas norma UU tersebut berupa telah munculnya dua putusan Pengadilan Negeri Sengeti yang amarnya saling bertentangan yaitu putusan dalam perkara pidana No. 33/Pid.B/2005/PN.SGT dengan putusan perkara perdata No. 04/Pdt.Plw/2005/ PN.SGT.
PT. Astra Sedaya Finance merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan, antara lain karena terjadinya perampasan atau pengambilalihan secara sewenang-wenang atas tiga unit mobil hak miliknya oleh Pihak Kejaksaan Cq. Kejaksaan Negeri Sengeti Kabupaten Muaro Jambi dan Kejaksaan Tinggi Jambi, Provinsi Jambi dan potensi kerugian karena beberapa unit mobil hak milik PT. Astra Sedaya Finance di daerah lain juga terancam dirampas atau diambil alih secara sewenang-wenang.
Pengambilalihan itu berdasarkan Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan yang menyatakan, semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas oleh negara. Hal ini dianggap PT. Astra Sedaya Finance bersifat terbuka, artinya tidak menunjuk kepada subyek hukum pelaku tindak pidanan (dader) dan tidak mensyaratkan adanya causa verband antara alat angkut dengan pelaku tindak pidana. Dengan demikian telah memungkinkan terjadinya perampasan hak milik secara sewenang-wenang, meskipun barang atau alat angkut yang dirampas tersebut bukan milik pelaku kejahatan dan/atau pelanggaran yang dimaksud, melainkan milik pihak ketiga yang beritikad baik yang seharusnya dilindungi.
Menanggapi hal itu, MK berpendapat tidak setiap perampasan hak milik serta-merta bertentangan dengan UUD 1945. Perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, terlebih lagi terhadap hak milik yang lahir karena konstruksi hukum (legal construction), in casu hak milik yang lahir dari perjanjian jaminan fidusia.
Menurut MK, hak milik yang didalilkan tersebut atas obyek fidusia tidaklah sama dengan hak milik yang didasarkan pada hubungan inheren antara pemegang hak milik dengan obyek hak milik, sehingga perlindungan hukum terhadapnya tidak dapat diperlakukan secara sama pula. Lebih-lebih jika hal itu dihadapkan pada kepentingan umum yang lebih besar. Pertimbangan MK, obyek fidusia yang merupakan benda bergerak berada dalam penguasaan penuh pemberi fidusia, termasuk dalam mengendalikan penggunaannya untuk perbuatan yang menurut hukum atau melawan hukum, dengan memperhitungkan setiap risiko yang dapat diantisipasi sebelumnya. Tanggung jawab yang timbul dari perbuatan pidana, in casu illegal logging, yang dilakukan dengan menggunakan alat angkut yang merupakan �obyek fidusia� tidak dapat dikecualikan (exoneration) hanya karena adanya perjanjian pembiayaan yang mengkonstruksikan hak milik ada pada kreditor.
Meskipun kreditor (dalam hal ini PT. Astra Sedaya Finance) tidak ikut bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan debitor, penguasaan debitor atas alat angkut yang menjadi obyek jaminan fidusia memberikan juga risiko terhadap alat angkut yang digunakan atas tanggungannya. Perlindungan atas kepentingan umum lebih diutamakan dari pada perlindungan atas hak milik perorangan yang dikonstruksikan dalam perjanjian fidusia. Sedangkan, hak tagih kreditor yang tersisa tetap terlindungi meskipun obyek fidusia dirampas oleh negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan.
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Dalam putusan ini terdapat dua dissenting opinion mengenai kedudukan hukum (legal standing) PT. Astra Sedaya Finance (pemohon) yang dikemukakan Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., dan Dr. Harjono. S.H., M.C.L.
Hakim Konstitusi Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. menganggap, aturan pasal-pasal hukum formal (het formeel wet artikel) menegakkan aturan hukum materil (het materieele recht), termasuk menegakkan serta melindungi diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dijamin konstitusi. Pasal-pasal hukum formal (het formeel wet artikel) dibuat guna menegakkan dan melindungi hak asasi (basic right). Namun, dalam menjalankan hak asasi, seseorang atau badan hukum tidak boleh melanggar�in casu�hukum dan undang-undang. Penggunaan hak asasi tidak boleh melanggar hak asasi dan kebebasan orang lain.
Oleh karena itu, menurut Laica, aturan-aturan hukum formal (het formeel recht) dibuat guna menegakkan dan mempertahankan aturan-aturan hukum materil (het materieele recht), termasuk konstitusi, maka tidak beralasan kiranya hal permohonan pengujian yang diajukan pemohon terhadap Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan dan Penjelasannya. Pemohon tidak dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya aturan pasal hukum formal (het formeel recht artikel) tersebut. Laica menganggap, MK seharusnya menyatakan tidak menerima (niet ontvankelijk verklaard) permohonan PT. Astra Sedaya Finance.
Hakim Konstitusi Dr. Harjono. S.H., M.C.L. menyatakan, dengan belum jelasnya status kepemilikan pemohon terhadap mobil-mobil tersebut, karena belum adanya putusan pengadilan yang menentukan hubungan hukum antara pemohon dengan debitor, Harjono berpendapat bahwa adanya kepentingan pemohon yang dirugikan oleh berlakunya UU Kehutanan belum dapat dibuktikan, dan oleh karenanya permohonan PT. Astra Sedaya Finance harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). (Luthfi W.E.)
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=77
PT. Astra Sedaya Finance yang diwakili oleh Hendra Sugiharto, Wakil Presiden Direktur PT. Astra Sedaya Finance, menganggap norma pidana dalam Pasal 78 ayat (15) UU tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang limitatif karena bersifat kategoris. Akibatnya norma yang muncul adalah norma tunggal yang bersifat luas, fleksibel, vague dan memberikan beberapa peluang penafsiran (multi tafsir) serta tidak mensyaratkan adanya dwingen verband antara kondisi dan konsekuensi. Salah satu bentuk perbedaan penafsiran atas norma UU tersebut berupa telah munculnya dua putusan Pengadilan Negeri Sengeti yang amarnya saling bertentangan yaitu putusan dalam perkara pidana No. 33/Pid.B/2005/PN.SGT dengan putusan perkara perdata No. 04/Pdt.Plw/2005/ PN.SGT.
PT. Astra Sedaya Finance merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan, antara lain karena terjadinya perampasan atau pengambilalihan secara sewenang-wenang atas tiga unit mobil hak miliknya oleh Pihak Kejaksaan Cq. Kejaksaan Negeri Sengeti Kabupaten Muaro Jambi dan Kejaksaan Tinggi Jambi, Provinsi Jambi dan potensi kerugian karena beberapa unit mobil hak milik PT. Astra Sedaya Finance di daerah lain juga terancam dirampas atau diambil alih secara sewenang-wenang.
Pengambilalihan itu berdasarkan Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan yang menyatakan, semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas oleh negara. Hal ini dianggap PT. Astra Sedaya Finance bersifat terbuka, artinya tidak menunjuk kepada subyek hukum pelaku tindak pidanan (dader) dan tidak mensyaratkan adanya causa verband antara alat angkut dengan pelaku tindak pidana. Dengan demikian telah memungkinkan terjadinya perampasan hak milik secara sewenang-wenang, meskipun barang atau alat angkut yang dirampas tersebut bukan milik pelaku kejahatan dan/atau pelanggaran yang dimaksud, melainkan milik pihak ketiga yang beritikad baik yang seharusnya dilindungi.
Menanggapi hal itu, MK berpendapat tidak setiap perampasan hak milik serta-merta bertentangan dengan UUD 1945. Perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, terlebih lagi terhadap hak milik yang lahir karena konstruksi hukum (legal construction), in casu hak milik yang lahir dari perjanjian jaminan fidusia.
Menurut MK, hak milik yang didalilkan tersebut atas obyek fidusia tidaklah sama dengan hak milik yang didasarkan pada hubungan inheren antara pemegang hak milik dengan obyek hak milik, sehingga perlindungan hukum terhadapnya tidak dapat diperlakukan secara sama pula. Lebih-lebih jika hal itu dihadapkan pada kepentingan umum yang lebih besar. Pertimbangan MK, obyek fidusia yang merupakan benda bergerak berada dalam penguasaan penuh pemberi fidusia, termasuk dalam mengendalikan penggunaannya untuk perbuatan yang menurut hukum atau melawan hukum, dengan memperhitungkan setiap risiko yang dapat diantisipasi sebelumnya. Tanggung jawab yang timbul dari perbuatan pidana, in casu illegal logging, yang dilakukan dengan menggunakan alat angkut yang merupakan �obyek fidusia� tidak dapat dikecualikan (exoneration) hanya karena adanya perjanjian pembiayaan yang mengkonstruksikan hak milik ada pada kreditor.
Meskipun kreditor (dalam hal ini PT. Astra Sedaya Finance) tidak ikut bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan debitor, penguasaan debitor atas alat angkut yang menjadi obyek jaminan fidusia memberikan juga risiko terhadap alat angkut yang digunakan atas tanggungannya. Perlindungan atas kepentingan umum lebih diutamakan dari pada perlindungan atas hak milik perorangan yang dikonstruksikan dalam perjanjian fidusia. Sedangkan, hak tagih kreditor yang tersisa tetap terlindungi meskipun obyek fidusia dirampas oleh negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan.
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Dalam putusan ini terdapat dua dissenting opinion mengenai kedudukan hukum (legal standing) PT. Astra Sedaya Finance (pemohon) yang dikemukakan Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., dan Dr. Harjono. S.H., M.C.L.
Hakim Konstitusi Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. menganggap, aturan pasal-pasal hukum formal (het formeel wet artikel) menegakkan aturan hukum materil (het materieele recht), termasuk menegakkan serta melindungi diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dijamin konstitusi. Pasal-pasal hukum formal (het formeel wet artikel) dibuat guna menegakkan dan melindungi hak asasi (basic right). Namun, dalam menjalankan hak asasi, seseorang atau badan hukum tidak boleh melanggar�in casu�hukum dan undang-undang. Penggunaan hak asasi tidak boleh melanggar hak asasi dan kebebasan orang lain.
Oleh karena itu, menurut Laica, aturan-aturan hukum formal (het formeel recht) dibuat guna menegakkan dan mempertahankan aturan-aturan hukum materil (het materieele recht), termasuk konstitusi, maka tidak beralasan kiranya hal permohonan pengujian yang diajukan pemohon terhadap Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan dan Penjelasannya. Pemohon tidak dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya aturan pasal hukum formal (het formeel recht artikel) tersebut. Laica menganggap, MK seharusnya menyatakan tidak menerima (niet ontvankelijk verklaard) permohonan PT. Astra Sedaya Finance.
Hakim Konstitusi Dr. Harjono. S.H., M.C.L. menyatakan, dengan belum jelasnya status kepemilikan pemohon terhadap mobil-mobil tersebut, karena belum adanya putusan pengadilan yang menentukan hubungan hukum antara pemohon dengan debitor, Harjono berpendapat bahwa adanya kepentingan pemohon yang dirugikan oleh berlakunya UU Kehutanan belum dapat dibuktikan, dan oleh karenanya permohonan PT. Astra Sedaya Finance harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). (Luthfi W.E.)
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=77
Comments