Skip to main content

PERMOHONAN UJI MATERIL UU APBN 2006 DIKABULKAN SEBAGIAN

Dalam sidang pembacaan putusan pengujian UU APBN 2006 yang berlangsung siang ini (22/3) Jam 13.00 WIB di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Jalan Medan Merdeka Barat No.7 Jakarta Pusat yang dihadiri para pemohon yang terdiri dari Pengurus Besar PGRI (Pemohon I), Pengurus Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) (Pemohon II), Yayasan Nurani Dunia (Pemohon III), M. Arif Pribadi Prasodjo dalam jabatannya sebagai Koordinator Pembangunan Masyarakat Yayasan Nurani Dunia (Pemohon IV), dan Drs. Oeng Rosliana, dkk, yang kebanyakan berprofesi sebagai guru/dosen (Pemohon V), MK menyatakan menolak permohonan provisi (putusan sela) para Pemohon. Selain itu MK menyatakan permohonan para Pemohon III dan IV tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dan MK mengabulkan permohonan para Pemohon I, II, dan V untuk sebagian, dengan menyatakan UU No. 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006 (UU APBN 2006) sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1% sebagai batas tertinggi, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam putusan perkara No. 026/PUU-III/2005 ini, MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan beberapa pendapat, terkait dengan dalil para Pemohon bahwa UU APBN bertentangan dengan UUD 1945 karena anggaran pendidikan tidak memenuhi alokasi sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. MK berpendapat, ketentuan undang-undang untuk disebut "bertentangan dengan UUD 1945", tidak selalu harus dilihat bertentangan atau conflict dalam posisi diametral dengan undang-undang dasar, melainkan dapat juga terjadi karena ketentuan tersebut tidak konsisten (inconsistent) atau tidak sesuai (non-conforming, unvereinbar) dengan undang-undang dasar sebagai hukum tertinggi. Karena, jumlah konkrit persentase anggaran pendidikan yang disebut Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 merupakan salah satu ukuran konstitusionalitas UU APBN 2006, maka telah terbukti bahwa alokasi anggaran pendidikan dalam APBN tersebut tidak sesuai (non-conforming, unvereinbar) dengan amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, sehingga alokasi anggaran pendidikan sebesar 9,1% dalam UU APBN 2006, bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional).

Walau begitu MK juga memikirkan beberapa akibat hukum yang harus diperhitungkan, yaitu apabila MK menyatakan UU APBN 2006 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka sebagai akibat hukumnya seluruh rencana pendapatan dan belanja negara yang tertuang dalam APBN 2006 tidak mengikat lagi kepada Presiden, yang sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara. Akibatnya, seluruh realisasi pendapatan dan belanja negara yang didasarkan atas UU APBN 2006 tidak mempunyai dasar hukum lagi.

Kemudian apabila atas putusan MK yang menyatakan UU APBN 2006 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kemudian Presiden dengan persetujuan DPR harus menyusun kembali alokasi dari pendapatan belanja yang telah direalisasi agar untuk sektor pendidikan menjadi sebesar 20% dengan cara mengurangi sektor lain, tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum pada realisasi belanja yang telah dikeluarkan oleh sektor lain yang anggarannya harus dikurangi. Di samping itu, secara administratif, pengelolaan hal tersebut sangat sulit dilakukan karena akan mengubah seluruh administrasi keuangan di Indonesia untuk disesuaikan. Hal tersebut memerlukan biaya, tenaga, dan waktu yang sangat sulit untuk diperhitungkan.

Terkait dengan putusan MK perkara No. 012/PUU-III/2005 (pengujian UU APBN 2005), MK menjelaskan putusan itu ada pada kurun waktu yang berbeda dengan pengujian UU APBN 2006 ini. Pada saat itu permohonan diajukan dan diperiksa pada masa akhir tahun anggaran, sedangkan perkara ini permohonan diajukan dan diperiksa pada masa awal tahun anggaran, maka berbeda dengan perkara terdahulu, masih terdapat peluang besar bagi Pemerintah dan DPR untuk meningkatkan anggaran pendidikan secara lebih signifikan dengan cara realokasi anggaran melalui APBN-P (APBN Perubahan) yang lebih mencerminkan kesungguhan Pemerintah dan DPR untuk memenuhi ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang secara tegas diperintahkan untuk diprioritaskan.

Selanjutnya MK menyatakan, meskipun APBN 2005 bertentangan dengan UUD 1945, akan tetapi permohonan para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karena apabila dikabulkan, akibatnya dapat lebih buruk mengingat akan berlaku anggaran pendidikan tahun sebelumnya yang justru lebih kecil dari anggaran pendidikan tahun yang berjalan.

Alasan tentang kerugian yang timbul akibat anggaran pendidikan sebelumnya yang lebih kecil, masih tetap relevan. Akan tetapi, pertimbangan demikian tidak dapat dijadikan alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond). Upaya untuk sekadar menaikkan anggaran pendidikan yang semata-mata didasari oleh maksud untuk menghindar dari kemungkinan dikabulkannya dari permohonan sejenis di kemudian hari, harus dipandang tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 (the spirit of the constitution). Karena, dengan adanya Putusan Mahkamah Nomor 012/PUU-III/2005, Pemerintah dan DPR sudah seharusnya mengetahui dengan persis bahwa anggaran pendidikan yang kurang dari 20% bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.
Menimbang hal tersebut, MK berpendapat permohonan para Pemohon I, II, dan V cukup beralasan. Akan tetapi, untuk meniadakan dampak negatif seoptimal mungkin terhadap pelaksanaan APBN 2006, MK hanya dapat mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian, dengan menyatakan bahwa UU APBN 2006, sepanjang mengenai anggaran pendidikan dalam APBN 2006 sebesar 9,1% dari APBN sebagai batas tertinggi, adalah bertentangan dengan UUD 1945.

Untuk menghindari kemacetan dan kekacauan dalam penyelenggaran pemerintahan, putusan MK hanya memberi akibat hukum terhadap inkonstitusionalitas anggaran pendidikan tersebut secara terbatas, yaitu tentang batas tertinggi, dan bukan terhadap keseluruhan UU APBN 2006. Hal itu berarti bahwa UU APBN 2006 tetap mengikat secara hukum dan dapat dilaksanakan sebagai dasar hukum pelaksanaan APBN berdasarkan UU a quo dengan kewajiban bagi Pemerintah dan DPR untuk mengalokasikan kelebihan dana yang akan diperoleh dari hasil penghematan belanja negara dan/atau hasil peningkatan pendapatan pada anggaran pendidikan dalam APBN-P 2006.

MK juga berkesimpulan bahwa permohonan para Pemohon I, II, dan V cukup beralasan sepanjang menyangkut jumlah/persentase anggaran pendidikan dalam APBN 2006 sebagai batas tertinggi, karena bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon I, II, dan V harus dikabulkan sebagian. Sedangkan para Pemohon III dan IV, oleh karena tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang cukup, permohonan para Pemohon III dan IV harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Alasan Berbeda (Concurring Opinion)
Dalam perkara ini, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. dan Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H. mengajukan alasan berbeda terhadap putusan tersebut. Meskipun kedua hakim itu sependapat dengan kesimpulan mayoritas hakim yang mengabulkan untuk sebagian permohonan, namun I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono memiliki alasan yang berbeda dalam pertimbangan untuk tiba pada kesimpulan mayoritas hakim. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara menilai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dan perbedaan dalam menentukan komponen yang termasuk ke dalam pengertian anggaran pendidikan, beserta cara penghitungannya, ketika hendak diuji konstitusionalitasnya terhadap Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.

Menurut kedua hakim konstitusi tersebut, oleh karena permohonan berkenaan dengan anggaran pendidikan, yang dalam konteks Pasal 31 UUD 1945 adalah berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan nasional sebagai sebuah sistem, di mana di dalamnya guru dan dosen merupakan bagian integral, mereka yang berkualifikasi guru atau dosenlah yang memiliki kualifikasi untuk bertindak selaku Pemohon.

Adapun perihal kerugian hak konstitusional dari mereka yang memenuhi kualifikasi dimaksud baru dapat ditentukan atau diketahui setelah mempertimbangkan pokok permohonan. Hal tersebut dikarenakan dalil kerugian hak-hak konstitusional dari mereka yang memiliki kualifikasi tersebut oleh para Pemohon sendiri dikaitkan langsung dengan anggaran pendidikan dalam UU APBN 2006. Sementara itu, cara penghitungan anggaran pendidikan dalam UU APBN 2006 dimaksud justru merupakan bagian dari pertimbangan terhadap pokok permohonan. Sehingga dengan demikian, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon pun baru dapat ditentukan setelah mempertimbangkan pokok permohonan.

Kedua hakim tersebut berpendapat, seperti yang diutarakan I Dewa Gede Palguna dalam pembacaan concurring opinion-nya, telah jelas anggaran pendidikan pada APBN 2006 belum memenuhi amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan dengan demikian telah pula merugikan para Pemohon yang memenuhi kualifikasi. Akan tetapi menurut kedua hakim tersebut, tidaklah berarti bahwa seluruh ketentuan dalam UU APBN 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Demikian pula, tidaklah berarti bahwa anggaran pendidikan sebagaimana termuat dalam APBN Tahun 2006 (dalam pengertian yang sesuai dengan cara penghitungan sebagaimana telah diuraikan di atas yaitu yang menghasilkan persentase sebesar 16,8 % dari APBN) harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat untuk seluruhnya melainkan bahwa yang harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat adalah apabila jumlah tersebut dinyatakan final sebagai anggaran pendidikan untuk Tahun 2006.

Artinya, melalui mekanisme pembahasan APBN-P (APBN Perubahan), Presiden bersama DPR berkewajiban untuk menambah jumlah anggaran pendidikan Tahun 2006 sebagaimana yang tertera dalam lampiran UU APBN yang merupakan bagian tak terpisahkan dari undang-undang a quo.

Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, S.H.
Achmad Roestandi mengungkapkan, senada dengan yang telah diungkapkannya dalam dissenting opinion-nya pada putusan MK perkara No. 012/PUU-III/2005, anggaran pendidikan yang belum mencapai 20% dari APBN serta APBD tidak serta merta berarti bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, tetapi harus dimaknai sebagai ketertinggalan yang secara bertahap harus terus ditingkatkan dalam APBN berikutnya, sehingga pada gilirannya angka 20% akan tercapai. Peningkatan anggaran pendidikan secara bertahap itu telah menjadi kesepakatan antara Pemerintah dan DPR, dan persentase sebesar 20%harus tercapai dalam APBN tahun 2009.

Menurut Roestandi, materi muatan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 bersifat normatif, tetapi adalah tidak realistik (tidak membumi) jika ketentuan normatif itu diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi obyektif pendapatan negara. Dengan demikian menurutnya, bertolak dari ketentuan normatif yang dikaitkan dengan kondisi obyektif pendapatan negara itu, walaupun anggaran pendidikan belum mencapai angka 20% dari APBN, hal itu tidak berarti bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang persentase anggaran pendidikan pada tahun berjalan lebih tinggi daripada persentase anggaran pendidikan dalam APBN tahun sebelumnya.

Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H, LL.M.
Menurut Natabaya, UU APBN dalam hal ini UU No. 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006, termasuk undang-undang yang tidak mengikat masyarakat umum, sehingga para Pemohon tidak mempunyai legal Standing sekaligus tidak dirugikan hak konstitusionalnya menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. ?Oleh karenanya Mahkamah seharusnya menyatakan permohonan para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)? tegas Natabaya. (Luthfi W.E.)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=104

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan