Skip to main content

PERTEMUAN MK DENGAN FOPI

Terkait dengan kontroversi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyiaran yang merupakan "turunan" UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), Forum Organisasi Penyiaran Indonesia (FOPI) yang merupakan gabungan dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE), Persatuan Radio Siaran Swasta nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Radio Siaran Swasta Indonesia (ARSSI), Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia (ARSSLI), Forum Radio Jaringan Indonesia (FJRI), Asosiasi Pelayanan Radio Indonesia (APRI), dan Persatuan Sulih Suara Indonesia (Persusi) mengadakan pertemuan (audiensi) dengan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (27/2/2006) jam 14.00 WIB di ruang sidang MK Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Rombongan FOPI yang berjumlah sekitar 15 orang tersebut diterima oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Hakim Konstitusi Harjono, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Sekjen MK Janedjri M. Gaffar dan Panitera MK Ahmad Fadlil Sumadi.

Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif (ATVLI) Jimmy Silalahi menyampaikan, permasalahan yang faktual saat ini adalah terkait dengan pengeluaran izin penyelenggaraan penyiaran sesuai UU Penyiaran. Untuk mekanisme ideal Jimmy menjelaskan, ada forum rapat bersama antara pemerintah dan KPI. Pemerintah melalui menteri komunikasi dan informatika dan jajaran yang di bawahnya. Sedangkan KPI, mulai KPI pusat sampai daerah. Akan tetapi tidak demikian kondisinya. Sebagai contoh, Jimmy mengungkapkan kondisi rebutan ISR (izin stasiun radio). "Ada yang bahkan interferens, ada yang bahkan nyaplok frekuensi," kata Jimmy. Menurutnya, ini kasus yang tidak bisa di selesaikan oleh balai monitoring dan KPID setempat.

Uni Lubis dari ATVSI menjelaskan mengenai izin dan soal teknis penyiaran. Menurut Uni, soal teknis ada di menteri, tetapi proses perpanjangan izin dan izin melalui step yang selalu dari awalnya melibatkan KPI. "Jadi sebenarnya, kita harus menunjukkan dua proposal, untuk KPI dan kepada pemerintah," ungkapnya.

Urusan contents, misi dan visi siaran dan sebagainya dieksaminasi oleh KPI. Yang lainnya seperti teknis dan segala macam, termasuk permodalan dieksaminasi oleh menteri, karena memang harus disesuaikan dengan UU. Setelah itu, menurut Umi, mereka (KPI dan pemerintah-red) masuk ke dalam forum rapat bersama. "Sebenarnya forum rapat bersama inilah yang memutuskan apakah diberikan perpanjangan izin atau tidak, apakah di berikan izin baru atau tidak. Setelah diambil keputusan dari forum rapat bersama ini, kemudian menteri yang dalam hal ini mewakili pemerintah atau negara, menerbitkan surat izin," Jelasnya. Lebih lanjut Umi mengatakan, menteri tidak bisa menerbitkan izin tanpa keputusan dalam forum rapat bersama.

Terkait dengan PP yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dikenai sanksi sampai ke putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, menurut Umi, setelah putusan pengadilan memiliki hukum tetap barulah si menteri membuat pencabutan izin. Jadi bukan menteri yang menentukan apakah izin itu di cabut atau tidak, tetapi pengadilan. "Jadi sebenarnya soal siapa yang ingin meneken saja. KPI ingin dia yang meneken. pemerintah juga ingin meneken," ungkap Umi.

Menanggapi hal itu, Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengutarakan, MK berusaha untuk meng-contents agar tidak terperosok ke dalam persoalan politik, tapi juga menyadari bahwa MK secara moral bisa berpartisipasi sedikit untuk mendapatkan solusi. Lebih lanjut Jimly mengatakan, lebih baik percaya dua hal, yang pertama logic power. Kalau kita berdebat dengan orang, kalau kita punya data, punya rasionalitas, itu bisa memaksa orang untuk meyakini kebenaran dengan logic power itu. Tapi yang kedua, yang lebih penting lagi moral power.

"Jadi kalau kita masuk dalam pusaran logika, akan tergantung perfektif. Perfektifnya bisa banyak cara melihat dan semuanya logis, padahal belum tentu logis. Karena DPR cara melihatnya lain, KPI cara melihatnya lain, pemerintah juga lain, tidak komprehensif, karena dibatasi oleh ruang tugas sendiri-sendiri," jelas Jimly. (Luthfi W.E.)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=76

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...