Dalam pertemuan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berlangsung di ruang sidang lantai 1 gedung MK Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat pada Jumat pagi (24/2/2006), terungkap kesalahpahaman interpretasi terhadap putusan MK perkara No. 005/PUU-I/2003 pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU penyiaran).
Kesalahpahaman itu berupa salah pengertian KPI yang menyangka dengan adanya putusan MK maka kewenangan regulasi KPI terhapus. Hal ini terkait juga dengan lahirnya empat Peraturan Pemerintah (PP) bidang Penyiaran pada Nopember 2005 lalu yang dianggap oleh KPI bertentangan dengan pasal-pasal UU Penyiaran.
Dalam pertemuan tersebut, selain dihadiri oleh MK, KPI dan tiga KPI daerah (KPID), yaitu KPID Sumatera Utara, KPID Jawa Tengah, dan KPID Jawa Barat, pertemuan itu juga dihadiri oleh Wakil Koordinator Pokja Infokum Komisi I DPR Dedi Jamaluddin Malik dan rombongan pemerintah yang dipimpin oleh staf ahli Depkominfo Ramli.
Riyanto, Ketua KPID Jawa Tengah, dalam kesempatan itu mengungkapkan kegundahannya terhadap putusan MK pada pengujian UU Penyiaran. "Apakah putusan tersebut sesuai dengan asas hukum yang berdasarkan asas keadilan, kepastian hukum, dan pemanfaatan hukum?� tanyanya. Menurut Riyanto, putusan MK tersebut memunculkan dampak dan/atau implikasi interpretasi sehingga mendorong pengembangan kekuasaan dan campur tangan pemerintah terhadap aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas dalam lingkup penyiaran. "Dan ini yang mendorong otoritas absolut pada pemerintah," katanya.
Menurut Bimo Nugroho, anggota KPI, sejak keputusan MK itu ada, tidak ada kebersamaan KPI bersama pemerintah dalam pembuatan rancangan peraturan pemerintah (RPP) sampai peraturan itu ditetapkan. "Bukan berarti tidak ada kerjasama sama sekali antara KPI dan Pemerintah, tetapi dalam dalam RPP itu tidak ada lagi forum untuk membahas daftar isian masalah yang dulu kami susun bersama-sama," jelas Bimo.
Menanggapi itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjelaskan, kewenangan yang dimiliki oleh KPI dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran (kewenangan regulasi�red) tidak ada diutik-utik oleh putusan MK. "Tetapi bentuknya itu mestinya ada namanya contohnya peraturan KPI atau apa dalam rangka pelaksanaan itu," kata Palguna. Menurutnya, MK melalui putusannya berpendapat, sebagai lembaga negara yang independen seyogyanya KPI juga diberi kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran. Akan tetapi, Pasal 62 UU Penyiaran menyatakan, kewenangan regulasi KPI bersama pemerintah tersebut dituangkan dalam bentuk produk hukum PP, padahal berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, PP adalah produk hukum yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Palguna mengatakan, presiden dalam membuat PP dapat saja memperoleh masukan dari berbagai sumber yang terkait dengan pokok masalah yang akan diatur, dalam hal ini termasuk KPI tentu saja. Tetapi sumber dimaksud tidak perlu dicantumkan secara eksplisit dalam UU yang memerlukan PP sebagai pelaksananya. "Kalau dalam UU disebutkan PP disusun bersama oleh yang bukan disebut dalam UUD, tentu bertentangan dengan UUD itu," jelas Palguna.
Ketua MK, Jimly Asshiddiqie menambahkan, misalnya KPI kalau diberi kewenangan regulasi melaksanakan UU, namanya bisa peraturan KPI dan tidak boleh PP, karena PP merupakan nomenklatur mutlak kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk melaksanakan UU. Menurut Jimly, tidak boleh juga presiden tanpa diperintah oleh UU membuat PP. "PP itu hanya boleh dibuat oleh presiden kalau ada pasal yang merintahkan kepadanya. Seandainya pasal itu menyebut dapat diatur dengan peraturan presiden, tidak boleh dengan PP juga, harus dengan Perpres (peraturan presiden-red), " jelas Jimly. (Luthfi W.E.)
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=75
Kesalahpahaman itu berupa salah pengertian KPI yang menyangka dengan adanya putusan MK maka kewenangan regulasi KPI terhapus. Hal ini terkait juga dengan lahirnya empat Peraturan Pemerintah (PP) bidang Penyiaran pada Nopember 2005 lalu yang dianggap oleh KPI bertentangan dengan pasal-pasal UU Penyiaran.
Dalam pertemuan tersebut, selain dihadiri oleh MK, KPI dan tiga KPI daerah (KPID), yaitu KPID Sumatera Utara, KPID Jawa Tengah, dan KPID Jawa Barat, pertemuan itu juga dihadiri oleh Wakil Koordinator Pokja Infokum Komisi I DPR Dedi Jamaluddin Malik dan rombongan pemerintah yang dipimpin oleh staf ahli Depkominfo Ramli.
Riyanto, Ketua KPID Jawa Tengah, dalam kesempatan itu mengungkapkan kegundahannya terhadap putusan MK pada pengujian UU Penyiaran. "Apakah putusan tersebut sesuai dengan asas hukum yang berdasarkan asas keadilan, kepastian hukum, dan pemanfaatan hukum?� tanyanya. Menurut Riyanto, putusan MK tersebut memunculkan dampak dan/atau implikasi interpretasi sehingga mendorong pengembangan kekuasaan dan campur tangan pemerintah terhadap aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas dalam lingkup penyiaran. "Dan ini yang mendorong otoritas absolut pada pemerintah," katanya.
Menurut Bimo Nugroho, anggota KPI, sejak keputusan MK itu ada, tidak ada kebersamaan KPI bersama pemerintah dalam pembuatan rancangan peraturan pemerintah (RPP) sampai peraturan itu ditetapkan. "Bukan berarti tidak ada kerjasama sama sekali antara KPI dan Pemerintah, tetapi dalam dalam RPP itu tidak ada lagi forum untuk membahas daftar isian masalah yang dulu kami susun bersama-sama," jelas Bimo.
Menanggapi itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjelaskan, kewenangan yang dimiliki oleh KPI dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran (kewenangan regulasi�red) tidak ada diutik-utik oleh putusan MK. "Tetapi bentuknya itu mestinya ada namanya contohnya peraturan KPI atau apa dalam rangka pelaksanaan itu," kata Palguna. Menurutnya, MK melalui putusannya berpendapat, sebagai lembaga negara yang independen seyogyanya KPI juga diberi kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran. Akan tetapi, Pasal 62 UU Penyiaran menyatakan, kewenangan regulasi KPI bersama pemerintah tersebut dituangkan dalam bentuk produk hukum PP, padahal berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, PP adalah produk hukum yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Palguna mengatakan, presiden dalam membuat PP dapat saja memperoleh masukan dari berbagai sumber yang terkait dengan pokok masalah yang akan diatur, dalam hal ini termasuk KPI tentu saja. Tetapi sumber dimaksud tidak perlu dicantumkan secara eksplisit dalam UU yang memerlukan PP sebagai pelaksananya. "Kalau dalam UU disebutkan PP disusun bersama oleh yang bukan disebut dalam UUD, tentu bertentangan dengan UUD itu," jelas Palguna.
Ketua MK, Jimly Asshiddiqie menambahkan, misalnya KPI kalau diberi kewenangan regulasi melaksanakan UU, namanya bisa peraturan KPI dan tidak boleh PP, karena PP merupakan nomenklatur mutlak kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk melaksanakan UU. Menurut Jimly, tidak boleh juga presiden tanpa diperintah oleh UU membuat PP. "PP itu hanya boleh dibuat oleh presiden kalau ada pasal yang merintahkan kepadanya. Seandainya pasal itu menyebut dapat diatur dengan peraturan presiden, tidak boleh dengan PP juga, harus dengan Perpres (peraturan presiden-red), " jelas Jimly. (Luthfi W.E.)
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=75
Comments