Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno pengujian UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN). Sidang pleno perkara 019/PUU-III/2005 yang diajukan oleh Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasifik (AJASPAC), Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja (HIMSATAKI) dan perkara 020/PUU-III/2005 yang diajukan Soekitjo J.G. dkk. dari Yayasan Indonesia Manpower Watch diadakan di Ruang Sidang MK lantai 1, Jalan Medan Merdeka No. 7 Jakarta Pusat. Sidang yang dimulai jam 10.00 WIB ini (21/2/2006) merupakan sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemohon.
Hadir dalam sidang ini selain para pemohon dan kuasa hukumnya, dari pemerintah terlihat Direktur Litigasi Departemen Hukum dan HAM Qomaruddin, S.H., M.H. dan Mualimin, S.H., M.H. Kabag. Litigasi Departemen Hukum dan HAM. I Gusti Made Arka, Dirjen Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, yang seharusnya dijadwalkan hadir berhalangan karena sakit. Selain itu hadir pula ahli dari pemohon Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H. dan Drs. Sumarlan Margono, Ec., M.Ec. Dari pemerintah ahli yang dihadirkan Gunawan Oetomo, S.H. Terdapat pula dua saksi yang dihadirkan pemohon yaitu H. Ali Abdullah dan Lilis Shilihah.
Dalam sidang ini terungkap bahwa substansi UU PPTKILN hampir tidak berubah dari Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 104 Tahun 2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri. Hal itu disampaikan Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., dosen Universitas Indonesia (UI). Apabila sebuah UU umumnya membutuhkan academic draft agar UU tersebut bisa cerminkan aspirasi masyarakat, nyatanya pada UU PPTKILN tidak demikian. "Isi UU hanya convert pasal-pasal Kepmen," ujar pakar perburuhan UI ini. Akibatnya UU tersebut tidak ciptakan sistem penempatan TKI secara memadai.
Menanggapi pertanyaan pemohon terkait dengan ancaman pidana beberapa pasal UU PPTKILN, Aloysius menjelaskan, hukum perburuhan merupakan hukum yang interdisipliner. Hukum perburuhan tidak hanya masuk dalam kelompok hukum perdata saja tentang perjanjian kerja, tetapi juga masuk dalam hukum publik karena intervensi pemerintah dan juga masuk dalam kelompok hukum pidana. Terdapatlah hukum perdata perburuhan, hukum publik perburuhan dan hukum pidana perburuhan. "Karena memang kaki hukum perburuhan itu ada di mana-mana," ungkap Aloysius.
Ahli dari pemerintah Gunawan Oetomo, S.H. menyatakan, hak-hak TKI dan PPTKIS (pelaksana penempatan TKI swasta �red) telah dilindungi UU ini, karena ada persyaratannya, ada hak dan kewajiban sesuai UU PPTKILN tersebut. "Silahkan baca lengkap UUnya dan pasal-pasalnya, serta penjelasan pasal-pasal tersebut sehingga tidak salah menafsirkan," tegas Gunawan Oetomo yang dulu pernah ikut dalam pembahasan UU PPTKILN.
Drs. Sumarlan Margono, Ec., M.Ec. ketika mengklarifikasi pernyataan pemohon tentang persyaratan PJTKI menjelaskan, yang harus diusahakan adalah persyaratan untuk masyarakat terutama PJTKI, agar menempuh langkah profesional. Diarahkan supaya secepatnya menjadi usaha dengan kekuatan dan kemampuan yang dimonitor dari waktu ke waktu. Ada kontrol yang hadir setiap waktu, dan tidak bisa dibendung. "Kita membina PJTKI menjadi profesional, waktu yang sama dilakukan illegal untuk melakukan penempatan," ungkap Sumarlan. Hal ini terkait dengan pemberlakuan UU PPTKILN khusus bagi PJTKI dua tahun setelah disahkan.
Di akhir sidang, kedua saksi yang dihadirkan pemohon, H. Ali Abdullah dan Lilis Shilihah dengan antusias menceritakan keberhasilan mereka. Lilis Shilihah yang baru pulang dari Arab Saudi akhir 2005 bercerita tentang pengalamannya yang tidak mendapatkan masalah apapun selama 14 tahun menjadi TKI di luar negeri, padahal sekolah hanya sampai SD. H. Ali Abdullah yang berprofesi sebagai perekrut TKI sejak 1984 menyebutkan, sudah ribuan memberangkatkan TKI yang cuma lulusan SD dan tidak pernah ada kasus.
Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemohon ini berakhir jam 12.35 WIB. Sidang berikutnya adalah sidang pembacaan putusan. (Luthfi W.E.)
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=51
Hadir dalam sidang ini selain para pemohon dan kuasa hukumnya, dari pemerintah terlihat Direktur Litigasi Departemen Hukum dan HAM Qomaruddin, S.H., M.H. dan Mualimin, S.H., M.H. Kabag. Litigasi Departemen Hukum dan HAM. I Gusti Made Arka, Dirjen Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, yang seharusnya dijadwalkan hadir berhalangan karena sakit. Selain itu hadir pula ahli dari pemohon Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H. dan Drs. Sumarlan Margono, Ec., M.Ec. Dari pemerintah ahli yang dihadirkan Gunawan Oetomo, S.H. Terdapat pula dua saksi yang dihadirkan pemohon yaitu H. Ali Abdullah dan Lilis Shilihah.
Dalam sidang ini terungkap bahwa substansi UU PPTKILN hampir tidak berubah dari Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 104 Tahun 2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri. Hal itu disampaikan Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., dosen Universitas Indonesia (UI). Apabila sebuah UU umumnya membutuhkan academic draft agar UU tersebut bisa cerminkan aspirasi masyarakat, nyatanya pada UU PPTKILN tidak demikian. "Isi UU hanya convert pasal-pasal Kepmen," ujar pakar perburuhan UI ini. Akibatnya UU tersebut tidak ciptakan sistem penempatan TKI secara memadai.
Menanggapi pertanyaan pemohon terkait dengan ancaman pidana beberapa pasal UU PPTKILN, Aloysius menjelaskan, hukum perburuhan merupakan hukum yang interdisipliner. Hukum perburuhan tidak hanya masuk dalam kelompok hukum perdata saja tentang perjanjian kerja, tetapi juga masuk dalam hukum publik karena intervensi pemerintah dan juga masuk dalam kelompok hukum pidana. Terdapatlah hukum perdata perburuhan, hukum publik perburuhan dan hukum pidana perburuhan. "Karena memang kaki hukum perburuhan itu ada di mana-mana," ungkap Aloysius.
Ahli dari pemerintah Gunawan Oetomo, S.H. menyatakan, hak-hak TKI dan PPTKIS (pelaksana penempatan TKI swasta �red) telah dilindungi UU ini, karena ada persyaratannya, ada hak dan kewajiban sesuai UU PPTKILN tersebut. "Silahkan baca lengkap UUnya dan pasal-pasalnya, serta penjelasan pasal-pasal tersebut sehingga tidak salah menafsirkan," tegas Gunawan Oetomo yang dulu pernah ikut dalam pembahasan UU PPTKILN.
Drs. Sumarlan Margono, Ec., M.Ec. ketika mengklarifikasi pernyataan pemohon tentang persyaratan PJTKI menjelaskan, yang harus diusahakan adalah persyaratan untuk masyarakat terutama PJTKI, agar menempuh langkah profesional. Diarahkan supaya secepatnya menjadi usaha dengan kekuatan dan kemampuan yang dimonitor dari waktu ke waktu. Ada kontrol yang hadir setiap waktu, dan tidak bisa dibendung. "Kita membina PJTKI menjadi profesional, waktu yang sama dilakukan illegal untuk melakukan penempatan," ungkap Sumarlan. Hal ini terkait dengan pemberlakuan UU PPTKILN khusus bagi PJTKI dua tahun setelah disahkan.
Di akhir sidang, kedua saksi yang dihadirkan pemohon, H. Ali Abdullah dan Lilis Shilihah dengan antusias menceritakan keberhasilan mereka. Lilis Shilihah yang baru pulang dari Arab Saudi akhir 2005 bercerita tentang pengalamannya yang tidak mendapatkan masalah apapun selama 14 tahun menjadi TKI di luar negeri, padahal sekolah hanya sampai SD. H. Ali Abdullah yang berprofesi sebagai perekrut TKI sejak 1984 menyebutkan, sudah ribuan memberangkatkan TKI yang cuma lulusan SD dan tidak pernah ada kasus.
Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemohon ini berakhir jam 12.35 WIB. Sidang berikutnya adalah sidang pembacaan putusan. (Luthfi W.E.)
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=51
Comments