Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) atau yang sering disebut criminal procedure law berfungsi sebagai frame of action sebuah prosedur, proses dan mekanisme due process of law agar tercipta kepastian. Muara dari semua ini adalah perlindungan HAM terhadap warga negara atau setiap orang yang berada dalam jurisdiksi satu negara. Oleh karena itu kita harus pandang bahwa KUHAP itu merupakan instrumen bagi tiap orang agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh negara.
Hal tersebut disampaikan Dr. Hamid Awaludin, S.H. (Menteri Hukum dan HAM) dalam keterangannya mewakili pemerintah pada perkara pengujian UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kamis (16/11/2006).
Perkara No. 018/PUU-IV/2006 itu dimohon oleh Mayor Jendral (Purn) H. Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Provinsi Kalimantan Timur yang sedang mengalami penahanan dan kasusnya sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor. Menurut pemohon, Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang dipermasalahkan (terkait dengan penahanan yang dialaminya) tidak menyebut dengan tegas dan juga tidak mensyaratkan kriteria kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, merusak barang bukti atau mengulangi perbuatannya sehingga harus ditahan (alasan yang bersifat subjektif).
Pasal 21 ayat (1) KUHAP berbunyi sebagai berikut, "Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana".
Terkait dengan itu, lebih lanjut Hamid menjelaskan bahwa Pasal 21 berkaitan dengan Pasal 77 KUHAP yang mengatur tentang usaha praperadilan. "Pasal 77 KUHAP memberi rambu bahwa kalau negara sewenang-wenang dalam menjalankan Pasal 21 ini, maka ada mekanisme institusional yang dijamin oleh undang-undang untuk melakukan praperadilan," kata Hamid.
Yosep Suwardi Sabdah (dari Kejaksaan Agung RI) dalam kesempatan yang sama menjelaskan, adanya alasan subjektif memang memberikan diskresi atau keleluasaan pada pihak penyidik, penuntut umum, bahkan juga hakim. UUD 1945 juga tidak memuat ketentuan yang melarang pemberian diskresi.
"Di negara-negara yang menjunjung tinggi konstitusi dan HAM, keberadaan diskresi dikenal dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang bersifat inkonstitusional. Kata discretion yang ada dalam bahasa Inggris membuktikan bahwa hukum yang berlaku di Amerika Serikat dan Inggris menerima adanya diskresi sebagai sesuatu yang sah," papar Yosep.
Menurut Yosep, timbulnya praktek negatif akibat alasan subjektif berupa penahanan yang tidak perlu yakni penahanan yang tidak berdasarkan prinsip rasionalitas dan tindakan yang sewenang-wenang seperti yang dikemukakan oleh pemohon, tidaklah mengakibatkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP menjadi inkonstitusional.
Senada dengan itu, Brigjen Pol. Rasyid Ridho (dari Mabes Polri) menyatakan, syarat subjektif diperlukan untuk menegakkan rasa keadilan atau paling tidak untuk mengantisipasi situasi kekhawatiran. "Kalau penyidik, dalam hal ini Polri, melakukan pelanggaran Pasal 21 KUHAP, maka kami pasti sudah dituntut," ujarnya.
Dalam persidangan dengan agenda mendengar keterangan pemerintah, pihak terkait (kejaksaan dan Mabes Polri), dan ahli tersebut, dihadirkan Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H., guru besar hukum pidana Universitas Trisakti dan Universitas Padjajaran sebagai ahli yang diajukan MK.
Andi Hamzah menanggapi pertanyaan Hakim Konstitusi Dr. Harjono, S.H., M.C.L. menjelaskan, permasalahan yang ada sebenarnya bukan mengenai norma, melainkan mengenai cara memakai norma itu. "It is not the formula that decide the issue, but the man who have to apply the formula," ujarnya.
Terkait dengan adanya azas presumption of innocence, menurut Hamzah, azas tersebut tidak bisa diartikan letterlijk. Menahan sesorang harus ada dugaan keras telah melakukan tindak pidana dan itu bertentangan dengan presumption of innocence.
"Jadi KUHAP memang bertentangan dengan presumption of innocence KUHP, hal ini disebabkan sesorang itu sendiri telah melanggar hak asasi orang lain, jadi ada pengecualian," papar Hamzah yang saat ini menjabat sebagai Ketua Penyusun Rancangan KUHAP baru.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=236
KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) atau yang sering disebut criminal procedure law berfungsi sebagai frame of action sebuah prosedur, proses dan mekanisme due process of law agar tercipta kepastian. Muara dari semua ini adalah perlindungan HAM terhadap warga negara atau setiap orang yang berada dalam jurisdiksi satu negara. Oleh karena itu kita harus pandang bahwa KUHAP itu merupakan instrumen bagi tiap orang agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh negara.
Hal tersebut disampaikan Dr. Hamid Awaludin, S.H. (Menteri Hukum dan HAM) dalam keterangannya mewakili pemerintah pada perkara pengujian UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kamis (16/11/2006).
Perkara No. 018/PUU-IV/2006 itu dimohon oleh Mayor Jendral (Purn) H. Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Provinsi Kalimantan Timur yang sedang mengalami penahanan dan kasusnya sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor. Menurut pemohon, Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang dipermasalahkan (terkait dengan penahanan yang dialaminya) tidak menyebut dengan tegas dan juga tidak mensyaratkan kriteria kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, merusak barang bukti atau mengulangi perbuatannya sehingga harus ditahan (alasan yang bersifat subjektif).
Pasal 21 ayat (1) KUHAP berbunyi sebagai berikut, "Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana".
Terkait dengan itu, lebih lanjut Hamid menjelaskan bahwa Pasal 21 berkaitan dengan Pasal 77 KUHAP yang mengatur tentang usaha praperadilan. "Pasal 77 KUHAP memberi rambu bahwa kalau negara sewenang-wenang dalam menjalankan Pasal 21 ini, maka ada mekanisme institusional yang dijamin oleh undang-undang untuk melakukan praperadilan," kata Hamid.
Yosep Suwardi Sabdah (dari Kejaksaan Agung RI) dalam kesempatan yang sama menjelaskan, adanya alasan subjektif memang memberikan diskresi atau keleluasaan pada pihak penyidik, penuntut umum, bahkan juga hakim. UUD 1945 juga tidak memuat ketentuan yang melarang pemberian diskresi.
"Di negara-negara yang menjunjung tinggi konstitusi dan HAM, keberadaan diskresi dikenal dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang bersifat inkonstitusional. Kata discretion yang ada dalam bahasa Inggris membuktikan bahwa hukum yang berlaku di Amerika Serikat dan Inggris menerima adanya diskresi sebagai sesuatu yang sah," papar Yosep.
Menurut Yosep, timbulnya praktek negatif akibat alasan subjektif berupa penahanan yang tidak perlu yakni penahanan yang tidak berdasarkan prinsip rasionalitas dan tindakan yang sewenang-wenang seperti yang dikemukakan oleh pemohon, tidaklah mengakibatkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP menjadi inkonstitusional.
Senada dengan itu, Brigjen Pol. Rasyid Ridho (dari Mabes Polri) menyatakan, syarat subjektif diperlukan untuk menegakkan rasa keadilan atau paling tidak untuk mengantisipasi situasi kekhawatiran. "Kalau penyidik, dalam hal ini Polri, melakukan pelanggaran Pasal 21 KUHAP, maka kami pasti sudah dituntut," ujarnya.
Dalam persidangan dengan agenda mendengar keterangan pemerintah, pihak terkait (kejaksaan dan Mabes Polri), dan ahli tersebut, dihadirkan Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H., guru besar hukum pidana Universitas Trisakti dan Universitas Padjajaran sebagai ahli yang diajukan MK.
Andi Hamzah menanggapi pertanyaan Hakim Konstitusi Dr. Harjono, S.H., M.C.L. menjelaskan, permasalahan yang ada sebenarnya bukan mengenai norma, melainkan mengenai cara memakai norma itu. "It is not the formula that decide the issue, but the man who have to apply the formula," ujarnya.
Terkait dengan adanya azas presumption of innocence, menurut Hamzah, azas tersebut tidak bisa diartikan letterlijk. Menahan sesorang harus ada dugaan keras telah melakukan tindak pidana dan itu bertentangan dengan presumption of innocence.
"Jadi KUHAP memang bertentangan dengan presumption of innocence KUHP, hal ini disebabkan sesorang itu sendiri telah melanggar hak asasi orang lain, jadi ada pengecualian," papar Hamzah yang saat ini menjabat sebagai Ketua Penyusun Rancangan KUHAP baru.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=236
Comments