Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan menjadikan setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di masyarakat.
Paparan tersebut disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Pelatihan Peningkatan Kompetensi Tenaga Teknis Yustisial Panitera Pengganti dan Juru Panggil MK di Hotel Atlet Century Park Jakarta Sabtu, (18/11/2006).
Ketua MK yang hadir sebagai pemateri juga meyampaikan bahwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
"Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan semua orang tanpa kecuali," kata Jimly.
Pelatihan Peningkatan Kompetensi Tenaga Teknis Yustisial Panitera Pengganti dan Juru Panggil MK yang diadakan di Hotel Atlet Century Park Jakarta 17 s.d. 19 November 2006 juga menghadirkan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H. dan Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H.
Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H. pada kesempatan itu menjelaskan mengenai azas ius curia novit. Menurut Maruarar, adagium ini bermakna bahwa pengadilan mengetahui hukumnya (de rechtbank kent het recht).
"Dengan kata lain, pengadilan dianggap mengetahui hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sehingga pengadilan tidak boleh menolak perkara karena pendapat hukumnya tidak jelas," jelasnya.
Menanggapi pertanyaan dari peserta, Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H. menjelaskan bahwa Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang berbunyi,"Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945" telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 066/PUU-II/2004 tanggal 12 April 2005? jelas Soedarsono".
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=237
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan menjadikan setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di masyarakat.
Paparan tersebut disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Pelatihan Peningkatan Kompetensi Tenaga Teknis Yustisial Panitera Pengganti dan Juru Panggil MK di Hotel Atlet Century Park Jakarta Sabtu, (18/11/2006).
Ketua MK yang hadir sebagai pemateri juga meyampaikan bahwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
"Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan semua orang tanpa kecuali," kata Jimly.
Pelatihan Peningkatan Kompetensi Tenaga Teknis Yustisial Panitera Pengganti dan Juru Panggil MK yang diadakan di Hotel Atlet Century Park Jakarta 17 s.d. 19 November 2006 juga menghadirkan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H. dan Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H.
Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H. pada kesempatan itu menjelaskan mengenai azas ius curia novit. Menurut Maruarar, adagium ini bermakna bahwa pengadilan mengetahui hukumnya (de rechtbank kent het recht).
"Dengan kata lain, pengadilan dianggap mengetahui hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sehingga pengadilan tidak boleh menolak perkara karena pendapat hukumnya tidak jelas," jelasnya.
Menanggapi pertanyaan dari peserta, Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H. menjelaskan bahwa Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang berbunyi,"Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945" telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 066/PUU-II/2004 tanggal 12 April 2005? jelas Soedarsono".
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=237
Comments