Skip to main content

MENUJU PERDAMAIAN TOTAL

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Ada perbedaan rekonsiliasi antara Afrika Selatan dengan Indonesia. Di Afrika Selatan, persoalannya bersifat homogen, satu masalah, yaitu apartheid. Tapi di Indonesia ada multi masalah yang bisa dilihat dari segi politik, sosiologi, kebudayaan, agama dan sebagainya. Pernyataan tersebut disampaikan ahli dari pemohon Prof. Drs. M. Aminuddin dalam persidangan perkara No. 020/PUU-IV/2006 tentang pengujian UU No. 27 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) terhadap UUD 1945 yang diajukan Drs. Arukat Djaswadi, dkk. Sidang tersebut berlangsung Senin, (13/11) mulai pukul 10.00 WIB dengan agenda mendengar keterangan pemerintah, saksi, dan ahli dari pemohon.

Oleh karena itu, menurut Aminuddin, karena yang menjadi titik tolak adalah pengungkapan kebenaran, maka perlu dipertegas kebenaran yang mana. "Apakah kebenaran yang merasa menjadi korban, kemudian mereka mengakui semuanya sendiri tanpa diverifikasi oleh pihak lain, atau kebenaran yang peristiwanya menjadi pangkal tolak," ujarnya.

Prof. Dr. Mohammad Noor Syam, ahli lain dari pemohon, menyatakan bahwa UU KKR cacat hukum, karena sama sekali tidak menyebut secara tertulis berdasarkan filsafat negara Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. "J abaran kebenaran yang mau ditegakkan oleh komisi ini, kebenaran yang berlandaskan paradigma apa? Apakah paradigma sejarah semata-mata? Sejarah saja di Indonesia sekarang ada tujuh versi," kata Noor Syam. Untuk itu menurut Noor Syam, kita harus kembali kepada kebenaran fundamental (Pancasila) yang diamanatkan the founding fathers, karena kita ini pewaris dan penerus bangsa.

Pada kesempatan tersebut hadir pula Taufik Ismail, budayawan yang menceritakan perdamaian total yang dilakukan di Malaya (Malaysia) antara Partai Komunis Malaya dengan pemerintah Malaysia. Walaupun melalui dua kali perundingan yang sangat alot, tetapi kemudian hasilnya baik dan kemudian menjadi perdamaian total. Partai Komunis Malaya setuju mereka tidak lagi mencerca pemerintah. Pemerintah Malaysia juga tidak akan menyebut masa yang lalu, bahwa selama 40 tahun (1949-1989) mereka memberontak.

"Malaysia itu bangsa yang besar dalam hal ini," ujarnya. Lebih lanjut Taufik mengungkapkan, dalam sebuah perdamaian total, yang sangat penting adalah kemauan baik dari kedua belah pihak dan kepemimpinan yang kuat.

Abdul Wahid (Dirjen Perundang-Undangan Departemen Hukum Dan HAM) dalam kapasitasnya sebagai wakil pemerintah menjelaskan pendapat pemerintah. Menurut pemerintah, kedudukan hukum para pemohon tidak memenuhi persyaratan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan yurisprudensi yang dikembangkan oleh MK. Hal yang kedua adalah terhadap ketentuan-ketentuan yang dianggap pemohon bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5 UU KKR) sebenarnya cuma memuat definisi yang tidak mengandung norma dan hanya mempunyai makna apabila pihak terkait dengan substansi yang bersangkutan.

"Oleh karena itu seperti halnya tujuan yang sudah disepakati oleh banyak ahli dan para pembentuk undang-undang bahwa pemberian pengertian-pengertian di dalam undang-undang itu dimaksudkan untuk memberikan satu penafsiran yang tetap oleh para pembentuk undang-undang mengenai arti dari suatu istilah yang digunakan dalam keseluruhan undang-undang tersebut," ujarnya.

Oleh karena itu jika tidak sesuai dengan implementasi di lapangan, maka bukanlah ranah MK tetapi kepada ranah pembuat undang-undang untuk melakukan perubahan (legislative review).

Dalam sidang tersebut dihadirkan juga saksi dari pemohon, yaitu H. Firoz fauzan, Zaini, dan Mastur Sihab. Dihadirkan pula pihak terkait, kuasa hukum dari pemohon pengujian UU KKR sebelumnya (perkara No. 006/PUU-IV/2006) Taufik Basari, S.H., M. Hum., LL.M. dan Wahyu Wagiman, S.H.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=229

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan