Skip to main content

METODE PENAFSIRAN PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang pleno pengujian UU No.22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) yang diajukan oleh 31 Hakim Agung Mahkamah Agung, pada Senin, 22 Mei 2006 jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK Lantai 1 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Pada sidang ini selain para kuasa hukum 31 Hakim Agung, hadir pula pihak terkait dari KY diantaranya M. Thahir Saimima dan Prof. Dr. Mustafa Abdullah. Sidang ini juga dihadiri para ahli pihak terkait yaitu: Prof. Dr. H. Mahfud MD, Prof. Dr. Amran Halim, Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., Prof. Dr. Frans Limahelu, S.H., LL.M. dan Drs. Agun Gunanjar. Pada kesempatan ini hadir pula pihak terkait tidak langsung, Firmansyah Arifin (KRHN), Danang Widoyoko (ICW) dan Usman Hamid (Kontras).

Dalam sidang tersebut terkemuka pendapat tertulis Ketua KY Busyro Muqoddas S.H., M.Hum., yang disampaikan bergantian oleh para kuasa hukum KY. Pendapat tersebut diantaranya mengenai kajian makna kata hakim seperti yang tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menggunakan metode penafsiran suatu perundangan yang bersifat penafsiran sistematik, penafsiran otentik untuk melihat original intent, dan penafsiran sosiologis atau teleologis. Menurut Busyro, kata "hakim" seperti tersebut dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak hanya hakim pertama dan banding, tetapi juga termasuk Hakim Agung. "Komisi Yudisial mengawasi hakim termasuk Hakim Agung," kata Iskandar Sonhadji, S.H. membacakan pendapat Ketua KY.

Sidang yang dimaksudkan untuk mendengarkan keterangan pihak terkait tidak langsung, saksi/ahli dari pemohon dan ahli dari KY ini akhirnya ditunda karena ada permintaan dari kuasa hukum KY Bambang Widjojanto, S.H., LL.M. untuk menunggu saksi dari Pemohon. "Agar jelas kronologisnya," kata Bambang.

Menanggapi permintaan itu, Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengabulkannya karena terkait pada hak untuk mengajukan ahli dan saksi dari pihak terkait langsung. Menanggapi pertanyaan dari pihak terkait tidak langsung (KRHN, ICW dan Kontras) mengenai haknya, Jimly kemudian menjelaskan, dalam PMK disebutkan pihak terkait langsung mempunyai hak-hak seperti juga pihak. Sedangkan pihak terkait tidak langsung, tidak diberikan hak-haknya seperti halnya pihak terkait langsung. "Jadi tidak boleh tanya, tetapi boleh menyampaikan keterangan satu kali saja," kata Jimly. Menurut Jimly hal ini sangat penting bagi masyarakat yang punya kepedulian menyampaikan pendapat.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=149

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...