Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Ada perbedaan mendasar antara kritik dan penghinaan. Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. dalam sidang Perkara No. 013/PUU-IV/2006 dan 022/PUU-IV/2006 pengujian Pasal 134, 136 Bis dan 137 KUHP mengenai penghinaan kepada presiden dan wakil presiden RI, Selasa (14/11) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta, mengilustrasikannya, yaitu bila dirinya mengatakan kepada sesorang, "lebih baik kamu pakai baju yang lain, yang lebih bagus", berarti kritik, tetapi kalau dirinya mengatakan, "Anda ini cantik sekali, persis monyet di Ragunan" hal itu berarti penghinaan. "Tergantung kata-katanya dan apa yang diucapkan satu-persatu," kata Hamzah.
Lebih lanjut, Hamzah menjelaskan, martabat presiden (kepala negara) adalah hal yang ingin dipertahankan dengan adanya pasal penghinaan presiden tersebut. "Jadi kalau saya mengatakan, presiden itu monyet, itu berarti negara itu dikepalai oleh monyet, jadi terbawa-bawa negaranya,?"papar Hamzah.
Penjelasan Hamzah tersebut terkait dengan pertanyaan mengenai perbedaan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dengan pasal menghina biasa (Pasal 310 KUHP). Perbedaan selanjutnya menurut Hamzah adalah karena menyangkut martabat negara, maka penghinaan kepada presiden dan wakil presiden bukan delik aduan, sedangkan Pasal 310 KUHP harus dengan aduan.
Pada persidangan pengujian pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang dimohonkan oleh Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si. dan Pandapotan Lubis, dihadirkan pula Prof. Dr. J. E. Sahetapy, S.H. Menurutnya, kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan mengeluarkan pikiran harus dilihat dari berbagai perspektif. Sahetapy berpendapat, kalau ingin mempertahankan demokrasi dan reformasi maka harus ada kritik demi kepentingan umum. Walau begitu kritik juga membutuhkan perhitungan dengan memperhatikan kultur (budaya).
"Kita harus melihat pasal-pasal itu dalam konteks yang lebih luas, juga dalam konteks bagaimana mau memajukan reformasi dan demokrasi ini. Tanpa demokrasi ya tidak akan ada reformasi. Dan tanpa reformasi, demokrasi ini akan tersendat-sendat," kata Sahetapy. Lebih lanjut, Sahetapy berpendapat, pasal-pasal yang diujikan para pemohon sudah kehilangan, bukan hanya relevansinya tapi juga raison d'etre-nya (alasan keberadaan).
Dalam persidangan ini, dihadirkan pula saksi Sri Bintang Pamungkas yang pernah dituduh dan disangka berdasarkan laporan polisi di Hannover pada 31 Maret 1995 di Jerman, karena meneriakkan kata-kata penghinaan kepada Presiden Soeharto yang kebetulan berkunjung ke sana.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=231
Ada perbedaan mendasar antara kritik dan penghinaan. Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. dalam sidang Perkara No. 013/PUU-IV/2006 dan 022/PUU-IV/2006 pengujian Pasal 134, 136 Bis dan 137 KUHP mengenai penghinaan kepada presiden dan wakil presiden RI, Selasa (14/11) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta, mengilustrasikannya, yaitu bila dirinya mengatakan kepada sesorang, "lebih baik kamu pakai baju yang lain, yang lebih bagus", berarti kritik, tetapi kalau dirinya mengatakan, "Anda ini cantik sekali, persis monyet di Ragunan" hal itu berarti penghinaan. "Tergantung kata-katanya dan apa yang diucapkan satu-persatu," kata Hamzah.
Lebih lanjut, Hamzah menjelaskan, martabat presiden (kepala negara) adalah hal yang ingin dipertahankan dengan adanya pasal penghinaan presiden tersebut. "Jadi kalau saya mengatakan, presiden itu monyet, itu berarti negara itu dikepalai oleh monyet, jadi terbawa-bawa negaranya,?"papar Hamzah.
Penjelasan Hamzah tersebut terkait dengan pertanyaan mengenai perbedaan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dengan pasal menghina biasa (Pasal 310 KUHP). Perbedaan selanjutnya menurut Hamzah adalah karena menyangkut martabat negara, maka penghinaan kepada presiden dan wakil presiden bukan delik aduan, sedangkan Pasal 310 KUHP harus dengan aduan.
Pada persidangan pengujian pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang dimohonkan oleh Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si. dan Pandapotan Lubis, dihadirkan pula Prof. Dr. J. E. Sahetapy, S.H. Menurutnya, kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan mengeluarkan pikiran harus dilihat dari berbagai perspektif. Sahetapy berpendapat, kalau ingin mempertahankan demokrasi dan reformasi maka harus ada kritik demi kepentingan umum. Walau begitu kritik juga membutuhkan perhitungan dengan memperhatikan kultur (budaya).
"Kita harus melihat pasal-pasal itu dalam konteks yang lebih luas, juga dalam konteks bagaimana mau memajukan reformasi dan demokrasi ini. Tanpa demokrasi ya tidak akan ada reformasi. Dan tanpa reformasi, demokrasi ini akan tersendat-sendat," kata Sahetapy. Lebih lanjut, Sahetapy berpendapat, pasal-pasal yang diujikan para pemohon sudah kehilangan, bukan hanya relevansinya tapi juga raison d'etre-nya (alasan keberadaan).
Dalam persidangan ini, dihadirkan pula saksi Sri Bintang Pamungkas yang pernah dituduh dan disangka berdasarkan laporan polisi di Hannover pada 31 Maret 1995 di Jerman, karena meneriakkan kata-kata penghinaan kepada Presiden Soeharto yang kebetulan berkunjung ke sana.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=231
Comments