Skip to main content

PERMOHONAN AMIRUDIN DAN PUTUT AJI PUSARA Niet Ontvankelijk Verklaard

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Permohonan pengujian Pasal 36 ayat (4) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) terhadap UUD 1945 yang diajukan Amirudin dan Putut Aji Pusara, S.Kom dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard--NO). Hal itu terungkap dalam sidang pembacaan putusan perkara No. 011/PUU-IV/2006 pagi ini (4/10/2006) pukul 10.00 WIB di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak, yang berbunyi, "Selain dari persyaratan sebagai mana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 135, dalam hal Banding diajukan terhadap besar jumlah pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)" sebelumnya pernah diuji MK melalui perkara No. 004/PUU-II/2004 dengan putusan ditolak.

Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, Pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Terkait dengan itu, Pasal 42 ayat (2) PMK 06/PMK/2005 menyatakan, "permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda".

MK menganggap, alasan Amirudin dan Putut Aji Pusara tidak berbeda dengan alasan-alasan yang diajukan Pemohon dalam Perkara Nomor 004/PUU-II/2004, sehingga tidak memenuhi syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan berbeda sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (2) PMK 06/PMK/2005. Dengan kata lain, MK tidak berwenang lagi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus materi permohonan tersebut, sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=217

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...