Skip to main content

PERMOHONAN FX. CAHYO BAROTO TIDAK DITERIMA

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Mewarnai perselisihan antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY), FX. Cahyo Baroto mengajukan permohonan pengujian UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UUMA) dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY).

FX. Cahyo Baroto bermaksud menguji UU MA Pasal 32 ayat (1), (2), (3), (4), (5) khusus mengenai pengawasan MA terhadap perilaku hakim, Pasal 11 ayat (1) huruf e, Pasal 12 ayat (1) huruf b, ayat (2), Pasal 13 ayat (1), khusus kalimat ?atas usul Ketua MA?, dan pengujian UU KY Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan Pasal 23 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6) khusus mengenai usulan penjatuhan sanksi dari KY kepada pimpinan MA.

Pengujian ini diajukan Cahyo karena ia sebagai ahli waris almarhum Drs. R.J. Kaptin Adisumarta merasa mendapat perlakuan yang tidak adil dalam pelaksanaan eksekusi, dengan mengambil hak perdata milik pemohon, atas sikap dan perilaku Ketua Pengadilan selaku Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan secara sewenang-wenang.

Cahyo telah mengadukannya melalui MA, berkaitan pengawasan yang diatur di dalam Pasal 32 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UU MA, sebelum ada perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Namun pengawasan secara internal mengenai sanksi terhadap sikap dan perilaku hakim serta menunjukkan tidak cakap melaksanakan tugasnya tidak berjalan. Karena ternyata ada anak kalimat "atas usul Ketua Mahkamah Agung", hal ini dapat merugikan hak konstitusional Pemohon, karena dilindungi dengan SEMA No. 04 Tahun 2002 yang ditandatangani oleh Ketua MA (menurut Cahyo Baroto sikap dan perilaku Ketua Mahkamah Agung yang demikian berkaitan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf e, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 ayat (1) UU MA).

Dengan pemberlakuan UU KY, Cahyo merasa ada jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum terhadap hak-hak konstitusionalnya sebagaimana perintah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga Cahyo mengajukan pengaduan terhadap sikap dan perilaku hakim yang dianggapnya sewenang-wenang mengambil hak perdata miliknya, dengan Surat No.SUM.1/044/LAPD/IX/05 tanggal 14 September 2005 dan Surat No.SUM.1/010/LAPD/III/06 tanggal 17 Maret 2006, melalui KY hal ini dikarenakan perilaku hakim berlindung di balik SEMA No. 04 Tahun 2002.

Akan tetapi ternyata Pasal 21 UU KY khusus anak kalimat "mengajukan usul menjatuhkan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung" dan Pasal 22 ayat (1) huruf e UU KY memiliki anak kalimat "membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung . . . dst".

Dengan adanya bunyi pasal dan ayat dari UU KY tersebut, ternyata sanksi yang diberikan oleh KY terhadap hakim diusulkan lagi kepada MA, sehingga hak-hak konstitusionalnya (kesamaan hukum di hadapan polisi) dirugikan, di satu sisi Cahyo menganggap tidak mendapat jaminan, perlindungan dan kepastian hukum, sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan di sisi lain Cahyo menganggap tidak mendapat perlindungan dari perlakukan yang bersifat diskriminasi, sebagaimana amanat Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Atas permohonan ini, MK menyelenggarakan tiga kali sidang (termasuk putusan). Sidang pertama (20/4/3006), menegaskan permohonannya, FX. Cahyo Baroto yang diwakili kuasa hukumnya Dominggus Maurits Luitnan, SH, dkk menjelaskan alasan pengajuan judicial review ini. "Seharusnya KY melaporkan kepada Presiden atau minta kepada Presiden agar dijatuhi tindakan tertentu terhadap hakim-hakim atau hakim agung yang melakukan pelanggaran undang-undang atau misalnya melakukan korupsi," kata FX. Cahyo Baroto.

Putusan MK
Menanggapi permohonan tersebut, MK dalam pertimbangan hukum atas putusan perkara ini, menyatakan, kalaupun benar pemohon telah menderita kerugian dalam proses peradilan di pengadilan yang berada dalam ruang lingkup pengawasan MA, menurut MK, kerugian dimaksud sama sekali tidak ada hubungannya dengan ketentuan-ketentuan dalam dua undang-undang yang diuji.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK juga menjelaskan bahwa pada persidangan tanggal 20 April 2006, pemohon telah dinasihatkan untuk memperbaiki permohonannya dengan maksud agar permohonan memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun syarat-syarat kerugian konstitusional sebagaimana telah menjadi yurisprudensi MK. Namun, sampai batas waktu untuk melakukan perbaikan dimaksud terlampaui, ternyata pemohon tidak juga berhasil memenuhi syarat-syarat tersebut.

Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) UU MK juncto Pasal 11 ayat (5) PMK 06/2005, maka pada persidangan tanggal 9 Mei 2006 panel hakim telah memberitahu pemohon bahwa panel hakim akan melaporkan hasil pemeriksaan terhadap permohonan tersebut kepada Rapat Pleno Permusyaratan Hakim (RPH) untuk proses berikutnya.

Dalam RPH panel hakim mengetengahkan bahwa permohonan yang substansinya serupa dengan permohonan ini telah pernah diajukan kepada MK oleh pemohon Dominggus Maurits Luitnan, S.H., A. Azi Ali Tjasa, S.H., dan Toro Mendrofa, S.H. yang dalam permohonan ini bertindak selaku kuasa Pemohon " dan telah diputus oleh MK sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 017/PUU-III/2005, tanggal 6 Januari 2005, dengan amar putusan menyatakan "permohonan tidak dapat diterima" (niet ontvankelijk verklaard). Oleh sebab itu, segala bukti, keterangan, dan pertimbangan hukum yang relevan dalam putusan MK dimaksud juga berlaku terhadap permohonan ini, sehingga RPH tanggal 30 Mei 2006 berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.

Oleh karena persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka RPH memutuskan bahwa MK tidak perlu mendengar keterangan DPR dan Presiden (Pemerintah). Dengan kata lain, MK berpendapat tidak terdapat urgensi sebagaimana dimaksud Pasal 54 UU MK untuk memanggil DPR dan Presiden ataupun untuk meminta risalah rapat yang berkaitan dengan permohonan, sehingga tidak diperlukan lagi sidang pemeriksaan lanjutan.

Pemohon tidak memenuhi syarat kerugian sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK, MK menyatakan tidak perlu memeriksa dan mempertimbangkan lebih lanjut pokok perkara atau substansi permohonan, sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Putusan itu disampaikan Majelis Hakim MK yang dipimpin Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. pada 20 Juni 2006 lalu di ruang sidang MK Jalan Medan Merdeka barat No. 7 jakarta Pusat dengan tidak dihadiri pemohon dan kuasa hukumnya.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=162

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan