Skip to main content

PERMOHONAN KETUA DPRD KABUPATEN AGAM DAN PARA WALI NAGARI KABUPATEN AGAM BERAKHIR DENGAN KETETAPAN

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Pengujian Pasal 7 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah 2004), yang diajukan oleh Yandril, H. Anwar Maksum, dkk (Ketua DPRD Kabupaten Agam dan para Wali Nagari Kabupaten Agam yang berjumlah 16 orang) berakhir dengan dikeluarkannya Ketetapan Mahkamah Konstitusi No. 017/PUU-IV/2006 pada sidang yang seharusnya beragenda mendengarkan keterangan Gubernur Provinsi Sumatra Barat, DPRD Provinsi Sumatra Barat, Bupati Agam, DPRD Kabupaten Agam, Walikota Bukit Tinggi dan DPRD Kota Bukit Tinggi, Kamis (9/11/2006) di Ruang Sidang MK.

Ketetapan tersebut menyatakan, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk menarik kembali permohonannya; menyatakan perkara No. 017/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditarik kembali; menyatakan permohonan para Pemohon a quo, tidak dapat diajukan kembali; dan memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat penarikan kembali perkara No. 017/PUU-IV/2006 a quo dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 7 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah 2004 berbunyi, "Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama bagian rupa bumi serta perubahan nama, atau pemindahan ibukota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah".

Pada sidang-sidang sebeumnya, menurut para pemohon, terdapat kerugian yang dialami masyarakat sebagai akibat dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah 2004. Pertama, dari segi kepastian hukum di mana perubahan suatu undang-undang pembentukan daerah hanya bisa dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi atau sama, bukan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Kedua, dari segi sosial budaya bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah 2004 akan ada potensi pemisahan budaya dari daerah yang mengalami perubahan tersebut. Menurut para pemohon, kondisi ini telah di alami di Kabupaten Agam.

Pada sidang Kamis (9/11), Ketua MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. sempat menanyakan kepada kuasa hukum para pemohon (karena para pemohon prinsipal tidak hadir) mengenai alasan penarikan kembali permohonan.

Menjawab hal itu, Purwoko Suatmadji, S.H., kuasa hukum para pemohon, menjelaskan bahwa Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah mengunjungi Kabupaten Agam dan Bukittinggi karena adanya masalah ini. Setelah meneliti dan mengkaji permasalahan, DPD merekomendasikan kepada pemerintah (Mendagri) untuk meninjau ulang keberadaan PP yang telah mengubah batas wilayah Agam atau menganjurkan kepada pihak-pihak yang terkait untuk menyelesaikan masalah ini.

"Dan oleh dasar itulah, DPRD Kabupaten Agam dan para wali nagari Agam mencoba untuk menunggu janji dari DPD RI yang katanya akan membicarakan hal tersebut kepada pemerintah, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk mencabut permohonan ini," jelas Purwoko.

Pembacaan Ketetapan ini disaksikan pula oleh H. Leonardi Harmaeni (Ketua DPRD Provinsi Sumbar), H. Trisman, S.H. (Ketua DPRD Bukitinggi), Drs. H. Jufri (Walikota Bukitinggi) dan Drs. Sultani Wirman, S.H. (Asisten I Pemda Sumbar).

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=228

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus