Skip to main content

SEBAGIAN KETENTUAN UU KY DAN UU KK BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, pasal-pasal dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) sepanjang menyangkut perluasan pengertian hakim [Pasal 24B ayat (1) UUD 1945] yang meliputi hakim konstitusi terbukti bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu MK menyatakan, segala ketentuan UU KY yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Hal itu terungkap dalam sidang pembacaan putusan perkara No. 005/PUU-IV/2006 yang diajukan 31 hakim agung berupa pengujian beberapa pasal dalam UU KY dan UU KK Rabu siang (23/8/2006). Permohonan ini terkait dengan adanya pasal yang menyatakan hakim agung (termasuk di dalamnya hakim konstitusi dari MK) menjadi obyek pengawasan serta dapat diusulkan penjatuhan sanksi oleh KY.

Menurut MK, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY, sehingga pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan yang tersendiri sesuai ketentuan Pasal 23 UU No. 25 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945.

Selain itu, MK menyatakan, permohonan para Pemohon menyangkut pengertian hakim [Pasal 24B ayat (1) UUD 1945] meliputi hakim agung, terbukti tidak cukup beralasan. MK menegaskan, terpulang kepada pembentuk undang-undang (DPR dan presiden) untuk menentukan kebijakan hukum yang akan dipilih dalam rangka menjalankan perintah Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Terkait dengan permohonan para Pemohon mengenai pengaturan mengenai prosedur pengawasan, MK berpendapat, perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UU KY mengenai wewenang lain sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan rumusan kalimat yang berbeda sehingga menimbulkan masalah dalam penormaannya yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).

Menurut MK, UU KY terbukti tidak rinci mengatur tentang prosedur pengawasan, tidak jelas dan tegas menentukan siapa subyek yang mengawasi, apa obyek yang diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Hal ini menyebabkan semua ketentuan UU KY tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.

Untuk mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama berkaitan dengan tugas KY, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan perilaku hakim, MK merekomendasikan, UU KY segera harus disempurnakan melalui proses perubahan undang-undang sebagaimana mestinya. Karena itu, MK menganjurkan kepada DPR dan Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah penyempurnaan UU KY. Selain itu DPR dan Presiden diharapkan dapat melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UU KK, UU MA, UU MK, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu.

MK juga mengharapkan agar MA dapat meningkatkan pengawasan terutama dengan cara lebih membuka diri dalam merespons kritik, harapan, dan saran dari berbagai pihak. Menurut MK dalam putusan tanpa adanya dissenting opinion ini, prinsip kebebasan hakim oleh hakim sendiri harus dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk mewujudkan peradilan yang bebas (fair trial) yang merupakan prasyarat bagi tegaknya rule of law.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=197

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan