Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
MK menyatakan, Pasal 27 UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) yang berbunyi, "Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan" bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi, karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal tersebut, maka implikasi hukumnya mengakibatkan seluruh pasal berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan.
Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan perkara 006/PUU-IV/2006 yang dimohonkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB), Raharja Waluya Jati, dan H. Tjasman Setyo Prawiro dengan kuasa hukum Tim Advokasi Keadilan dan Kebenaran, siang ini (7/12/2006) di Ruang Sidang MK, Jalan Medan Merdeka barat No. 7 Jakarta. Terhadap putusan MK ini, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pembatalan keseluruhan UU KKR tersebut dapat dilakukan dan tidak melanggar hukum acara, meskipun permohonan (petitum) yang diajukan hanya menyangkut Pasal 1 Angka 9, Pasal 27, dan Pasal 44 UU KKR, karena pada dasarnya hukum acara yang berkaitan dengan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya bersifat erga omnes, sehingga tidak tepat untuk melihatnya sebagai hal yang bersifat ultra petita yang dikenal dalam konsep hukum perdata.
Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) termuat dalam Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta padanannya dalam Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg, yang merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di Indonesia. Hal demikian dapat dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak satu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu atau orang perorangan terletak pada kehendak atau pertimbangan orang perorangan tersebut, yang tidak dapat dilampaui.
Namun, perkembangan yang terjadi dan karena kebutuhan kemasyarakatan menyebabkan aturan tersebut tidak diberlakukan lagi secara mutlak. Pertimbangan keadilan dan kepantasan dapat dijadikan alasan, sebagaimana tampak antara lain dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Mei 1970, tanggal 4 Februari 1970, dan tanggal 8 Januari 1972 serta putusan lain yang lebih, kemudian di mana ditegaskan bahwa Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg tidak berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban Hakim untuk bersikap aktif dan selalu harus berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara.
Lagi pula dalam gugatan perdata biasanya dicantumkan permohonan Penggugat kepada Hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Dengan demikian, Hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari petitum. Terlebih lagi bagi Hakim Konstitusi yang menjalankan hukum acara dalam perkara pengujian undang-undang yang terkait dengan kepentingan umum. Meskipun yang mengajukan permohonan pengujian suatu undang-undang adalah perorangan yang dipandang memiliki legal standing, akan tetapi undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut berlaku umum dan menyangkut kepentingan masyarakat luas, serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari pada sekadar mengenai kepentingan Pemohon sebagai perorangan. Apabila kepentingan umum dimaksud menghendakinya, Hakim Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan atau petitum yang diajukan.
Hal demikian juga menjadi praktik yang lazim diterapkan di Mahkamah Konstitusi negara lain. Misalnya, Pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (1987) menyatakan, "Mahkamah Konstitusi memutus konstitusional tidaknya suatu undang-undang atau suatu ketentuan dari undang-undang hanya yang dimohonkan pengujian. Dalam hal seluruh ketentuan dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat dari putusan inkonstituionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan tentang inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undang-undang tersebut."
MK pun telah menerapkan hal tersebut, misalnya Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Pasal 27 UU KKR Tidak Memberi Kepastian Hukum dan Keadilan
Hal yang melatarbelakangi Pasal 27 UU KKR dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah karena tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi digantungkan kepada sesuatu yang belum pasti, yaitu amnesti. Amnesti ini sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden untuk memberikan atau tidak setelah mendengar pertimbangan DPR sekalipun misalnya telah terbukti bahwa yang bersangkutan adalah korban.
Hal ini tidaklah adil bagi korban, sebab di satu pihak, pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara implisit dinyatakan sebagai hak [Pasal 29 Ayat (3) UU KKR], tetapi kompensasi dan rehabilitasi secara implisit pun tidak disebut sebagai hak.
Selain itu, ketentuan Pasal 27 UU KKR juga tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada pelaku, karena tidak terdapat jaminan bahwa pelaku akan dengan sendirinya memperoleh amnesti setelah mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban dan atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.
Hal itu dikarenakan, berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UU KKR, jika korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan maka "Komisi memutus pemberian rekomendasi secara mandiri dan objektif".
UU KKR-pun tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan frasa ?Komisi memutus pemberian rekomendasi secara mandiri dan objektif? itu. Namun, dengan mengikuti penalaran yang wajar, dalam frasa tersebut tetap terdapat kemungkinan bahwa pelaku tidak direkomendasikan untuk mendapatkan amnesti, meskipun ia telah mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban dan atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=248
MK menyatakan, Pasal 27 UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) yang berbunyi, "Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan" bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi, karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal tersebut, maka implikasi hukumnya mengakibatkan seluruh pasal berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan.
Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan perkara 006/PUU-IV/2006 yang dimohonkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB), Raharja Waluya Jati, dan H. Tjasman Setyo Prawiro dengan kuasa hukum Tim Advokasi Keadilan dan Kebenaran, siang ini (7/12/2006) di Ruang Sidang MK, Jalan Medan Merdeka barat No. 7 Jakarta. Terhadap putusan MK ini, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pembatalan keseluruhan UU KKR tersebut dapat dilakukan dan tidak melanggar hukum acara, meskipun permohonan (petitum) yang diajukan hanya menyangkut Pasal 1 Angka 9, Pasal 27, dan Pasal 44 UU KKR, karena pada dasarnya hukum acara yang berkaitan dengan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya bersifat erga omnes, sehingga tidak tepat untuk melihatnya sebagai hal yang bersifat ultra petita yang dikenal dalam konsep hukum perdata.
Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) termuat dalam Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta padanannya dalam Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg, yang merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di Indonesia. Hal demikian dapat dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak satu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu atau orang perorangan terletak pada kehendak atau pertimbangan orang perorangan tersebut, yang tidak dapat dilampaui.
Namun, perkembangan yang terjadi dan karena kebutuhan kemasyarakatan menyebabkan aturan tersebut tidak diberlakukan lagi secara mutlak. Pertimbangan keadilan dan kepantasan dapat dijadikan alasan, sebagaimana tampak antara lain dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Mei 1970, tanggal 4 Februari 1970, dan tanggal 8 Januari 1972 serta putusan lain yang lebih, kemudian di mana ditegaskan bahwa Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg tidak berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban Hakim untuk bersikap aktif dan selalu harus berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara.
Lagi pula dalam gugatan perdata biasanya dicantumkan permohonan Penggugat kepada Hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Dengan demikian, Hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari petitum. Terlebih lagi bagi Hakim Konstitusi yang menjalankan hukum acara dalam perkara pengujian undang-undang yang terkait dengan kepentingan umum. Meskipun yang mengajukan permohonan pengujian suatu undang-undang adalah perorangan yang dipandang memiliki legal standing, akan tetapi undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut berlaku umum dan menyangkut kepentingan masyarakat luas, serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari pada sekadar mengenai kepentingan Pemohon sebagai perorangan. Apabila kepentingan umum dimaksud menghendakinya, Hakim Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan atau petitum yang diajukan.
Hal demikian juga menjadi praktik yang lazim diterapkan di Mahkamah Konstitusi negara lain. Misalnya, Pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (1987) menyatakan, "Mahkamah Konstitusi memutus konstitusional tidaknya suatu undang-undang atau suatu ketentuan dari undang-undang hanya yang dimohonkan pengujian. Dalam hal seluruh ketentuan dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat dari putusan inkonstituionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan tentang inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undang-undang tersebut."
MK pun telah menerapkan hal tersebut, misalnya Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Pasal 27 UU KKR Tidak Memberi Kepastian Hukum dan Keadilan
Hal yang melatarbelakangi Pasal 27 UU KKR dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah karena tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi digantungkan kepada sesuatu yang belum pasti, yaitu amnesti. Amnesti ini sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden untuk memberikan atau tidak setelah mendengar pertimbangan DPR sekalipun misalnya telah terbukti bahwa yang bersangkutan adalah korban.
Hal ini tidaklah adil bagi korban, sebab di satu pihak, pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara implisit dinyatakan sebagai hak [Pasal 29 Ayat (3) UU KKR], tetapi kompensasi dan rehabilitasi secara implisit pun tidak disebut sebagai hak.
Selain itu, ketentuan Pasal 27 UU KKR juga tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada pelaku, karena tidak terdapat jaminan bahwa pelaku akan dengan sendirinya memperoleh amnesti setelah mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban dan atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.
Hal itu dikarenakan, berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UU KKR, jika korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan maka "Komisi memutus pemberian rekomendasi secara mandiri dan objektif".
UU KKR-pun tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan frasa ?Komisi memutus pemberian rekomendasi secara mandiri dan objektif? itu. Namun, dengan mengikuti penalaran yang wajar, dalam frasa tersebut tetap terdapat kemungkinan bahwa pelaku tidak direkomendasikan untuk mendapatkan amnesti, meskipun ia telah mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban dan atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=248
Comments