Skip to main content

ELECTORAL THRESHOLD TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Persyaratan bagi partai politik agar dapat mengikuti pemilu berikutnya, yakni partai politik harus memenuhi ketentuan electoral threshold yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) atau bergabung dengan partai politik lainnya apabila ketentuan electoral threshold tidak terpenuhi [Pasal 9 ayat (2) UU Pemilu] tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konsitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan perkara No. 16/PUU-V/2007 yang diajukan 13 partai politik yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold, pada Selasa (23/10/2007).


Partai politik tersebut antara lain: Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Pelopor (PP), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Serikat Indonesia (PSI), dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB).


Dalam permohonannya, 13 partai politik tersebut menyampaikan bahwa sejarah menunjukan electoral threshold bertujuan untuk mengeliminasi partai-partai yang sesungguhnya tidak diinginkan kehadirannya. Proses itu kemudian berkembang di Indonesia menjadi lebih luas lagi, sehingga threshold menjadi bentuk pembatasan untuk mengikuti pemilu berikutnya bagi partai yang telah ikut pemilu dengan tujuan untuk mengurangi jumlah Parpol. Hal ini dianggap sangat merugikan hak kostitusional para Pemohon.


MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa berdasarkan UU Pemilu, partai politik yang telah berstatus sebagai badan hukum tidak secara serta merta (otomatis) dapat mengikuti pemilu, karena masih harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi administratif dan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum. Hal ini berarti eksistensi partai politik dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilu memang merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan.


Menurut MK, setidak-tidaknya, hal itulah yang menjadi kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan mandat bebas kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, termasuk mengenai persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan electoral threshold.


Ketentuan tentang electoral threshold sudah dikenal sejak Pemilu 1999 yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang kemudian diadopsi lagi dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, yang menaikkannya dari 2% (dua persen) menjadi 3% (tiga persen), sehingga, menurut MK, para Pemohon seharusnya sudah sangat memahami sejak dini bahwa ketentuan tentang electoral threshold tersebut memang merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang dalam rangka membangun suatu sistem multipartai sederhana di Indonesia.


Menurut MK, kebijakan hukum (legal policy) di bidang kepartaian dan pemilu tersebut bersifat objektif, dalam arti sebagai seleksi alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai yang hidup kembali di Indonesia di era reformasi, setelah dianutnya sistem tiga partai pada era Orde Baru melalui penggabungan partai yang dipaksakan. Terkait dengan itu, di antara para Pemohon ada yang ikut menentukan besaran electoral threshold tersebut, dan semuanya mengikuti Pemilu 2004. Hal ini berarti partai secara sadar sudah menerima adanya ketentuan tentang electoral threshold dalam UU Pemilu.


Terkait dengan banyaknya negara yang menganut parliamentary threshold dan bukan electoral threshold sebagai syarat untuk ikut pemilu berikutnya, bagi MK, hal itu adalah masalah pilihan kebijakan dalam rangka membangun sistem kepartaian dan sistem perwakilan yang kuat dalam kehidupan ketatanegaraan dan politik melalui cara-cara yang demokratis dan konstitusional.



http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=462

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...