Skip to main content

MK BUKA PELUANG CALON INDEPENDEN DALAM PILKADA

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan sebagian pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan (independen) dalam Pilkada bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini dinyatakan dalam sidang pengucapan putusan perkara Nomor 5/PUU-V/2007 yang diajukan Lalu Ranggalawe, Senin (23/7/2007).


Pasal-pasal yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut antara lain: Pasal 56 ayat (2) yang berbunyi, "Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik"; Pasal 59 ayat (1) sepanjang mengenai frasa "yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik"; Pasal 59 ayat (2) sepanjang mengenai frasa "sebagaimana dimaksud pada ayat (1)"; Pasal 59 ayat (3) sepanjang mengenai frasa "Partai politik atau gabungan partai politik wajib", frasa "yang seluas-luasnya", dan frasa "dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud".


Lalu Ranggalawe, anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah yang mengajukan permohonan ini, sebagaimana diungkapkannya dalam permohonannya, menganggap UU Pemda khususnya Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) huruf a, dan (5) huruf c, ayat (6) dan Pasal 60 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), telah menghilangkan makna demokrasi yang diamanatkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.


Pasal-pasal tersebut menurut Lalu hanya memberikan hak kepada parpol atau gabungan parpol untuk mengusulkan/mengajukan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan sama sekali menutup peluang bagi pasangan calon independen. Lalu juga mengaitkan dengan dibolehkannya calon independen di daerah Nanggroe Aceh Darussalam [Pasal 67 ayat (1) huruf d UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh)].


Menanggapi hal tersebut, dalam pertimbangan hukumnya, Mk menjelaskan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh yang membuka kesempatan bagi calon perseorangan dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah memang tidak bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.


Menurut MK, pemberian kesempatan kepada calon perseorangan bukan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan karena keadaan darurat ketatanegaraan yang terpaksa harus dilakukan, tetapi lebih sebagai pemberian peluang oleh pembentuk undang-undang dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar lebih demokratis. Dengan kata lain, pembentuk undang-undang, baik dalam merumuskan Pasal 56 ayat (1) UU Pemda maupun Pasal 67 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh tidak melakukan pelanggaran terhadap Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.


Karenanya, MK berpendapat bahwa pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan di luar Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam haruslah dibuka agar tidak terdapat adanya dualisme dalam melaksanakan ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 karena adanya dualisme tersebut dapat menimbulkan terlanggarnya hak warga negara yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.


Akan tetapi, maksud dan tujuan tersebut tidaklah dapat dicapai dengan cara MK mengabulkan seluruh permohonan Pemohon yaitu dengan menyatakan pasal-pasal yang dimohonkan oleh Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Karena cara demikian akan menimbulkan pengertian bahwa pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh parpol juga bertentangan dengan UUD 1945. Padahal, yang dimaksudkan adalah pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah selain melalui parpol, sebagaimana telah diatur oleh UU Pemda dalam Pasal 56 Ayat (2), juga harus dibuka pencalonan secara perseorangan.


Terkait dengan itu, MK menegaskan bahwa dirinya bukan pembentuk undang-undang yang dapat menambah ketentuan undang-undang dengan cara menambahkan rumusan kata-kata pada undang-undang yang diuji. Namun MK dapat menghilangkan kata-kata yang terdapat dalam sebuah ketentuan undang-undang supaya norma yang materinya terdapat dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tidak bertentangan lagi dengan UUD 1945. Sedangkan terhadap materi yang sama sekali baru yang harus ditambahkan dalam undang-undang merupakan tugas pembentuk undang-undang untuk merumuskannya.

Agar calon perseorangan tanpa melalui parpol atau gabungan parpol dimungkinkan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka menurut MK beberapa pasal UU Pemda yang dimohonkan pengujian harus dikabulkan sebagian dengan cara menghapuskan seluruh bunyi ayat atau bagian pasal sebagai berikut:

Pasal 56 ayat (2) berbunyi, �Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik� dihapus seluruhnya, karena menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, dengan hapusnya Pasal 56 ayat (2), Pasal 56 menjadi tanpa ayat dan berbunyi, �Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil�;

Pasal 59 ayat (1) dihapus pada frasa yang berbunyi, �yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik�, karena akan menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, Pasal 59 ayat (1) akan berbunyi, Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon�;

Pasal 59 ayat (2) dihapus pada frasa yang berbunyi, �sebagaimana dimaksud pada ayat (1)�, hal ini sebagai konsekuensi berubahnya bunyi Pasal 59 ayat (1), sehingga Pasal 59 ayat (2) akan berbunyi, �Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan�. Dengan demikian, Pasal 59 ayat (2) ini merupakan ketentuan yang memuat kewenangan parpol atau gabungan parpol dan sekaligus persyaratannya untuk mengajukan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pilkada;

Pasal 59 ayat (3) dihapuskan pada frasa yang berbunyi, �Partai politik atau gabungan partai politik wajib�, frasa yang berbunyi, �yang seluas-luasnya�, dan frasa yang berbunyi, �dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud�, sehingga Pasal 59 ayat (3) akan berbunyi, �Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.� Dengan demikian, terbukalah kesempatan bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol.

Terhadap Putusan MK ini, terdapat tiga orang Hakim Konstitusi yang mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni H. Achmad Roestandi, I Dewa Gede Palguna, dan H.A.S. Natabaya.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=420

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...