Skip to main content

PERMOHONAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT BATAK TIMUR WILAYAH SERDANG HULU TIDAK DAPAT DITERIMA

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Permohonan Kelompok Warga Negara Indonesia yang mempunyai kepentingan sama, yang bergabung dalam dan menamakan diri sebagai Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur Wilayah Serdang Hulu untuk menguji UU No. 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir Dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara (UU 36/2003) dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Hal tersebut terungkap dalam sidang pembacaan/pengucapan putusan perkara 4/PUU-VI/2008, Selasa, (27/5) di Ruang Sidang MK.

Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan, antara lain karena dalam bidang budaya, sejarah wilayah Serdang Hulu yang sejak dulu merupakan tempat berpijak dan berkembangnya nilai-nilai budaya masyarakat setempat menjadi hilang. Karena, dengan adanya pemekaran, wilayah Serdang Hulu terpecah menjadi dua wilayah, yakni sebagian masuk wilayah Kabupaten Deli Serdang dan sebagian lainnya masuk wilayah Kabupaten Serdang Bedagai.

Selain itu, menurut Pemohon telah terjadi pemaksaan kehendak oleh Pemerintah Serdang Bedagai yang telah memberhentikan sembilan kepala desa di Kecamatan Bangun Purba dan secara sepihak mengangkat caretaker kepala desa di Kecamatan Bangun Purba mengakibatkan timbulnya konflik horizontal dan vertikal di wilayah tersebut hingga kini.

MK dalam konklusinya menyatakan bahwa dalam kerugian yang dialami Pemohon bukanlah kerugian hak-hak konstitusional. “Dalam proses pembentukan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai hasil pemekaran Kabupaten Deli Serdang di Provinsi Sumatera Utara telah terjadi perubahan di lapangan yang mengakibatkan Pemohon, selaku kelompok orang warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan sama, merasa dirugikan. Namun, telah ternyata bahwa kerugian tersebut bukanlah kerugian hak-hak konstitusional yang dimaksud dalam Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, ” ucap Ketua MK, Jimly Asshiddiqie dalam sidang terbuka untuk umum.

Lebih lanjut Jimly menyatakan bahwa substansi persoalan dalam permohonan sesungguhnya berada dalam ruang lingkup kewenangan eksekutif (Pemerintah) untuk menyelesaikannya, yaitu tidak atau belum tuntasnya persoalan batas wilayah antara Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai yang berakibat timbulnya dualisme pemerintahan di sembilan desa yang berada dalam perbatasan kedua kabupaten dimaksud, bukan persoalan inkonstitusionalitas norma undang-undang.

“Oleh karena tidak terdapat kerugian hak konstitusional maka syarat kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, tidak terpenuhi sehingga permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard),” kata Ketua MK.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=1535

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...