Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Komisi Independen Pemilihan Tingkat Kabupaten Aceh Tenggara (KIP Aceh Tenggara) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tenggara (DPRK Aceh Tenggara) yang mengajukan permohonan perkara Nomor 26/SKLN-V/2007 tidaklah mempunyai kedudukan hukum (legal standing).
Hal ini dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan/pengucapan putusan perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 antara KIP Aceh Tenggara (Pemohon I) bersama DPRD/DPRK Aceh Tenggara (Pemohon II) dan KIP NAD (Termohon I), Gubernur Provinsi NAD (Termohon II), bersama Presiden Republik Indonesia c.q. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Termohon III), Selasa (11/3) di Gedung MK.
Perkara ini terkait dengan anggapan bahwa kewenangan konstitusional Pemohon I diambil alih oleh Termohon I yang mengeluarkan hasil perhitungan suara Pemilihan Kepala Daerah Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2006 pada 11 Desember 2006. Hal ini, menurut Pemohon I, bertentangan dengan Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintah Aceh) yang menyatakan bahwa KIP NAD menyelenggarakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan KIP Kabupaten/Kota (Pemohon I) menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta pemilihan Walikota dan Wakil Walikota.
Termohon II pun dianggap mengabaikan kewenangan konstitusional Pemohon II dengan mengajukan pengusulan pengesahan Calon Bupati/Wakil Bupati Aceh Tenggara yang terpilih dalam Pilkada kepada Termohon III. Lebih lanjut Termohon III mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Penghentian Pejabat Bupati dan Pengesahan Pengangkatan Bupati/Wakil Bupati Aceh Tenggara.
Tindakan tersebut merupakan tindak lanjut dari usulan Termohon II yang dianggap mengabaikan kewenangan konstitusional Pemohon II karena adanya Pasal 24 ayat (1) huruf d UU Pemerintah Aceh yang menegaskan bahwa DPRK mempunyai tugas dan wewenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur.
Putusan MK
Dalam pertimbangan hukum putusan, MK menyatakan bahwa KIP, baik KIP Aceh Tenggara maupun KIP Provinsi NAD, berdasarkan UU Pemerintahan Aceh junctis Qanun No. 2 Tahun 2004 sebagaimana diperbaiki dengan Qanun No. 3 Tahun 2005 dan Qanun No. 7 Tahun 2006 “diberi wewenang oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota”. Sehingga dapat ditentukan Pemohon I maupun Pemohon II bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Selain itu, Pemohon II maupun Termohon II, masing-masing mendasarkan diri pada kewenangan yang diberikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Pemerintahan Aceh sehingga dengan demikian kewenangan yang dipersengketakan bukanlah kewenangan yang diatur dan diberikan oleh UUD 1945 kepada masing-masing pihak.
Dengan kata lain, “baik dari syarat objectum litis maupun subjectum litis, permohonan para Pemohon tidak termasuk ruang lingkup kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya,” tegas ketua MK, Jimly Asshiddiqie, dalam persidangan yang terbuka untuk umum tersebut. Oleh karenanya, para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dan permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat yang ditentukan sehingga permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
“... dengan memperhatikan hal-hal yang terungkap dalam persidangan dan terlepas dari tidak terpenuhinya syarat subjectum litis dan objectum litis dalam permohonan a quo, namun mengingat banyaknya kasus-kasus sengketa yang terkait dengan Pilkada di berbagai daerah yang potensial untuk disalahpahami sebagai sengketa kewenangan lembaga negara yang diajukan kepada Mahkamah, maka Mahkamah memandang penting akan perlunya kearifan dan tindakan semua pihak yang terkait untuk secara cepat dan tanggap menindaklanjuti setiap laporan tentang adanya penyimpangan dalam penyelenggaraan Pilkada, baik yang bersifat administratif maupun yang bersifat pidana, agar rakyat tidak kehilangan kepercayaan atas pelaksanaan demokrasi dan pemerintahan yang menyebabkan terganggunya agenda pembangunan untuk kepentingan rakyat.”
Sumber: Putusan MK Nomor 26/SKLN-V/2007
Kuasa hukum para Pemohon, O.C. Kaligis, ketika diminta pendapatnya seusai sidang, menyatakan, tidak ada istilah menang atau kalah pasca putusan MK terkait dengan persoalan yang dialami para Pemohon. “Karena permohonan dinyatakan tidak dapat diterima,“ ungkapnya. Lebih lanjut menurut Kaligis, pihaknya akan menempuh upaya lain demi mendapatkan keadilan.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=582
Komisi Independen Pemilihan Tingkat Kabupaten Aceh Tenggara (KIP Aceh Tenggara) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tenggara (DPRK Aceh Tenggara) yang mengajukan permohonan perkara Nomor 26/SKLN-V/2007 tidaklah mempunyai kedudukan hukum (legal standing).
Hal ini dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan/pengucapan putusan perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 antara KIP Aceh Tenggara (Pemohon I) bersama DPRD/DPRK Aceh Tenggara (Pemohon II) dan KIP NAD (Termohon I), Gubernur Provinsi NAD (Termohon II), bersama Presiden Republik Indonesia c.q. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Termohon III), Selasa (11/3) di Gedung MK.
Perkara ini terkait dengan anggapan bahwa kewenangan konstitusional Pemohon I diambil alih oleh Termohon I yang mengeluarkan hasil perhitungan suara Pemilihan Kepala Daerah Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2006 pada 11 Desember 2006. Hal ini, menurut Pemohon I, bertentangan dengan Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintah Aceh) yang menyatakan bahwa KIP NAD menyelenggarakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan KIP Kabupaten/Kota (Pemohon I) menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta pemilihan Walikota dan Wakil Walikota.
Termohon II pun dianggap mengabaikan kewenangan konstitusional Pemohon II dengan mengajukan pengusulan pengesahan Calon Bupati/Wakil Bupati Aceh Tenggara yang terpilih dalam Pilkada kepada Termohon III. Lebih lanjut Termohon III mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Penghentian Pejabat Bupati dan Pengesahan Pengangkatan Bupati/Wakil Bupati Aceh Tenggara.
Tindakan tersebut merupakan tindak lanjut dari usulan Termohon II yang dianggap mengabaikan kewenangan konstitusional Pemohon II karena adanya Pasal 24 ayat (1) huruf d UU Pemerintah Aceh yang menegaskan bahwa DPRK mempunyai tugas dan wewenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur.
Putusan MK
Dalam pertimbangan hukum putusan, MK menyatakan bahwa KIP, baik KIP Aceh Tenggara maupun KIP Provinsi NAD, berdasarkan UU Pemerintahan Aceh junctis Qanun No. 2 Tahun 2004 sebagaimana diperbaiki dengan Qanun No. 3 Tahun 2005 dan Qanun No. 7 Tahun 2006 “diberi wewenang oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota”. Sehingga dapat ditentukan Pemohon I maupun Pemohon II bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Selain itu, Pemohon II maupun Termohon II, masing-masing mendasarkan diri pada kewenangan yang diberikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Pemerintahan Aceh sehingga dengan demikian kewenangan yang dipersengketakan bukanlah kewenangan yang diatur dan diberikan oleh UUD 1945 kepada masing-masing pihak.
Dengan kata lain, “baik dari syarat objectum litis maupun subjectum litis, permohonan para Pemohon tidak termasuk ruang lingkup kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya,” tegas ketua MK, Jimly Asshiddiqie, dalam persidangan yang terbuka untuk umum tersebut. Oleh karenanya, para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dan permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat yang ditentukan sehingga permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
“... dengan memperhatikan hal-hal yang terungkap dalam persidangan dan terlepas dari tidak terpenuhinya syarat subjectum litis dan objectum litis dalam permohonan a quo, namun mengingat banyaknya kasus-kasus sengketa yang terkait dengan Pilkada di berbagai daerah yang potensial untuk disalahpahami sebagai sengketa kewenangan lembaga negara yang diajukan kepada Mahkamah, maka Mahkamah memandang penting akan perlunya kearifan dan tindakan semua pihak yang terkait untuk secara cepat dan tanggap menindaklanjuti setiap laporan tentang adanya penyimpangan dalam penyelenggaraan Pilkada, baik yang bersifat administratif maupun yang bersifat pidana, agar rakyat tidak kehilangan kepercayaan atas pelaksanaan demokrasi dan pemerintahan yang menyebabkan terganggunya agenda pembangunan untuk kepentingan rakyat.”
Sumber: Putusan MK Nomor 26/SKLN-V/2007
Kuasa hukum para Pemohon, O.C. Kaligis, ketika diminta pendapatnya seusai sidang, menyatakan, tidak ada istilah menang atau kalah pasca putusan MK terkait dengan persoalan yang dialami para Pemohon. “Karena permohonan dinyatakan tidak dapat diterima,“ ungkapnya. Lebih lanjut menurut Kaligis, pihaknya akan menempuh upaya lain demi mendapatkan keadilan.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=582
Comments