Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran islam dan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Hal tersebut diutarakan dalam sidang pembacaan putusan perkara No. 12/PUU-V/2007 pengujian UU Perkawinan yang diajukan M. Insa, seorang wiraswasta asal Bintaro Jaya, Jakarta Selatan pada Rabu (3/10/2007), di Gedung MK.
Insa dalam permohonannya beranggapan bahwa Pasal 3 ayat (1) dan (2), Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 5 ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, dan Pasal 24 UU Perkawinan telah mengurangi hak kebebasan untuk beribadah sesuai agamanya, yaitu beribadah Poligami. Selain itu, menurut Insa, dengan adanya pasal-pasal tersebut yang mengharuskan adanya izin isteri maupun pengadilan untuk melakukan poligami telah merugikan kemerdekaan dan kebebasan beragama dan mengurangi hak prerogatifnya dalam berumah tangga dan merugikan hak asasi manusia serta bersifat diskriminatif.
Pasal-pasal dalam UU Perkawinan yang Dinyatakan Tidak Bertentangan dengan Konstitusi Pasal 3 ayat (1) : "Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami". ayat (2): "Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang". Pasal 4: ayat (1): "Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang maka wajib ia mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya". ayat (2): "Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 ayat (1): "Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka Pasal 9: "Seorang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal yang tersebut dalam Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang ini." Pasal 15: "Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mencegah perkawinan yang baru.� Pasal 24: "Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru.� |
MK, dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, menyatakan menolak permohonan M. Insa karena dalil-dalil yang dikemukakan tidak beralasan. Menurut MK dalam pertimbangan hukumnya, pasal-pasal yang tercantum dalam UU Perkawinan yang memuat alasan, syarat, dan prosedur poligami, sesungguhnya semata-mata sebagai upaya untuk menjamin dapat dipenuhinya hak-hak isteri dan calon insteri yang menjadi kewajiban suami yang berpoligami dalam rangka mewujudkan tujuan perkawinan.
Tujuan perkawinan, sebagaimana dikemukakan ahli M. Quraish Shihab, dalam sidang sebelumnya yang dikutip dalam pertimbangan hukum putusan, adalah untuk mendapatkan ketenangan hati (sakinah). Sakinah dapat lestari manakala kedua belah pihak yang berpasangan itu memelihara mawaddah, yaitu kasih sayang yang terjalin antara kedua belah pihak tanpa mengharapkan imbalan (pamrih) apapun, melainkan semata-mata karena keinginannya untuk berkorban dengan memberikan kesenangan kepada pasangannya.
Menurut Shihab, sifat egoistik, yaitu hanya ingin mendapatkan segala hal yang menyenangkan bagi diri sendiri, sekalipun akan meyakitkan hati pasangannya akan memutuskan mawaddah. Itulah sebabnya, demi menjaga keluarga sakinah adalah wajar jika seorang suami yang ingin berpoligami, terlebih dahulu perlu meminta pendapat dan izin dari isterinya agar tak tersakiti. Di samping itu, izin isteri diperlukan karena sangat terkait dengan kedudukan isteri sebagai mitra yang sejajar dan sebagai subjek hukum dalam perkawinan yang harus dihormati harkat dan martabatnya.
Ahli M. Quraish Shihab pun menyatakan bahwa asas perkawinan yang dianut oleh ajaran islam adalah asas monogami. Poligami merupakan kekecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan tertentu, baik yang secara objektif terkait dengan waktu dan tempat, maupun secara subjektif terkait dengan pihak-pihak (pelaku) dalam perkawinan tersebut.
Terkait dengan salah satu syarat poligami yang terpenting, yaitu adil, pendapat Ahli Huzaemah T. Yanggo yang dikutip dalam pertimbangan hukum putusan, menyatakan bahwa kaidah fiqh yang berlaku adalah pemerintah (negara) mengurus rakyatnya sesuai dengan kemaslahatannya. Oleh karena itu, menurut ajaran islam, negara (ulil amri) berwenang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh warga negaranya yang ingin melakukan poligami, demi kemaslahatan umum, khususnya mencapai tujuan perkawinan.
Mengenai adanya ketentuan yang mengatur tentang poligami untuk WNI yang hukum agamanya memperkenankan perkawinan poligami, hal ini menurut MK adalah wajar. Oleh karena sahnya suatu perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Sebaliknya, akan menjadi tidak wajar jika UU Perkawinan mengatur poligami untuk mereka yang hukum agamanya tidak mengenal poligami. Jadi pengaturan yang berbeda ini bukan suatu bentuk diskriminasi, karena dalam pengaturan ini tidak ada yang dibedakan, melainkan mengatur sesuai degan apa yang dibutuhkan, sedangkan diskriminasi adalah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap dua hal yang sama.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=458
Comments