Skip to main content

PERSYARATAN USIA TKI TAK LANGGAR KONSTITUSI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Persyaratan usia 21 tahun dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKI) telah sejalan dengan prinsip pembatasan yang secara objektif dan rasional dibenarkan oleh tujuan yang sah (objectively and reasonably justified by a legitimate aim). Hal ini terungkap dalam sidang pleno pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini (12/4/2007) di Jakarta.

Pasal 35 huruf a UU PPTKI, khususnya pada anak kalimat "kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun" diajukan untuk diuji oleh Jamilah Tun Sadiah, dkk. (Perkara No. 028/PUU-IV/2006) dan Esti Suryani, dkk. (Perkara No. 029/PUU-IV/2006). Menurut mereka, pasal tersebut melanggar hak konstitusionalnya yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945.

Dalam sidang terbuka untuk umum ini, MK menyatakan menolak permohonan tersebut. Penolakan ini diwarnai dengan empat dissenting opinion (pendapat berbeda) Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, H. Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan H. Harjono.

Menurut MK, ketentuan yang terkandung dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI bukan penghapusan hak terhadap suatu pekerjaan, melainkan persyaratan yang dapat dibenarkan dalam rangka pemenuhan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya yang dipekerjakan pada Pengguna perseorangan di luar negeri.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menjelaskan bahwa undang-undang yang menentukan batas kematangan kepribadian dan emosi pada usia 21 tahun tersebut tidak dapat dikatakan sebagai ketentuan yang menghalangi hak seseorang untuk bekerja, lebih-lebih hak untuk hidup. Alasannya, pertama, tidak adanya kriteria yuridis yang bersifat umum tentang batas usia kematangan kepribadian dan emosi yang berlaku untuk kondisi semacam itu.Dengan demikian penentuan tentang batas kematangan kepribadian dan emosi itu merupakan domain negara untuk menentukan pembatasannya.

Kedua, dasar pemikiran yang melandasi penentuan pembatasan usia itu justru karena adanya kesadaran akan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan terhadap warganya yang berada dalam kondisi di mana negara tidak mungkin untuk melakukan tindakan perlindungan itu secara leluasa dikarenakan adanya pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh hukum internasional.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=327

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...