Oleh Luthfi Widagao Eddyono
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Permohonan para Pemohon pengujian UU No. 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten BanggaiKepulauan (UU 51/1999) tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Hal tersebut terungkap dalam sidang pengucapan putusan perkara 6/PUU-VI/2008, Kamis (19/6/2008), di Gedung MK.
Para Pemohon yang merupakan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Banggai (Pemohon I) dan perseorangan (Pemohon II) menganggap Pasal 11 UU 51/1999 secara tekstual dan kontekstual bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), juncto Pasal 18, Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 22A UUD 1945. Selain itu, pasal tersebut dianggap bertentangan dengan ketentuan organik UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 11 UU 51/1999 berbunyi, “Selambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahun terhitung sejak peresmian Kabupaten Banggai Kepulauan, kedudukan ibukota dipindahkan ke Salakan”.
MK dalam pertimbangan hukum putusan menyatakan bahwa dari keterangan para pihak dan alat-alat bukti yang diajukan oleh Pemohon I yang mendalilkan diri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, menunjukkan adanya fakta hukum bahwa kesatuan masyarakat hukum adat Banggai prima facie memenuhi tolok ukur adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun, dalam persidangan sebelumnya telah terungkap bahwa ada penolakan oleh Pihak Terkait Langsung mengenai kapasitas Pemohon I mewakili kesatuan masyarakat hukum adat Banggai dan masalah hak konstitusional yang dirugikan sebagai akibat berlakunya Pasal 11 UU 51/1999.
Sanggahan atau penolakan Pihak Terkait tersebut tidak dibantah oleh Pemohon I. Sehingga, masih belum cukup bukti yang sah dan meyakinkan bahwa Pemohon I yang mendalilkan diri mewakili kesatuan masyarakat hukum adat Banggai memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf b UU MK juncto pendapat Mahkamah mengenai tolok ukur adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Terlepas dari persoalan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, MK berpendapat, antara pengakuan dan penghormatan suatu kesatuan masyarakat hukum adat dan dilaksanakannya suatu pemekaran daerah tidak ada hubungan yang linier, karena dalam kenyataannya budaya dan adat istiadat suatu kesatuan masyarakat hukum adat dapat tersebar di berbagai daerah terlepas dari batas-batas administrasi pemerintahan yang ada atau timbul sebagai akibat dari suatu pemekaran, apalagi hanya akibat pemindahan suatu ibukota.
"Berdasarkan alat-alat bukti dan keterangan-keterangan dari pihak-pihak dalam persidangan, sebenarnya sebelum pemekaran, budaya dan adat istiadat Banggai juga tidak terusik tatkala Ibukota Kabupaten Banggai ada di Luwuk, sehingga tidak cukup signifikan untuk menyatakan bahwa letak suatu ibukota pemerintahan mempengaruhi ada atau tidaknya pengakuan dan penghormatan terhadap suatu kesatuan masyarakat hukum adat, atau menyebabkan suatu budaya atau adat istiadat suatu masyarakat menjadi terpinggirkan," kata Hakim Konstitusi Soedarsono membacakan pertimbangan hukum putusan.
Lebih lanjut, MK berpendapat, proses pembentukan Kabupaten Banggai Kepulauan melalui UU 51/1999 sudah sesuai dengan syarat dan mekanisme yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa adanya nama “Banggai” dan “Salakan” sebagai calon Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan memang sudah sejak semula direkomendasikan, sehingga ketika pembentuk undang-undang menentukan dalam Pasal 10 ayat (3) UU 51/1999 bahwa Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan adalah Banggai dan kemudian Pasal 11 UU 51/1999 menentukan bahwa setelah lima tahun ibukota dipindahkan ke Salakan, bukanlah suatu tindakan yang inkonstitusional, meskipun penentuan ibukota tersebut menimbulkan kontroversi tersendiri.
Pemindahan suatu ibukota atau pusat pemerintahan adalah hal yang biasa dalam kehidupan kenegaraan, termasuk di berbagai negara, bahkan ibukota negara sekalipun. Apabila suatu saat pemerintah daerah dan masyarakat Banggai Kepulauan ingin mengubah lagi Ibukota Kabupaten
Banggai Kepulauan dari Salakan kembali ke Banggai atau entah ke mana lagi, hal itu dapat dilakukan setelah melalui prosedur atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan undang-undangan yang berlaku. Lagi pula, menurut MK, pada saat ini, konflik yang terjadi akibat pemindahan Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dari Banggai ke Salakan secara bertahap telah dapat diselesaikan, termasuk adanya upaya pemekaran lebih lanjut Kabupaten Banggai Kepulauan menjadi dua kabupaten.
"Para Pemohon tidak dapat membuktikan baik kapasitasnya untuk secara sah mewakili kesatuan masyarakat hukum adat dalam permohonan a quo maupun kerugian hak konstitusionalnya sebagai akibat berlakunya UU 51/1999. Bahwa dengan demikian para Pemohon dalam permohonan a quo tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf b UU MK, sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)," tegas Ketua MK, Jimly Ahhiddiqie, membacakan konklusi putusan.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=1647
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Permohonan para Pemohon pengujian UU No. 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten BanggaiKepulauan (UU 51/1999) tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Hal tersebut terungkap dalam sidang pengucapan putusan perkara 6/PUU-VI/2008, Kamis (19/6/2008), di Gedung MK.
Para Pemohon yang merupakan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Banggai (Pemohon I) dan perseorangan (Pemohon II) menganggap Pasal 11 UU 51/1999 secara tekstual dan kontekstual bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), juncto Pasal 18, Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 22A UUD 1945. Selain itu, pasal tersebut dianggap bertentangan dengan ketentuan organik UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 11 UU 51/1999 berbunyi, “Selambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahun terhitung sejak peresmian Kabupaten Banggai Kepulauan, kedudukan ibukota dipindahkan ke Salakan”.
MK dalam pertimbangan hukum putusan menyatakan bahwa dari keterangan para pihak dan alat-alat bukti yang diajukan oleh Pemohon I yang mendalilkan diri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, menunjukkan adanya fakta hukum bahwa kesatuan masyarakat hukum adat Banggai prima facie memenuhi tolok ukur adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun, dalam persidangan sebelumnya telah terungkap bahwa ada penolakan oleh Pihak Terkait Langsung mengenai kapasitas Pemohon I mewakili kesatuan masyarakat hukum adat Banggai dan masalah hak konstitusional yang dirugikan sebagai akibat berlakunya Pasal 11 UU 51/1999.
Sanggahan atau penolakan Pihak Terkait tersebut tidak dibantah oleh Pemohon I. Sehingga, masih belum cukup bukti yang sah dan meyakinkan bahwa Pemohon I yang mendalilkan diri mewakili kesatuan masyarakat hukum adat Banggai memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf b UU MK juncto pendapat Mahkamah mengenai tolok ukur adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Terlepas dari persoalan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, MK berpendapat, antara pengakuan dan penghormatan suatu kesatuan masyarakat hukum adat dan dilaksanakannya suatu pemekaran daerah tidak ada hubungan yang linier, karena dalam kenyataannya budaya dan adat istiadat suatu kesatuan masyarakat hukum adat dapat tersebar di berbagai daerah terlepas dari batas-batas administrasi pemerintahan yang ada atau timbul sebagai akibat dari suatu pemekaran, apalagi hanya akibat pemindahan suatu ibukota.
"Berdasarkan alat-alat bukti dan keterangan-keterangan dari pihak-pihak dalam persidangan, sebenarnya sebelum pemekaran, budaya dan adat istiadat Banggai juga tidak terusik tatkala Ibukota Kabupaten Banggai ada di Luwuk, sehingga tidak cukup signifikan untuk menyatakan bahwa letak suatu ibukota pemerintahan mempengaruhi ada atau tidaknya pengakuan dan penghormatan terhadap suatu kesatuan masyarakat hukum adat, atau menyebabkan suatu budaya atau adat istiadat suatu masyarakat menjadi terpinggirkan," kata Hakim Konstitusi Soedarsono membacakan pertimbangan hukum putusan.
Lebih lanjut, MK berpendapat, proses pembentukan Kabupaten Banggai Kepulauan melalui UU 51/1999 sudah sesuai dengan syarat dan mekanisme yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa adanya nama “Banggai” dan “Salakan” sebagai calon Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan memang sudah sejak semula direkomendasikan, sehingga ketika pembentuk undang-undang menentukan dalam Pasal 10 ayat (3) UU 51/1999 bahwa Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan adalah Banggai dan kemudian Pasal 11 UU 51/1999 menentukan bahwa setelah lima tahun ibukota dipindahkan ke Salakan, bukanlah suatu tindakan yang inkonstitusional, meskipun penentuan ibukota tersebut menimbulkan kontroversi tersendiri.
Pemindahan suatu ibukota atau pusat pemerintahan adalah hal yang biasa dalam kehidupan kenegaraan, termasuk di berbagai negara, bahkan ibukota negara sekalipun. Apabila suatu saat pemerintah daerah dan masyarakat Banggai Kepulauan ingin mengubah lagi Ibukota Kabupaten
Banggai Kepulauan dari Salakan kembali ke Banggai atau entah ke mana lagi, hal itu dapat dilakukan setelah melalui prosedur atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan undang-undangan yang berlaku. Lagi pula, menurut MK, pada saat ini, konflik yang terjadi akibat pemindahan Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dari Banggai ke Salakan secara bertahap telah dapat diselesaikan, termasuk adanya upaya pemekaran lebih lanjut Kabupaten Banggai Kepulauan menjadi dua kabupaten.
"Para Pemohon tidak dapat membuktikan baik kapasitasnya untuk secara sah mewakili kesatuan masyarakat hukum adat dalam permohonan a quo maupun kerugian hak konstitusionalnya sebagai akibat berlakunya UU 51/1999. Bahwa dengan demikian para Pemohon dalam permohonan a quo tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf b UU MK, sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)," tegas Ketua MK, Jimly Ahhiddiqie, membacakan konklusi putusan.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=1647
Comments