Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Judul Buku: UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang
Penulis : Ni’matul Huda, S.H., M.H.
Penerbit : Rajawali Pers
Tahun Terbit : 2008
Jumlah Halaman : xiii + 328 halaman
Pendapat yang menyatakan bahwa kegagalan Amendemen Kelima UUD 1945 pada tahun 2008 disebabkan oleh adanya beratnya persyaratan Pasal 37 UUD 1945 mungkin benar, tetapi hal tersebut bisa dikatakan normal dan tidak membahayakan.
Prosedur perubahan konstitusi, berdasarkan teori ketatanegaraan dan praktek-praktek di dunia dapat dilakukan dengan cara: melalui sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya penetapan kuorum yang hadir dan jumlah minimum anggota legislatif yang menerimanya; melalui rakyat dengan referendum atau plebisit; melalui musyarawarah khusus (special convention); atau melalui persetujuan negara-negara bagian bagi negara federal (suara mayoritas dari seluruh unit negara pada negara federal).
UUD 1945 setelah perubahan menggunakan cara pertama. Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa usul perubahan pasal-pasal dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Untuk mengubah pasal-pasal UUD, Sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% + 1 anggota dari seluruh anggota MPR.
Bagaimana dengan konstitusi Indonesia sebelumnya? Konstitusi RIS (UUD 1949) yang memegang prinsip federalisme mensyaratkan perubahan 2/3 kehadiran anggota DPR/senat dan persetujuan 2/3 anggota yang hadir (Pasal 190). Akan tetapi, muncul “kegiatan politik” yang anti negara federal dan ingin kembali ke negara kesatuan, sehingga dihadirkan UUDS 1950. Konstitusi RIS hanya sempat berlaku di Indonesia dari 27 Desember 1949-17 Agustus 1950.
Menurut ketentuan pasal 140 UUD 1950, wewenang untuk mengubah UUD diberikan kepada suatu badan bernama Majelis Perubahan UUD yang terdiri dari anggota-anggota DPRS dan anggota-anggota KNIP yang tidak menjadi anggota DPRS. Dibutuhkan lebih dari setengah dari jumlah anggota sidang hadir dan disetujui jumlah suara terbanyak. Akan tetapi, dalam setiap pengambilan keputusannya, Konstituante tidak pernah mencapai kuorum, sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.
Pasal 37 UUD 1945 sebelum perubahan kemudian mensyaratkan pengubahan UUD dengan sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR harus hadir dan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir. Persyaratan tersebut kemudian ditambah dengan persyaratan referendum berdasarkan Tap MPR Nomor IV/MPR/1983 yang isi Pasal 2-nya berbunyi, “Apabila MPR berkehendak untuk merubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui Referendum.”
Akibat tuntutan gerakan reformasi pada tahun 1998, dilakukanlah Perubahan UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai dengan 2002 oleh MPR dengan hanya menggunakan persyaratan kuorum semata.
UUD 1945 Konstitusi yang Tidak Terlalu Kaku
Bila melihat seluruh konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, maka semuanya bersifat kaku dan dengan syarat-syarat khusus. Mengapa konstitusi dapat bersifat kaku dan bersyarat khusus? Hal tersebut diperlukan agar suatu perubahan konstitusi haruslah benar-benar mendapat dukungan yang meyakinkan dari rakyat dan dengan pertimbangan yang cukup dan sadar.
Lebih fleksibelnya prosedur pengubahan UUD 1945 setelah perubahan memang secara sadar ditentukan oleh Perumus Perubahan UUD 1945. Apabila pengubahan UUD dipersulit, maka sulit pula penyesuaian perkembangan negara terhadap dinamika global dan permasalahan ketatanegaraan yang mungkin timbul di masa depan. Karenanya, harus dibuka pula peluang bagi kemungkinan untuk melakukan perubahan, agar konstitusi dapat terus hidup mengikuti perkembangan jaman. Tetapi bila terlalu mudah dilakukan perubahan UUD, maka akan timbul ketidakstabilan dalam pemerintahan dan UUD tersebut dianggap enteng dan kurang berwibawa, sehingga para Perumus Perubahan UUD 1945 mengambil jalan tengah dengan menambah fleksibilitas prosedur pengubahan dari konstitusi sebelumnya, tetapi tetap bersifat kaku.
Dengan demikian, melalui pengaturan dalam konstitusi tersebut, pergolakan dan pertentangan dalam niatan mengubah UUD menjadi wajar adanya, demi kebutuhan untuk membangun negara konstitusional (constitutional state) yang kokoh dan penjaminan sustainable democracy. Siapa saja yang berusaha untuk meloloskan Amendemen Kelima UUD 1945, tentunya harus mempersiapkan dukungan data dan konsep akademis yang menyeluruh. Selain itu, dengan tidak melupakan pemasyarakatan ide secara luas dan mengundang partisipasi publik yang terbuka, karena memang masyarakatlah yang harus menjadi pendorong utama penyempurnaan UUD 1945.
Rekomendasi Amendemen Kelima
Buku yang ditulis Ni’matul Huda, akademisi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta ini nyata ingin mendorong penyempurnaan UUD 1945. Paling tidak ada tiga gagasan utama amendemen ulang. Pertama, gagasan amendemen ulang kelembagaan MPR. Kedua, gagasan amendemen ulang kelembagaan kekuasaan kehakiman, dan ketiga, relasi presiden DPR dan calon presiden perseorangan.
Menurut Ni’matul Huda, meskipun MPR dilengkapi dengan sejumlah kewenangan oleh UUD 1945 hasil perubahan, tetapi sifatnya insidentil semata, seperti kewenangan mengubah UUD, memilih Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya. Dengan demikian, menurut Huda, MPR yang merupakan joint session DPR dan DPR tidak perlu permanen dan bersifat ad hoc, tanpa perlu sekretariat dan pimpinan yang terpisah. Selain itu, Huda beranggapan agar kewenangan DPR perlu ditambah “kualitasnya” agar aspirasi daerah mendapat tempat yang lebih proporsional sehingga semangat otonomi daerah yang diamanatkan UUD 1945 dapat terwujud. (halaman 243).
Terkait dengan usulan amendemen kekuasaan kehakiman, Ni’matul Huda berpendapat agar seluruh hakim, baik hakim agung maupun hakim Konstitusi pengusulannya harus dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY), sehingga MA maupun MK tidak perlu membentuk mejelis kehormatan yang bertugas mengawasi perilaku hakim, yang anggotanya diambil dari lingkungan hakim itu sendiri. Menurut Huda, hakim seharusnya bertugas menyelenggarakan proses peradilan, sedangkan urusan administratif, misalnya pengawasan perilaku hakim, tidak perlu dikerjakan oleh sesama hakim. Keberadaan Dewan Kehormatan MA maupun Majelis Kehormatan MK bersifat ad hoc yang dapat dibentuk dan bertindak ketika mendapat rekomendasi dari KY. (halaman 275).
Penyempurnaan relasi antara presiden DPR, salah satunya dengan mengurangi peran DPR yang berwenang memberikan pertimbangan kepada presiden untuk memberi grasi. Menurut Huda, seharusnya MA sebagai lembaga tertinggi peradilan merupakan lembaga negara yang paling tepat memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai hal itu, karena grasi menyangkut putusan hakim. (halaman 301). Huda juga merekomendasikan agar ada penyempurnaan pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945, agar ada keseragaman dalam pengaturan Pemilu baik untuk anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, dan Kepala daerah dan wakil kepala daerah masuk dalam satu rezim Pemilu dan dipilih langsung oleh rakyat. (halaman 310).
Berbagai rekomendasi yang ditampilkan Ni’matul Huda bukanlah hal yang baru dalam perdebatan para pakar ketatanegaraan, tetapi rekomendasi ini sangat berharga karena argumen dan pendapat yang melatari sangatlah kuat dan khas seorang akademisi yang sistematis dan terarah. Karenanya, buku ini patut menjadi rekomendasi bagi para akademisi dan politisi yang ingin memahami kondisi faktual dan aktual ketatanegaraan Indonesia.
Luthfi Widagdo Eddyono
Staf Mahkamah Konstitusi, Anggota Tim Penulis buku Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002 yang diterbitkan Mahkamah Konstitusi, 2008.
Comments