Skip to main content

KEWENANGAN DERIVATIF LEMBAGA NEGARA




Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Setelah mengalami perubahan selama empat kali, UUD 1945 tidak mengenal lagi pranata lembaga tertinggi negara sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dengan demikian, tidak ada lagi lembaga negara yang kedudukannya lebih tinggi yang keputusannya dapat dijadikan rujukan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antarlembaga negara. Padahal kekuasaan yang diberikan kepada lembaga negara-lembaga negara sifatnya saling membatasi antara yang satu dengan yang lain (checks and balances). Oleh karena itu, proses peradilan Mahkamah Konstitusi dibutuhkan dalam penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Akan tetapi, UUD 1945, maupun UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak menjelaskan detail pelaksanaan kewenangan tersebut, sehingga Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengatur hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya yaitu pada Pasal 86 UU 24/2003. Selain itu, Mahkamah Konstitusi dapat pula melakukan interpretasi terhadap konstitusi karena Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) yang membawa konsekuensi Mahkamah Konstitusi berfungsi juga sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution).

Untuk memberikan pedoman beracara, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara bertanggal 18 Juli 2006 yang menentukan Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah: a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD); c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); d. Presiden; e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, sedangkan Kewenangan yang dipersengketakan adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 004/SKLN¬IV/2006 bertanggal 12 Juli 2006 juga telah merumuskan frasa “lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar” dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran gramatika (grammatische interpretatie). Menurut Mahkamah Konstitusi, untuk menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, maka yang pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya kewenangan-kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan.

Karena kewenangan sifatnya terbatas dan untuk sesuatu hal yang tertentu, maka sifat kelembagaan negara tidaklah dapat ditentukan secara umum, tetapi terkait dengan kewenangan yang diberikan atau dengan kata lain sebuah lembaga yang disebut dengan nama apapun berkedudukan sebagai lembaga negara menurut pengertian Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 apabila lembaga tersebut mempermasalahkan atau dipermasalahkan kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi juga berpendapat, kewenangan yang diberikan oleh UUD dapat ditafsirkan tidak hanya yang tekstual saja tetapi juga termasuk di dalamnya kewenangan implisit yang terkandung dalam suatu kewenangan pokok dan kewenangan yang diperlukan guna menjalankan kewenangan pokok. Akan tetapi, tidak seluruh kewenangan yang berada dalam undang-undang karena diturunkan dari UUD dengan serta-merta termasuk dalam pengertian yang kewenangannya diberikan oleh UUD sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pembuat undang-undang berdasarkan UUD diberi wewenang membentuk lembaga negara dan memberi kewenangan terhadap lembaga negara yang dibentuknya tersebut, namun apabila pembentukan lembaga negara dan pemberian kewenangan kepada lembaga negara sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang bertentangan dengan UUD, Mahkamah Konstitusi dapat melakukan pengujian materiil undang-undang sedemikian terhadap UUD 1945. Di samping itu, pembentuk undang-undang dapat juga membentuk lembaga negara dan memberikan kewenangan kepada lembaga negara itu, walaupun tidak diperintahkan oleh UUD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah Konstitusi, tidak setiap kewenangan yang diberikan oleh undang-undang harus dimaknai sebagai kewenangan yang diperintahkan oleh UUD.

Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) Putusan Perkara 027/SKLN-IV/2006, berpendapat bahwa pengertian kewenangan satu lembaga negara diberikan oleh UUD 1945 tidaklah diartikan bahwa kewenangan tersebut harus secara expressis verbis tertulis demikian. Pendapat tersebut sebenarnya telah diakomodir oleh pendapat mayoritas hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 004/SKLN¬-IV/2006 yang pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa tidak hanya semata-mata penafsiran secara tekstual bunyi dari ketentuan UUD yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara tertentu, tetapi juga ada kemungkinan kewenangan-kewenangan implisit yang terdapat dalam suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) guna menjalankan kewenangan pokok tertentu tersebut. Kewenangan-kewenangan tersebut dapat saja dimuat dalam sebuah undang-undang. Akan tetapi, menurut Maruarar, penafsiran harus diperluas sedemikian rupa, karena perkembangan dan dinamika permasalahan yang tidak dapat diantisipasi secara sempurna oleh Pembuat Undang-Undang (Dasar).

Untuk menentukan kewenangan-kewenangan yang merupakan derivasi kewenangan dari UUD 1945, perlu dipahami konsep pemberian kekuasaan. Pada dasarnya, pemberian kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif dan perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan yang bersifat atributif menyebabkan terjadinya pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Kekuasaan yang timbul dengan pembentukan secara atributif bersifat asli (oorsponkelijk). Dengan kata lain, pembentukan kekuasaan secara atributif menyebabkan adanya kekuasaan yang baru.

Dengan demikian, ciri-ciri atribusi kekuasaan adalah pembentukan kekuasaan melahirkan kekuasaan baru dan harus dilakukan oleh suatu badan yang pembentukannya didasarkan pada peraturan perundang-undangan (authorized organs).

Menurut Henk van Marseven, jika diperiksa secara teliti, Undang-Undang Dasar Belanda, begitu pula Undang-Undang Dasar negara lain merupakan suatu peraturan tentang atribusi (reglement van attributie). Suwoto Mulyosudarmo menjelaskan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai reglement van attributie dipahami sebagai dasar hukum pembentukan berbagai kekuasaan yang kemudian diberikan kepada lembaga-lembaga negara yang pembentukannya didasarkan atas Undang-Undang Dasar pula.

Setelah memiliki kewenangan, lembaga negara (subyek hukum) tersebut dapat melakukan pembentukan kekuasaan (atribusi) atau melimpahkan kewenangannya kepada subyek hukum yang lain. Pelimpahan kewenangan tersebut bersifat derivatif (afgeleid). Kekuasaan yang afgeleid adalah kekuasaan yang diturunkan atau diderivasikan kepada pihak lain. Henk van Marseven berpendapat pelimpahan derivasi bisa dalam bentuk delegasi (delegatiee) dan mandat (mandaat).

H.D. van Wilk/Willem Konijnenbelt menjelaskan bahwa delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, sedang mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Berbeda dengan pendefinisian tersebut, F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menjelaskan bahwa delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif) kepada organ lain. Jadi, delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi.

Salah satu syarat delegasi adalah tidak terdapat hubungan hierarki (atasan dan bawahan), akan tetapi menurut Henk van Marseven, atas dasar konstitusi, dapat dibenarkan dalam beberapa hal pendelegasian oleh pembuat peraturan perundang-undangan kepada organ bawahan.

Menurut Safri Nugraha, cara memperoleh kewenangan akan menggambarkan adanya perbedaan yang hakiki antara berbagai level pemerintahan yang ada di suatu negara. Sebagai contoh, pelaksanaan atribusi kewenangan memerlukan adanya pembagian level pemerintahan yang bersifat nasional, regional, dan lokal atau level pemerintahan atasan dan pemerintahan bawahan. Selain itu, pelaksanaan delegasi membuktikan adanya level pemerintahan yang lebih tinggi (delegator) dan level pemerintahan yang lebih rendah (delegans).

Terkait dengan pemaparan tersebut, dalam konteks Indonesia, menurut Penulis, pembagian lembaga negara/organ negara dapat didasarkan pada bentuk pemberian kekuasaan terhadap lembaga tersebut. Pertama, lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara atribusi (oleh UUD 1945). Kedua, lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat peraturan perundang-undangan [termasuk komisi independen (independent regulatory agencies)] yang tidak bertanggung jawab kepada siapapun. Ketiga, lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat peraturan perundang-undangan [termasuk komisi negara eksekutif (executive branch agencies)] yang bertanggung jawab kepada presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari eksekutif

Pertama, lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara atribusi (oleh UUD 1945), yaitu: 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat; 2. Presiden; 3. Menteri Dalam Negeri bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai triumvirat menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945; 4.Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota; 5. Dewan Perwakilan Rakyat; 6. Dewan Perwakilan Daerah; 7. Badan Pemeriksa Keuangan; 8. Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya; 9. Mahkamah Konstitusi; 10. Komisi Yudisial; 11. Tentara Nasional Indonesia yang terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara; dan 12. Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kedua, lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat peraturan perundang-undangan [termasuk komisi/lembaga independen (independent regulatory agencies)] yang tidak bertanggung jawab kepada siapapun, yaitu: 1. Komisi Pemilihan Umum yang membawahi Komisi Pemilihan Umum provinsi dan Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota (termasuk KIP di Aceh); 2. Badan Pengawas Pemilihan Umum yang membawahi Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota; 3. Bank Indonesia; 4. Komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; 6. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan; 7. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha; 8. Ombudsman Republik Indonesia; 9. Komisi Penyiaran Indonesia; 10. Dewan Pers; 11. Dewan Pendidikan;
12. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan; 13. Komisi Perlindungan Anak Indonesia; 14. dan lain-lain.

Ketiga, lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat peraturan perundang-undangan [termasuk komisi negara eksekutif (executive branch agencies)] yang bertanggung jawab kepada presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari eksekutif, yaitu:

Badan Koordinasi Pengembangan Tenaga Kerja Indonesia (Keppres 29/1999); Dewan Pembina Industri Strategis (Keppres 40/1999); Badan Pengelola Gelora Bung Karno (Keppres 72/1999); Badan Pengelola Kawasan Kemayoran (Keppres 73/1999); Dewan Riset Nasioanal(Keppres 94/1999); Komite Penilaian Independen (Keppres 99/1999); Komite Nasional Keselamatan Transportasi (UU 41/1999, Keppres 105/1999); Dewan Buku Nasional (Keppres 110/1999); Dewan Maritim Indonesia (Keppres 161/1999); Dewan Ekonomi Nasional (Keppres 144/1999); Dewan Pengembangan Usaha Nasional (Keppres 165/1999); Komisi Hukum Nasional (Keppres 15/2000); Komite Akreditasi Nasional (Keppres 78/2000); Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan (Keppres 80/2000); Komite Olahraga Nasional Indonesia (Keppres 72/2001); Lembaga Administrasi Negara (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Badan Urusan Logistik (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Lembaga Penerapan Antariksa Nasional (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Badan Koordinasi Penanaman Modal (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Badan Pertanahan Nasional (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Lembaga Informasi Nasional (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Lembaga Ketahanan Nasional (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (Keppres 103/2001, Keppres 3/2002); Komisi Kepolisian (UU 2/2002); Kejaksaan (UU 16/2004); Komisi Kejaksaan (UU 16/2004, Perpres 18/2005); Dewan Pertimbangan Presiden (UU 19/2006); Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (UU 13/2006); Kementerian Negara (UU 39/2008); Komisi Informasi (UU 14/2008); Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (PP 102/2000); Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (Keppres 12/2000); Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan(Keppres 54/2005); Dewan Gula Nasional (Keppres 23/2003); Dewan Ketahanan Pangan (Keppres 132/2001); Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (Keppres 44/2002); Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (Keppres 151/2000); Dewan Pertanahan Nasional (UU 3/2003); Badan Narkotika Nasional (Keppres 17/2002); Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (Keppres 3/2001, Keppres 111/2001); Badan Pengembangan Kapet (Keppres 150/2002); BRR Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Sumatera Utara (Perpu 2/2005); Badan Nasional Sertifikasi Profesi (PP 23/2004); Badan Pengatur Jalan Tol (PP 15/2005); Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP 16/2005); Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat (Keppres 83/1999); Lembaga Sensor Film (PP 8/1994); Korsil Kedokteran Indonesia (UU 29/2004); Badan Pengelola Puspiptek (Keppres 43/1976); Badan Pengembangan Kehidupan Bernegara (Keppres 85/1999); Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional (Keppres 132/1998); Gugus Tugas Pusat Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU 21/2007); Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001); Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001); Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (UU 32/1997); Dewan Pengupahan Nasional (UU 13/2003); Dewan Sumber Daya Air (UU 7/2004); Badan SAR Nasional (PP 12/2000); Komisi Banding Merek (PP 7/2005); Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia; dan lain-lain.









Menurut Penulis, lembaga negara/organ negara kategori pertama telah jelas mempunyai objectum litis untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi. Lembaga negara/organ negara kategori kedua memungkinkan mempunyai objectum litis untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi, sedangkan lembaga negara/organ negara kategori ketiga tidak mempunyai subjectum litis maupun objectum litis untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi. Karena telah jelas, lembaga negara/organ negara kategori ketiga bersifat hierarkis dengan presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari eksekutif.

Terkait dengan dimungkinkannya lembaga independen berperkara sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah Konstitusi, Penulis sependapat dengan Denny Indrayana yang berpendapat bahwa lembaga negara independen adalah fenomena ketatanegaraan modern yang harus diberikan posisi konstitusional. Agar lebih jelas perannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masa depan, menurutnya, Mahkamah Konstitusi pun sebaiknya mengisi kekosongan hukum berkait maraknya sengketa kewenangan antarlembaga negara independen dengan banyak lembaga negara lainnya. Hal itu sesuai dengan semangat bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil sesuai dengan Penjelasan Umum UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Penulis juga menyetujui pendapat Maruarar Siahaan yang menyatakan bahwa perlu ada tafsiran yang memberi perluasan untuk melihat wewenang yang sesungguhnya melekat dan tersirat dalam kewenangan yang dituliskan secara tegas dalam UUD 1945, yang dapat dipandang sebagai kewenangan prinsip. Lebih lanjut, menurutnya: "Kewenangan yang tidak secara tegas disebut dalam konstitusi tetapi merupakan hal yang perlu dan patut untuk menjalankan kewenangan konstitusional yang diberikan secara tegas, merupakan dan juga melekat sebagai kewenangan yang diberikan oleh UUD, meskipun kemudian diuraikan secara tegas dalam undang-undang sebagai pelaksanaan UUD 1945. Pengaturan sesuatu materi kewenangan dalam satu undang-undang, tidaklah dengan sendirinya menyebabkan wewenang tersebut bukan wewenang konstitusional. Sebaliknya disebutnya satu wewenang dalam undang-undang tidak selalu berarti bahwa undang-undang tersebutlah yang menjadi sumber kewenangan dimaksud. Masalahnya adalah apakah wewenang tersebut melekat atau tidak, dan harus ada untuk melaksanakan wewenang yang diberikan secara tegas oleh UUD tersebut."

Dengan demikian, penafsiran memang harus diperluas sedemikian rupa, karena perkembangan dan dinamika permasalahan yang tidak dapat diantisipasi secara sempurna oleh Pembuat Undang-Undang (Dasar). Akan tetapi perlu juga interpretasi tersebut dibatasi sesuai dengan konteks yang tepat, yaitu bentuk pemberian kekuasaan terhadap lembaga tersebut yang harus atributif dan derivatif yang tidak mengandung hierarki.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan