Skip to main content

Pendidikan Hukum Klinik yang Ideal


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono




Judul Buku: Pendidikan Hukum Klinik, Tinjauan Umum
Judul Asli : Legal Capacity Development Documents Clinical Legal Education: General Overview
Penulis : Open Society Justice Initiative
Penerjemah/Penerbit : The Indonesian Legal Resource Center (ILRC)
Tahun Terbit : Juli 2009
Jumlah Halaman : X + 20 halaman

Pendidikan Hukum Klinik (Clinical Legal Education) dimulai di Amerika Serikat sejak 1960-an. Komponen praktik hukum merupakan kewajiban di dalam kurikulum pendidikan hukum Amerika Serikat. Walau demikian muncul pemikiran atas kebutuhan tambahan pengabdian kepada masyarakat. Dosen-dosen hukum mulai mengembangkan a body of scholarship, sebuah lembaga di dalam kampus untuk mengembangkan kepedulian terhadap keadilan sosial.

Di Indonesia, Pendidikan Hukum Klinik kemudian dikenal sejak tahun 1970-an akan tetapi lebih diarahkan pada kontribusi pendidikan hukum bagi masyarakat yaitu dengan pembentukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kampus. Menurut Uli Parulian Sihombing, direktur eksekutif ILRC dalam pengantar buku, pada masa itu Pendidikan Hukum Klinik memang lebih menekankan kepada penguatan dan pembentukan LBH kampus, dan belum mampu menghubungkannya dengan kurikulum dan metode pengajaran. Kiranya inilah maksud penerbitan buku yang merupakan terjemahan makalah “Legal Capacity Development Documents Clinical Legal Education: General Overview” ditulis Open Society Justice Initiative sebagai bahan reformasi pendidikan hukum yang berbasis keadilan sosial.

Pendidikan Hukum Klinik dapat didefinisikan sebagai sebuah proses pembelajaran dengan maksud menyediakan mahasiswa hukum dengan pengetahuan praktis (practical knowledge), keahlian (skills), nilai-nilai (values) dalam rangka mewujudkan pelayanan hukum dan keadilan sosial, yang dilaksanakan atas dasar metode pengajaran secara interaktif dan reflektif. (halaman 2).

Dari bentuknya, Pendidikan Hukum Klinik terdiri dari tiga komponen, yaitu perencanaan (mempersiapkan dan merencanakan untuk memperoleh pengalaman yang dibutuhkan), praktik (menguji kemampuan kepengacaraan, seperti wawancara, pemberian nasehat, mewakili klien di pengadilan, dll), dan refleksi (melakukan refleksi dan evaluasi kemampuan). Karenanya, elemen kunci implementasi pendidikan tersebut adalah pembentukan legal clinic (LBH kampus).

Berdasarkan lokasi praktiknya, legal clinic ada yang dilakukan di fakultas hukum (in-house clinic) dan di luar fakultas hukum (out-house clinic). Program in-house clinic bisa dilakukan dengan cara: Externship, yaitu mahasiswa bekerja di sebuah kantor hukum atau kantor pemerintahan di bawah supervisi dari pengacara praktik atau pejabat pemerintahan; Community Clinic, yaitu tempat mahasiswa bekerja secara langsung di masyarakat (komunitas); Mobile Clinic, yaitu mahasiswa mengunjungi komunitas untuk memberikan pendapat hukum dan/atau memberitahukan komunitas atas hak-haknya, atau memberikan nasehat jenis tertentu permasalahan hukum dan cara penyelesaiannya.

Program in-house clinic dapat dilakukan dengan cara: “life client”/”real client” clinic, yaitu mahasiswa menyediakan pelayanan hukum secara langsung kepada klien; Simulation Clinic, yaitu mahasiswa mensimulasikan kehidupan nyata atas dasar role-playing dengan tujuan untuk melatih kemampuan kepengacaraan mahasiswa, umumnya dengan kasus-kasus nyata.

Paling tidak terdapat enam tujuan yang menjadi keuntungan diterapkannya Pendidikan Hukum Klinik, yaitu: Pertama, program Legal Clinic ditujukan untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang terstruktur untuk mahasiswa, untuk menambah pengalaman mahasiswa dalam praktik kepengacaraan yang nyata atau melalui simulasi mewakili klien, dan juga untuk memperoleh pengetahuan, keahlian, dan nilai-nilai dari pengalaman itu; Kedua, Legal Clinic dimaksudkan untuk menambah dukungan untuk bantuan hukum terhadap masyarakat marjinal; Ketiga, Legal Clinic ditujukan untuk menanamkan semangat pelayanan publik dan keadilan sosial, dan untuk membangun dasar pengembangan tanggung jawab profesi hukum; Keempat, dosen supervisor di Legal Clinic memberikan kontribusi untuk pengembangan scholarship mengenai keahlian dan teori-teori hukum praktis yang menghubungkan dunia akdemik dengan organisasi kepengacaraan secara lebih dekat; Kelima, penggunaan metode pengajaran secara interaktif dan reflektif yang menggerakkan mahasiswa untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut di atas yang tidak diperoleh di bangku kuliah; Keenam, Legal Clinic ditujukan untuk memperkuat civil society, dengan merawat tanggung jawab profesional pengacara melalui penekanan kebutuhan bantuan hukum untuk melindungi masyarakat marjinal. (halaman 7 dan halaman 8).

Terlepas dari keuntungan yang dapat diperoleh, berdasarkan pengalaman, pengembangan legal clinic ternyata mendapatkan tantangan juga. Tantangan utama adalah menata keseimbangan antara tujuan pendidikan dan pelayanan. Terdapat resiko jika menempatkan mahasiswa dalam memenangkan sejumlah kasus yang ditanganinya tanpa adanya pengawasan ataupun supervisi dari dosen karena penanganan kasus secara berlebihan tidak dapat menjadi pembelajaran penting bagaimana mempraktikkan hukum. Dengan demikian legal clinic harus dilihat sebagai bagian dari seluruh strategi acces to justice, tetapi bukan komponen utamanya.

Tantangan lainnya adalah resistensi dari profesi hukum dan fakultas hukum, pegembangan bahan-bahan pengajaran, masalah keuangan, dan pengembangan sumber daya manusia. Di sinilah betapa penting buku ini, selain menjelaskan dasar kepentingan Pendidikan Hukum Klinik, juga menerangkan permasalahan-permasalahan utama pengembangannya dengan solusi berdasarkan pengalaman yang ada di berbagai negara.

Program Pendidikan Hukum Klinik memang merupakan alat untuk mereformasi sistem pendidikan hukum dengan tujuan utama untuk memperbaiki kualitas profesi hukum di masa depan, dukungan dan pembentukan probono dan pengacara yang perduli dengan permasalahan sosial di masyarakat. Dengan demikian, penerapan Pendidikan Hukum Klinik menjadi kesempatan juga untuk menguji sistem pendidikan hukum di suatu negara.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan