Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Pertengkaran antara siapa organisasi advokat yang resmi yaitu antara organisasi Advokat PERADI dan KAI ternyata berefek pada munculnya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009 bertanggal 01 Mei 2009 yang intinya meminta kepada para Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak mengambil sumpah para Advokat baru dan apabila ada Advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari ketentuan Pasal 4 UU Advokat dianggap tidak sah, sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan beracara di Pengadilan.
Akibatnya para calon Advokat yang telah lulus ujian Advokat dari organisasi Advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), terhalangi untuk bekerja sebagai Advokat karena belum mengucapkan sumpah atau janji yang ditentukan oleh Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang berbunyi, “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguhsungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.
H.F. Abraham Amos, dkk sebagai kandidat advokat pun mengajukan uji materi UU Advokat, khususnya terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Menanggapi permohnan tersebut, MK berpendapat dalam putusan 101/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Desember 2009 bahwa keharusan bagi Advokat mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya merupakan kelaziman dalam organisasi dan suatu jabatan/pekerjaan profesi yang tidak ada kaitannya dengan masalah konstitusionalitas suatu norma in casu norma hukum yang dimohonkan pengujian, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, MK menilai, ketentuan bahwa pengambilan sumpah bagi Advokat harus di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya merupakan pelanjutan dari ketentuan yang berlaku sebelum lahirnya UU Advokat yang memang pengangkatannya dilakukan oleh Pemerintah in casu Menteri Kehakiman/Menteri Hukum dan HAM. Setelah lahirnya UU Advokat yang menentukan bahwa pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat [vide Pasal 2 ayat (2) UU Advokat], bukan lagi oleh Pemerintah, memang seolah-olah pengambilan sumpah yang harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya tidak lagi ada rasionalitasnya. Akan tetapi, mengingat bahwa profesi Advokat telah diposisikan secara formal sebagai penegak hukum (vide Pasal 5 UU Advokat) dan dalam rangka melindungi para klien dari kemungkinan penyalahgunaan profesi Advokat, maka ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut juga konstitusional.
Menurut MK, ketentuan yang mewajibkan para Advokat sebelum menjalankan profesinya harus mengambil sumpah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, tidak boleh menimbulkan hambatan bagi para advokat untuk bekerja atau menjalankan profesinya yang dijamin oleh UUD 1945. Lagi pula Pasal 3 ayat (2) UU Advokat secara expressis verbis telah menyatakan bahwa Advokat yang telah diangkat berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh UU Advokat dapat menjalankan praktiknya sesuai dengan bidang-bidang yang dipilih.
Dengan demikian, MK berpendapat, keharusan bagi Advokat untuk mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya tidak ada kaitannya dengan persoalan konstitusionalitas norma, demikian juga mengenai keharusan bahwa pengambilan sumpah itu harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, sepanjang ketentuan dimaksud tidak menegasi hak warga negara in casu para calon Advokat untuk bekerja yang dijamin oleh UUD 1945. Terjadinya hambatan yang dialami oleh para Pemohon untuk bekerja dalam profesi Advokat pada dasarnya bukan karena adanya norma hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, melainkan disebabkan oleh penerapan norma dimaksud sebagai akibat adanya Surat Mahkamah Agung yang melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah para calon Advokat sebelum organisasi advokat bersatu.
Lebih lanjut, MK menilai, penyelenggaran sidang terbuka Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat merupakan kewajiban atributif yang diperintahkan oleh Undang-Undang, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakannya. Namun demikian, Pasal 28 ayat (1) UU Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan organisasi-organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu PERADI dan KAI, harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat.
Menurut MK, Pasal 4 ayat (1) UU Advokat adalah konstitusional sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” harus dimaknai sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh Undang-Undang untuk dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkannya dengan adanya dua organisasi Advokat yang secara de facto ada dan sama-sama mengklaim sebagai organisasi Advokat yang sah menurut UU Advokat.
Untuk mendorong terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, bagi MK, maka kewajiban Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah terhadap para calon Advokat tanpa memperhatikan Organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada yang hanya bersifat sementara untuk jangka waktu selama 2 (dua) tahun sampai terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat melalui kongres para Advokat yang diselenggarakan bersama oleh organisasi advokat yang secara de facto saat ini ada. MK kemudian menyatakan, setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum.
Putusan MK ini tentu saja tidak bermaksud memenangkan eksistensi KAI yang berseberangan dengan PERADI, melainkan hanya bermaksud menunjukkan secara de facto terdapat dua organisasi advokat yang sama-sama mengklaim sebagai organisasi Advokat yang sah menurut UU Advokat dan itu tidak terkait langsung dengan adanya norma penyumpahan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sebagaimana amar putusan yang menyatakan, “Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan””.
Pertengkaran antara siapa organisasi advokat yang resmi yaitu antara organisasi Advokat PERADI dan KAI ternyata berefek pada munculnya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009 bertanggal 01 Mei 2009 yang intinya meminta kepada para Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak mengambil sumpah para Advokat baru dan apabila ada Advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari ketentuan Pasal 4 UU Advokat dianggap tidak sah, sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan beracara di Pengadilan.
Akibatnya para calon Advokat yang telah lulus ujian Advokat dari organisasi Advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), terhalangi untuk bekerja sebagai Advokat karena belum mengucapkan sumpah atau janji yang ditentukan oleh Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang berbunyi, “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguhsungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.
H.F. Abraham Amos, dkk sebagai kandidat advokat pun mengajukan uji materi UU Advokat, khususnya terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Menanggapi permohnan tersebut, MK berpendapat dalam putusan 101/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Desember 2009 bahwa keharusan bagi Advokat mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya merupakan kelaziman dalam organisasi dan suatu jabatan/pekerjaan profesi yang tidak ada kaitannya dengan masalah konstitusionalitas suatu norma in casu norma hukum yang dimohonkan pengujian, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, MK menilai, ketentuan bahwa pengambilan sumpah bagi Advokat harus di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya merupakan pelanjutan dari ketentuan yang berlaku sebelum lahirnya UU Advokat yang memang pengangkatannya dilakukan oleh Pemerintah in casu Menteri Kehakiman/Menteri Hukum dan HAM. Setelah lahirnya UU Advokat yang menentukan bahwa pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat [vide Pasal 2 ayat (2) UU Advokat], bukan lagi oleh Pemerintah, memang seolah-olah pengambilan sumpah yang harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya tidak lagi ada rasionalitasnya. Akan tetapi, mengingat bahwa profesi Advokat telah diposisikan secara formal sebagai penegak hukum (vide Pasal 5 UU Advokat) dan dalam rangka melindungi para klien dari kemungkinan penyalahgunaan profesi Advokat, maka ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut juga konstitusional.
Menurut MK, ketentuan yang mewajibkan para Advokat sebelum menjalankan profesinya harus mengambil sumpah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, tidak boleh menimbulkan hambatan bagi para advokat untuk bekerja atau menjalankan profesinya yang dijamin oleh UUD 1945. Lagi pula Pasal 3 ayat (2) UU Advokat secara expressis verbis telah menyatakan bahwa Advokat yang telah diangkat berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh UU Advokat dapat menjalankan praktiknya sesuai dengan bidang-bidang yang dipilih.
Dengan demikian, MK berpendapat, keharusan bagi Advokat untuk mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya tidak ada kaitannya dengan persoalan konstitusionalitas norma, demikian juga mengenai keharusan bahwa pengambilan sumpah itu harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, sepanjang ketentuan dimaksud tidak menegasi hak warga negara in casu para calon Advokat untuk bekerja yang dijamin oleh UUD 1945. Terjadinya hambatan yang dialami oleh para Pemohon untuk bekerja dalam profesi Advokat pada dasarnya bukan karena adanya norma hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, melainkan disebabkan oleh penerapan norma dimaksud sebagai akibat adanya Surat Mahkamah Agung yang melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah para calon Advokat sebelum organisasi advokat bersatu.
Lebih lanjut, MK menilai, penyelenggaran sidang terbuka Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat merupakan kewajiban atributif yang diperintahkan oleh Undang-Undang, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakannya. Namun demikian, Pasal 28 ayat (1) UU Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan organisasi-organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu PERADI dan KAI, harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat.
Menurut MK, Pasal 4 ayat (1) UU Advokat adalah konstitusional sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” harus dimaknai sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh Undang-Undang untuk dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkannya dengan adanya dua organisasi Advokat yang secara de facto ada dan sama-sama mengklaim sebagai organisasi Advokat yang sah menurut UU Advokat.
Untuk mendorong terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, bagi MK, maka kewajiban Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah terhadap para calon Advokat tanpa memperhatikan Organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada yang hanya bersifat sementara untuk jangka waktu selama 2 (dua) tahun sampai terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat melalui kongres para Advokat yang diselenggarakan bersama oleh organisasi advokat yang secara de facto saat ini ada. MK kemudian menyatakan, setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum.
Putusan MK ini tentu saja tidak bermaksud memenangkan eksistensi KAI yang berseberangan dengan PERADI, melainkan hanya bermaksud menunjukkan secara de facto terdapat dua organisasi advokat yang sama-sama mengklaim sebagai organisasi Advokat yang sah menurut UU Advokat dan itu tidak terkait langsung dengan adanya norma penyumpahan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sebagaimana amar putusan yang menyatakan, “Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan””.
Comments