Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Hitungan masa jabatan Kepala Daerah tidak terhalang oleh berlakunya dua Undang-Undang yang berbeda dan setengah masa jabatan atau lebih kepala daerah dihitung sebagai satu kali masa jabatan. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 22/PUU-VII/2009 bertanggal 17 November 2009 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004).
Menurut MK, pada hakikatnya baik UU 22/1999 maupun UU 32/2004 dan PP 6/2005 telah mengatur hal yang sama tentang masa jabatan Kepala Daerah yaitu lima tahun. Perbedaan sistem pemilihan kepala daerah baik tidak langsung [vide Pasal 40 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 22/1999] maupun langsung (Pasal 15 PP 6/2005) tidaklah berarti bahwa sistem Pemilihan Kepala Daerah tidak langsung, tidak atau kurang demokratis dibandingkan dengan sistem langsung, begitu pula sebaliknya. Keduanya merupakan kebijakan negara tentang sistem pemilihan kepala daerah yang sama demokratisnya sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Kerugian konstitusional Pemohon I (Prof. Dr. drg. I Gede Winasa) adalah, kesempatan Pemohon I terhalang oleh Pasal 58 huruf o UU 32/2004 beserta Penjelasannya, karena telah dua kali masa jabatan, akan tetapi pada Periode I (2000-2005) dengan sistem pemilihan tidak langsung yaitu berdasarkan UU 22/1999, sedangkan Periode II (2005-2009) dengan sistem pemilihan langsung yaitu berdasarkan UU 32/2004.
Terhadap hal tersebut, MK berpendapat, bahwa pada hakekatnya baik UU 22/1999 maupun UU 32/2004 dan PP Nomor 6 Tahun 2005 telah mengatur hal yang sama tentang masa jabatan Kepala Daerah yaitu lima tahun. Perbedaan sistem pemilihan kepala daerah, baik tidak langsung [vide Pasal 40 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 22/1999] maupun langsung (vide Pasal 56 UU 32/2004 dan Pasal 15 PP 6/2005) tidaklah berarti bahwa sistem Pemilihan Kepala Daerah tidak langsung, tidak atau kurang demokratis dibandingkan dengan sistem langsung, begitu pula sebaliknya.
Keduanya merupakan kebijakan pembentuk Undang-Undang tentang sistem pemilihan kepala daerah yang dipilih yang memiliki kadar demokrasi sama sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, MK beranggapan, Pemohon I dianggap telah menjabat dua kali masa jabatan penuh pada daerah yang sama, sekalipun dengan cara pemilihan yang berbeda (langsung dan tidak langsung).
Pemohon II (H. Nurdin Basirun S.Sos.) adalah Pejabat Bupati Karimun yang tidak dipilih langsung, karena Pemohon II sebelumnya adalah Wakil Bupati yang kemudian diangkat sebagai Bupati berdasarkan Kepmendagri Nomor 131.30-326, karena Bupati yang digantikannya berhalangan tetap. Pemohon II melanjutkan masa jabatan bupati yang tersisa selama 9 (sembilan) bulan untuk kelancaran pemerintahan di Kabupaten Karimun (Bukti P-9). Selanjutnya pada periode berikutnya (2006-2011), Pemohon II dipilih langsung berdasarkan UU 32/2004.
MK berpendapat, masa jabatan Pemohon II selama 9 (sembilan) bulan, berdasarkan asas proporsionalitas, keseimbangan (balancing), dan asas kepatutan, tidak dihitung sebagai satu kali masa jabatan karena kurang dari 2,5 (dua setengah) tahun atau kurang separuh dari satu kali masa jabatan.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Hitungan masa jabatan Kepala Daerah tidak terhalang oleh berlakunya dua Undang-Undang yang berbeda dan setengah masa jabatan atau lebih kepala daerah dihitung sebagai satu kali masa jabatan. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 22/PUU-VII/2009 bertanggal 17 November 2009 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004).
Menurut MK, pada hakikatnya baik UU 22/1999 maupun UU 32/2004 dan PP 6/2005 telah mengatur hal yang sama tentang masa jabatan Kepala Daerah yaitu lima tahun. Perbedaan sistem pemilihan kepala daerah baik tidak langsung [vide Pasal 40 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 22/1999] maupun langsung (Pasal 15 PP 6/2005) tidaklah berarti bahwa sistem Pemilihan Kepala Daerah tidak langsung, tidak atau kurang demokratis dibandingkan dengan sistem langsung, begitu pula sebaliknya. Keduanya merupakan kebijakan negara tentang sistem pemilihan kepala daerah yang sama demokratisnya sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Kerugian konstitusional Pemohon I (Prof. Dr. drg. I Gede Winasa) adalah, kesempatan Pemohon I terhalang oleh Pasal 58 huruf o UU 32/2004 beserta Penjelasannya, karena telah dua kali masa jabatan, akan tetapi pada Periode I (2000-2005) dengan sistem pemilihan tidak langsung yaitu berdasarkan UU 22/1999, sedangkan Periode II (2005-2009) dengan sistem pemilihan langsung yaitu berdasarkan UU 32/2004.
Terhadap hal tersebut, MK berpendapat, bahwa pada hakekatnya baik UU 22/1999 maupun UU 32/2004 dan PP Nomor 6 Tahun 2005 telah mengatur hal yang sama tentang masa jabatan Kepala Daerah yaitu lima tahun. Perbedaan sistem pemilihan kepala daerah, baik tidak langsung [vide Pasal 40 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 22/1999] maupun langsung (vide Pasal 56 UU 32/2004 dan Pasal 15 PP 6/2005) tidaklah berarti bahwa sistem Pemilihan Kepala Daerah tidak langsung, tidak atau kurang demokratis dibandingkan dengan sistem langsung, begitu pula sebaliknya.
Keduanya merupakan kebijakan pembentuk Undang-Undang tentang sistem pemilihan kepala daerah yang dipilih yang memiliki kadar demokrasi sama sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, MK beranggapan, Pemohon I dianggap telah menjabat dua kali masa jabatan penuh pada daerah yang sama, sekalipun dengan cara pemilihan yang berbeda (langsung dan tidak langsung).
Pemohon II (H. Nurdin Basirun S.Sos.) adalah Pejabat Bupati Karimun yang tidak dipilih langsung, karena Pemohon II sebelumnya adalah Wakil Bupati yang kemudian diangkat sebagai Bupati berdasarkan Kepmendagri Nomor 131.30-326, karena Bupati yang digantikannya berhalangan tetap. Pemohon II melanjutkan masa jabatan bupati yang tersisa selama 9 (sembilan) bulan untuk kelancaran pemerintahan di Kabupaten Karimun (Bukti P-9). Selanjutnya pada periode berikutnya (2006-2011), Pemohon II dipilih langsung berdasarkan UU 32/2004.
MK berpendapat, masa jabatan Pemohon II selama 9 (sembilan) bulan, berdasarkan asas proporsionalitas, keseimbangan (balancing), dan asas kepatutan, tidak dihitung sebagai satu kali masa jabatan karena kurang dari 2,5 (dua setengah) tahun atau kurang separuh dari satu kali masa jabatan.
Comments