Skip to main content

REFORMASI KOMPREHENSIF SISTEM PENDIDIKAN HUKUM INDONESIA


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Judul Buku
: Mengajarkan Hukum yang Berkeadilan, Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
Penulis: Uli Parulian Sihombing, dkk.
Penerbit: Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Fakultas Hukum Universitas Hasnuddin Makassar, dan The Indonesian Legal Resource Center
Tahun Terbit: Desember 2009
Jumlah halaman: X + 180 halaman

Buku ini tidaklah menyalahkan segelintir orang atas kondisi hukum terkini. Akan tetapi bermaksud untuk mengkritisi peran sistem yang terbentuk (dibentuk) bagi manusia-manusia hukum terkini yang hidup dalam realitas sosial yang mengkerdilkan makna hukum yang berkeadilan.

Pendidikan hukum, sebuah “eksistensi” yang selalu menjadi bagian perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia, tidaklah dapat dipisahkan dengan kondisi ketatanegaraan dan sistem hukum. “Pendidikan hukum sangat memengaruhi wajah politik ketatanegaraan suatu masa, dan di sisi lain orientasi pendidikan hukum juga sangat dipengaruhi oleh tatanan politik yang berkembang” (hal. 4)

Dengan demikian dapatlah dikatakan model pendidikan hukum yang selama ini diterapkan bertanggung jawab atas lulusan-lulusan yang “tidak hanya berfikir legalistik dan positivistik, melainkan juga sarjana hukum yang setia menjaga hukum yang serba kaku dan birokratis. Mereka cenderung anti-perubahan, bahkan melanggengkan status quo dominasi hegemoni hukum formal” (hal. 9). Lulusan-lulusan tersebut yang kemudian menjadi hakim, jaksa, atau penegak hukum lain yang menafikan realitas sosial dan menjauhkan hukum dari konsep kebenaran dan keadilan.

Karenanya dibutuhkan refleksi menyeluruh terhadap penyelenggaraan pendidikan hukum. Refleksi tersebut akhirnya dapat dimaktubkan dalam “cetak biru reformasi pendidikan tinggi hukum” kerjasama Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Fakultas Hukum Universitas Hasnuddin Makassar, dan The Indonesian Legal Resource Center dan dibukukan dengan judul Mengajarkan Hukum yang Berkeadilan, Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial.

Paling tidak terdapat enam strategi utama pembaruan pendidikan hukum yang orisinal dalam buku ini, yaitu pembaruan sistem pendidikan dan pengajaran; penguatan sumber daya manusia; revitalisasi kelembagaan; penguatan informasi, jaringan , dan kerjasama; penguatan kelembagaan penjamin mutu; serta penegakan kode etik. Khusus mengenai penegakan kode etik yang pembahasan dimulai sejak halaman 95 tidaklah selesai penguraiannya karena halaman selanjutnya (halaman 96) kosong. Mungkin karena kesalahan cetak semata.

Akan tetapi pemahaman atas strategi itu terlengkapi dengan penggambaran rencana aksi pada bab selanjutnya yang berisi uraian kebijakan dan program kegiatan. Dengan demikian buku ini tidak hanya sekedar tulisan, lebih dari itu merupakan rekomendasi bagi kemajuan sistem pendidikan hukum di Indonesia.

Secara sistematis buku ini terdiri atas enam bab. Bagian pertama adalah Bab pendahuluan yang menjelaskan latar belakang penyusunan cetak biru. Bab kedua mengenai konsep keadilan sosial. Dikutip dalam bab ini pandangan Derrida yang menyatakan, “the question of justice is not matter of universal definition, but is rather following question: How can we, in our particular time and place, work toward justice. Terdapat pula pendapat Leon Petrazyscki bahwa sebenarnya keadilan (sosial) bukan sesuatu yang abstrak, yang hanya berada pada dunia nilai-nilai saja tanpa perwujudan konkret. (hal. 17-18).

Bab ketiga mengenai visi pendidikan hukum yang juga membahas mengenai garis besar orientasi pendidikan hukum. Visi pendidikan hukum di Indonesia diarahkan kepada perwujudan “Ahli hukum yang bermoral dan memiliki visi tentang keadilan”. Bab Keempat mengenai strategi pembaruan pendidikan tinggi hukum, Bab Kelima mengenai rencana aksi , serta Bab Keenam penutup. Buku ini juga dilengkapi Workplan Cetak Biru 2010-2014.

Sebagai penutup secara kuat disebutkan bahwa rekomendasi utuh dari penyusun buku ini pula adalah agar masing-masing penyelenggara pendidikan hukum perlu menentukan prioritas di antara strategi yang ada. Untuk itu diperlukan evaluasi dan perencanaan secara reguler dari pimpinan fakultas hukum.

Ke depannya memang diharapkan gerakan “pembaruan pendidikan hukum” tidak lagi menjadi sekedar gerakan yang labil dan tidak terarah, melainkan menjadi suatu kebijakan utuh para penyelenggara pendidikan hukum untuk lebih serius mereformasi sistem pendidikan hukum menjadi lebih berkeadilan.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...