Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Pidana Pelanggaran Iklan Kampanye Pemilu Inkonsitusional
(Putusan 32/PUU-VI/2008 dan 99/PUU-VII/2009)
Mahkamah Konstitusi menyatakan beberapa aturan undang-undang Pemilu yang menentukan adanya pengawasan dan penjatuhan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, KPU, KPU propinsi dan KPU kabupaten pada pelanggaran iklan kampanye Pemilu oleh media cetak dan media elektronik tidaklah mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan 32/PUU-VI/2008 dan 99/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi menyatakan, ketentuan tersebut bertentangan dengan kebebasan berekspresi (freedom of expression) sebagaimana diatur di dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Kedua pasal a quo juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Selain itu, terdapat rumusan ketentuan yang mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers dengan kewenangan Komisi Pemilihan Umum dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye Pemilu. Ada pula rumusan yang menggunakan kata “atau” dapat menimbulkan tafsir bahwa lembaga yang dapat menjatuhkan sanksi bersifat alternatif, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers yang memungkinkan jenis sanksi yang dijatuhkan juga berbeda, sehingga justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Lagi pula, sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, Dewan Pers menurut UU 40/1999 tidak berwenang untuk menjatuhkan sanksi kepada pers, khususnya media cetak.
Narapidana Dapat Menjadi Pejabat Publik
(Putusan 4/PUU-VII/2009)
Mahkamah Konstitusi menyatakan, Norma hukum “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang terkandung dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 tentang pemilihan umum serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 tentang pemerintahan daerah jika diberlakukan tanpa syarat-syarat tertentu dapat menegasi prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta melanggar hak seseorang atau warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, yang pada hakikatnya merupakan moralitas hukum dan moralitas konstitusi;
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi menentukan, Norma hukum yang terkandung dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 yang diuji merupakan norma hukum yang bersifat inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu tidak konstitusional sepanjang tidak dipenuhi syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
Hasil Quick Count Dapat Diumumkan Pada Hari Pemilu
(Putusan 9/PUU-VII/2009 dan 98/PUU-VII/2009)
Terdapat aturan dalam undang-undang Pemilu yang menyatakan hasil quick count tidak dapat diumumkan pada hari pemilu karena hasil survei dan penghitungan cepat (quick count) dapat menimbulkan kekisruhan dan memengaruhi masyarakat pada masa tenang menjelang Pemilu atau sebelum lampaunya satu hari setelah pemungutan suara. Mahkamah Konstitusi berpendapat dalam Putusan 9/PUU-VII/2009 dan 98/PUU-VII/2009, Pertama, sejauh dilakukan sesuai dengan prinsip metodologis-ilmiah dan tidak bertendensi memengaruhi pemilih pada masa tenang maka pengumuman hasil survei tidak dapat dilarang. Kedua, sejauh menyangkut hasil penghitungan cepat (quick count) menurut Mahkamah tidak ada data yang akurat untuk menunjukkan bahwa pengumuman cepat hasil quick count itu telah menggangu ketertiban umum atau menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Dari sejumlah quick count selama ini tidak satu pun yang menimbulkan keresahan atau mengganggu ketertiban masyarakat, sebab sejak awal hasil quick count tersebut memang tidak dapat disikapi sebagai hasil resmi. Seandainya pun efek seperti itu ada maka dalam faktanya hanya dapat dihitung dengan jari sebelah tangan yang itu pun dapat disebabkan oleh penyelenggara quick count yang melakukannya secara tidak bertanggung jawab atau tendensius. Berdasarkan Undang-Undang a quo atau peraturan perundang-undangan lainnya, pembuat quick count yang seperti ini tetap dapat dikenai sanksi.
Haruslah diingat bahwa sejak awal sudah diketahui oleh umum (notoir feiten) bahwa quick count bukanlah hasil resmi sehingga tidak dapat disikapi sebagai hasil resmi, namun masyarakat berhak mengetahui. Bahkan banyak warga masyarakat yang menunggu hasil quick count tersebut begitu pemungutan suara selesai dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa hasil yang resmi dan berlaku adalah hasil yang akan diumumkan kemudian oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesuai dengan jadwal resmi yang ditentukan. Oleh sebab itu, baik pengumuman hasil survei pada masa tenang menjelang Pemilu maupun pengumuman hasil quick count begitu selesai pemungutan suara adalah sesuai dengan hak konstitusional bahkan sejalan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang secara tegas menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”;
Kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan bagi Perusahaan Sumber Daya Alam
(Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008 tanggal 15 April 2009)
Mahkamah berpendapat bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) merupakan kebijakan negara yang menjadi tanggung jawab bersama untuk bekerjasama (to cooperate) antara negara, pelaku bisnis, perusahaan, dan masyarakat. Bukan sebaliknya untuk mencari lubang-lubang (loopholes) kelemahan terhadap ketentuan hukum yang kemudian dieksploitasi untuk menghindari (to evade) tanggung jawab tersebut. TJSL merupakan affirmative regulation yang menurut argumentasi aliran hukum alam bukan saja menuntut untuk ditaati, tetapi menuntut kerja sama antara pemangku kepentingan.
Menurut Mahkamah, penerapan kewajiban TJSL kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam tidak dapat dianggap sebagai perlakuan yang diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Mahkamah juga berpendapat, prinsip dasar perekonomian di Indonesia adalah bersifat kerakyatan. Pengaturan TJSL dengan suatu kewajiban hukum merupakan suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat.
Parliamentary Threshold Tidak Bertentangan dengan Konstitusi
(Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009)
Semenjak Pemilu 1999 dan dilanjutkan dengan Pemilu 2004, pembentuk UU No. 3 Tahun 1999 dan UU No. 12 Tahun 2003 telah menerapkan kebijakan ambang batas persentase perolehan kursi atau suara bagi Parpol Peserta Pemilu agar dapat mengikuti Pemilu berikutnya yang di Indonesia lazim dikenal dengan istilah “Electoral Threshold” (disingkat ET) dan diganti menjadi “Parliamentary Threshold” dalam UU Nomor 10/2008. Melalui kebijakan ET tersebut diharapkan akan mampu menciptakan sistem kepartaian sederhana sebagaimana dikehendaki oleh UU No. 2 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Menurut Mahkamah, jika dibandingkan dengan kebijakan ET yang tercantum dalam UU Pemilu sebelumnya, yaitu UU No. 3 Tahun 1999 dan UU No. 12 Tahun 2003, yang mengancam eksistensi Parpol dan kesempatannya untuk mengikuti Pemilu berikutnya, kebijakan PT yang tercantum dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 justru lebih menjamin eksistensi Parpol Peserta Pemilu dan keikutsertaannya dalam Pemilu berikutnya. Maka dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT. Mengenai berapa besarnya angka ambangvbatas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Dengan demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan UU a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR.
Pasal 160 KUHP Konstitusional Bersyarat Sepanjang Ditafsirkan sebagai Delik Materiil
(Putusan Nomor 7/PUU-VII/2009)
Pasal 160 KUHP berbunyi, "Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya jangan menurut peraturan undang-undang atau perintah yang sah yang diberikan menurut peraturan undang-undang, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun atau denda Rp 4.500,00." KUHP Indonesia merupakan saduran dari Wetboek van Strafrecht Nederland (W.v.S./Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda)
Terhadap permasalahan utama apakah Pasal 160 KUHP sesuai dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka berdasarkan UUD 1945 yang menjunjung hak asasi manusia sebagai salah satu prinsip dalam negara hukum, Mahkamah berpendapat meskipun pasal 160 KUHP lahir pada masa kolonial Belanda, tetapi substansi norma yang terkandung dalam pasal tersebut tetap sejalan dengan prinsip-prinsip negara berdasarkan hukum, karena norma dalam pasal yang diuji memuat prinsip universal yang tidak mungkin dinegasikan oleh negara-negara beradab yang menjunjung tinggi hukum. Mengenai dalil Pemohon Pasal 160 KUHP lentur dan mudah ditafsirkan menurut selera penguasa, Mahkamah berpendapat itu adalah terkait dengan penerapan norma. Substansi pasal tersebut bersifat universal, yakni melarang orang menghasut untuk melakukan tindak pidana, masih tetap sesuai dengan kebutuhan hukum Indonesia saat ini. Meskipun demikian, Mahkamah berpendapat dalam penerapannya pasal tersebut harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP berdampak merusak nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dengan mencederai kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, menurut Mahkamah, dalam negara demokrasi, semua warga negara mempunyai hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat baik dengan lisan atau tulisan. Dalam hal ini harus dibedakan antara pelaksanaan hak untuk mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan yang dapat berupa kritikan kepada pemerintah dan tindakan menghasut. Menyampaikan kritik kepada pemerintah secara lisan ataupun tulisan atau bahkan unjuk rasa tidak dilarang menurut ketentuan pasal a quo karena merupakan bagian dari hak setiap warga negara dan karenanya mendapat perlindungan hukum. Penyampaian pendapat di muka umum wajib menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, wajib tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta wajib menghormati, menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Cara Pemilihan Kolektif Adat Dalam Pemilu Dapat Dibenarkan
(Putusan 47-81/PHPU.A-VII/2009)
Mahkamah dapat memahami dan menghargai nilai budaya yang hidup di kalangan masyarakat Papua yang khas dalam menyelenggarakan pemilihan umum dengan cara atau sistem “kesepakatan warga” atau “aklamasi”. Mahkamah menerima cara pemilihan kolektif (“kesepakatan warga” atau “aklamasi”) yang telah diterima masyarakat Kabupaten Yahukimo tersebut, karena jika dipaksakan pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan (bersifat langsung, umum, bebas, rahasia) yang berlaku dikhawatirkan akan timbul konflik di antara kelompok-kelompok masyarakat setempat. Mahkamah berpendapat, agar sebaiknya mereka tidak dilibatkan/dibawa ke sistem persaingan/perpecahan di dalam dan antarkelompok yang dapat mengganggu harmoni yang telah mereka hayati. Penerimaan atas cara yang realistis ini tentunya harus dilaksanakan dengan baik oleh penyelenggara atau panitia pemilihan umum.
Pidana Pelanggaran Iklan Kampanye Pemilu Inkonsitusional
(Putusan 32/PUU-VI/2008 dan 99/PUU-VII/2009)
Mahkamah Konstitusi menyatakan beberapa aturan undang-undang Pemilu yang menentukan adanya pengawasan dan penjatuhan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, KPU, KPU propinsi dan KPU kabupaten pada pelanggaran iklan kampanye Pemilu oleh media cetak dan media elektronik tidaklah mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan 32/PUU-VI/2008 dan 99/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi menyatakan, ketentuan tersebut bertentangan dengan kebebasan berekspresi (freedom of expression) sebagaimana diatur di dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Kedua pasal a quo juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Selain itu, terdapat rumusan ketentuan yang mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers dengan kewenangan Komisi Pemilihan Umum dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye Pemilu. Ada pula rumusan yang menggunakan kata “atau” dapat menimbulkan tafsir bahwa lembaga yang dapat menjatuhkan sanksi bersifat alternatif, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers yang memungkinkan jenis sanksi yang dijatuhkan juga berbeda, sehingga justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Lagi pula, sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, Dewan Pers menurut UU 40/1999 tidak berwenang untuk menjatuhkan sanksi kepada pers, khususnya media cetak.
Narapidana Dapat Menjadi Pejabat Publik
(Putusan 4/PUU-VII/2009)
Mahkamah Konstitusi menyatakan, Norma hukum “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang terkandung dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 tentang pemilihan umum serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 tentang pemerintahan daerah jika diberlakukan tanpa syarat-syarat tertentu dapat menegasi prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta melanggar hak seseorang atau warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, yang pada hakikatnya merupakan moralitas hukum dan moralitas konstitusi;
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi menentukan, Norma hukum yang terkandung dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 yang diuji merupakan norma hukum yang bersifat inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu tidak konstitusional sepanjang tidak dipenuhi syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
Hasil Quick Count Dapat Diumumkan Pada Hari Pemilu
(Putusan 9/PUU-VII/2009 dan 98/PUU-VII/2009)
Terdapat aturan dalam undang-undang Pemilu yang menyatakan hasil quick count tidak dapat diumumkan pada hari pemilu karena hasil survei dan penghitungan cepat (quick count) dapat menimbulkan kekisruhan dan memengaruhi masyarakat pada masa tenang menjelang Pemilu atau sebelum lampaunya satu hari setelah pemungutan suara. Mahkamah Konstitusi berpendapat dalam Putusan 9/PUU-VII/2009 dan 98/PUU-VII/2009, Pertama, sejauh dilakukan sesuai dengan prinsip metodologis-ilmiah dan tidak bertendensi memengaruhi pemilih pada masa tenang maka pengumuman hasil survei tidak dapat dilarang. Kedua, sejauh menyangkut hasil penghitungan cepat (quick count) menurut Mahkamah tidak ada data yang akurat untuk menunjukkan bahwa pengumuman cepat hasil quick count itu telah menggangu ketertiban umum atau menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Dari sejumlah quick count selama ini tidak satu pun yang menimbulkan keresahan atau mengganggu ketertiban masyarakat, sebab sejak awal hasil quick count tersebut memang tidak dapat disikapi sebagai hasil resmi. Seandainya pun efek seperti itu ada maka dalam faktanya hanya dapat dihitung dengan jari sebelah tangan yang itu pun dapat disebabkan oleh penyelenggara quick count yang melakukannya secara tidak bertanggung jawab atau tendensius. Berdasarkan Undang-Undang a quo atau peraturan perundang-undangan lainnya, pembuat quick count yang seperti ini tetap dapat dikenai sanksi.
Haruslah diingat bahwa sejak awal sudah diketahui oleh umum (notoir feiten) bahwa quick count bukanlah hasil resmi sehingga tidak dapat disikapi sebagai hasil resmi, namun masyarakat berhak mengetahui. Bahkan banyak warga masyarakat yang menunggu hasil quick count tersebut begitu pemungutan suara selesai dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa hasil yang resmi dan berlaku adalah hasil yang akan diumumkan kemudian oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesuai dengan jadwal resmi yang ditentukan. Oleh sebab itu, baik pengumuman hasil survei pada masa tenang menjelang Pemilu maupun pengumuman hasil quick count begitu selesai pemungutan suara adalah sesuai dengan hak konstitusional bahkan sejalan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang secara tegas menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”;
Kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan bagi Perusahaan Sumber Daya Alam
(Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008 tanggal 15 April 2009)
Mahkamah berpendapat bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) merupakan kebijakan negara yang menjadi tanggung jawab bersama untuk bekerjasama (to cooperate) antara negara, pelaku bisnis, perusahaan, dan masyarakat. Bukan sebaliknya untuk mencari lubang-lubang (loopholes) kelemahan terhadap ketentuan hukum yang kemudian dieksploitasi untuk menghindari (to evade) tanggung jawab tersebut. TJSL merupakan affirmative regulation yang menurut argumentasi aliran hukum alam bukan saja menuntut untuk ditaati, tetapi menuntut kerja sama antara pemangku kepentingan.
Menurut Mahkamah, penerapan kewajiban TJSL kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam tidak dapat dianggap sebagai perlakuan yang diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Mahkamah juga berpendapat, prinsip dasar perekonomian di Indonesia adalah bersifat kerakyatan. Pengaturan TJSL dengan suatu kewajiban hukum merupakan suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat.
Parliamentary Threshold Tidak Bertentangan dengan Konstitusi
(Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009)
Semenjak Pemilu 1999 dan dilanjutkan dengan Pemilu 2004, pembentuk UU No. 3 Tahun 1999 dan UU No. 12 Tahun 2003 telah menerapkan kebijakan ambang batas persentase perolehan kursi atau suara bagi Parpol Peserta Pemilu agar dapat mengikuti Pemilu berikutnya yang di Indonesia lazim dikenal dengan istilah “Electoral Threshold” (disingkat ET) dan diganti menjadi “Parliamentary Threshold” dalam UU Nomor 10/2008. Melalui kebijakan ET tersebut diharapkan akan mampu menciptakan sistem kepartaian sederhana sebagaimana dikehendaki oleh UU No. 2 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Menurut Mahkamah, jika dibandingkan dengan kebijakan ET yang tercantum dalam UU Pemilu sebelumnya, yaitu UU No. 3 Tahun 1999 dan UU No. 12 Tahun 2003, yang mengancam eksistensi Parpol dan kesempatannya untuk mengikuti Pemilu berikutnya, kebijakan PT yang tercantum dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 justru lebih menjamin eksistensi Parpol Peserta Pemilu dan keikutsertaannya dalam Pemilu berikutnya. Maka dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT. Mengenai berapa besarnya angka ambangvbatas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Dengan demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan UU a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR.
Pasal 160 KUHP Konstitusional Bersyarat Sepanjang Ditafsirkan sebagai Delik Materiil
(Putusan Nomor 7/PUU-VII/2009)
Pasal 160 KUHP berbunyi, "Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya jangan menurut peraturan undang-undang atau perintah yang sah yang diberikan menurut peraturan undang-undang, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun atau denda Rp 4.500,00." KUHP Indonesia merupakan saduran dari Wetboek van Strafrecht Nederland (W.v.S./Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda)
Terhadap permasalahan utama apakah Pasal 160 KUHP sesuai dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka berdasarkan UUD 1945 yang menjunjung hak asasi manusia sebagai salah satu prinsip dalam negara hukum, Mahkamah berpendapat meskipun pasal 160 KUHP lahir pada masa kolonial Belanda, tetapi substansi norma yang terkandung dalam pasal tersebut tetap sejalan dengan prinsip-prinsip negara berdasarkan hukum, karena norma dalam pasal yang diuji memuat prinsip universal yang tidak mungkin dinegasikan oleh negara-negara beradab yang menjunjung tinggi hukum. Mengenai dalil Pemohon Pasal 160 KUHP lentur dan mudah ditafsirkan menurut selera penguasa, Mahkamah berpendapat itu adalah terkait dengan penerapan norma. Substansi pasal tersebut bersifat universal, yakni melarang orang menghasut untuk melakukan tindak pidana, masih tetap sesuai dengan kebutuhan hukum Indonesia saat ini. Meskipun demikian, Mahkamah berpendapat dalam penerapannya pasal tersebut harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP berdampak merusak nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dengan mencederai kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, menurut Mahkamah, dalam negara demokrasi, semua warga negara mempunyai hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat baik dengan lisan atau tulisan. Dalam hal ini harus dibedakan antara pelaksanaan hak untuk mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan yang dapat berupa kritikan kepada pemerintah dan tindakan menghasut. Menyampaikan kritik kepada pemerintah secara lisan ataupun tulisan atau bahkan unjuk rasa tidak dilarang menurut ketentuan pasal a quo karena merupakan bagian dari hak setiap warga negara dan karenanya mendapat perlindungan hukum. Penyampaian pendapat di muka umum wajib menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, wajib tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta wajib menghormati, menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Cara Pemilihan Kolektif Adat Dalam Pemilu Dapat Dibenarkan
(Putusan 47-81/PHPU.A-VII/2009)
Mahkamah dapat memahami dan menghargai nilai budaya yang hidup di kalangan masyarakat Papua yang khas dalam menyelenggarakan pemilihan umum dengan cara atau sistem “kesepakatan warga” atau “aklamasi”. Mahkamah menerima cara pemilihan kolektif (“kesepakatan warga” atau “aklamasi”) yang telah diterima masyarakat Kabupaten Yahukimo tersebut, karena jika dipaksakan pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan (bersifat langsung, umum, bebas, rahasia) yang berlaku dikhawatirkan akan timbul konflik di antara kelompok-kelompok masyarakat setempat. Mahkamah berpendapat, agar sebaiknya mereka tidak dilibatkan/dibawa ke sistem persaingan/perpecahan di dalam dan antarkelompok yang dapat mengganggu harmoni yang telah mereka hayati. Penerimaan atas cara yang realistis ini tentunya harus dilaksanakan dengan baik oleh penyelenggara atau panitia pemilihan umum.
Comments