Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Pasal 28 ayat (1) UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) tidak meniadakan eksistensi delapan organisasi advokat [Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Hal itu terungkap dalam sidang pleno pembacaan putusan pengujian Pasal 1 ayat (1) dan (4), Pasal 28 ayat (1) dan (3) dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat terhadap UUD 1945 (30/11/2006) yang diajukan Ketua Dewan Kehormatan Pusat DPP IKADIN H. Sudjono, S.H. dan dua anggota Dewan Kehormatan Pusat DPP IKADIN (Ronggur Hutagalung S.H., M.H. dan Drs. Artono, S.H., M.H.), di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Jalan Medan Merdeka barat No. 7 Jakarta. MK menyatakan, seluruh permohonan dinyatakan ditolak karena dalil-dalil mereka tidak cukup beralasan.
Salah satu pasal yang diajukan untuk diuji adalah Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat yang dianggap para pemohon mengikuti pola pikir orde baru dan tidak sesuai di era reformasi. Azas wadah tunggal yang tercantum dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat yang berbunyi, “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan profesi Advokat,” dianggap telah menghilangkan hak konstitusional para pemohon, yang sejak tahun 1985 berjuang untuk kebebasan organisasi. Dengan kata lain, para pemohon menginginkan UU Advokat tidak berazas wadah tunggal (single bar), melainkan berbasis pada federasi (multi bar).
Menanggapi hal itu, dalam pertimbangan hukum putusan perkara No. 014/PUU-IV/2006 ini, MK menjelaskan bahwa sebenarnya kedelapan organisasi pendiri PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia—wadah tunggal organisasi advokat) masih tetap eksis, namun kewenangannya sebagai organisasi profesi advokat, yaitu dalam hal kewenangan membuat kode etik, menguji, mengawasi, dan memberhentikan advokat telah dialihkan menjadi kewenangan PERADI. Dengan demikian, delapan organisasi advokat tersebut masih tetap memiliki kewenangan (selain kewenangan yang dimiliki PERADI).
Terkait dengan kekhawatiran para pemohon tentang nasibnya sebagai advokat, MK menyatakan hal itu tidak perlu terjadi, karena telah dijamin oleh Pasal 32 ayat (1) UU Advokat yang berbunyi,” Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Mengenai masalah heregistrasi advokat yang dilakukan oleh PERADI, menurut MK, lebih merupakan kebijakan dan/atau norma organisasi yang tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas UU Advokat. (Lwe)
Pasal 28 ayat (1) UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) tidak meniadakan eksistensi delapan organisasi advokat [Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Hal itu terungkap dalam sidang pleno pembacaan putusan pengujian Pasal 1 ayat (1) dan (4), Pasal 28 ayat (1) dan (3) dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat terhadap UUD 1945 (30/11/2006) yang diajukan Ketua Dewan Kehormatan Pusat DPP IKADIN H. Sudjono, S.H. dan dua anggota Dewan Kehormatan Pusat DPP IKADIN (Ronggur Hutagalung S.H., M.H. dan Drs. Artono, S.H., M.H.), di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Jalan Medan Merdeka barat No. 7 Jakarta. MK menyatakan, seluruh permohonan dinyatakan ditolak karena dalil-dalil mereka tidak cukup beralasan.
Salah satu pasal yang diajukan untuk diuji adalah Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat yang dianggap para pemohon mengikuti pola pikir orde baru dan tidak sesuai di era reformasi. Azas wadah tunggal yang tercantum dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat yang berbunyi, “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan profesi Advokat,” dianggap telah menghilangkan hak konstitusional para pemohon, yang sejak tahun 1985 berjuang untuk kebebasan organisasi. Dengan kata lain, para pemohon menginginkan UU Advokat tidak berazas wadah tunggal (single bar), melainkan berbasis pada federasi (multi bar).
Menanggapi hal itu, dalam pertimbangan hukum putusan perkara No. 014/PUU-IV/2006 ini, MK menjelaskan bahwa sebenarnya kedelapan organisasi pendiri PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia—wadah tunggal organisasi advokat) masih tetap eksis, namun kewenangannya sebagai organisasi profesi advokat, yaitu dalam hal kewenangan membuat kode etik, menguji, mengawasi, dan memberhentikan advokat telah dialihkan menjadi kewenangan PERADI. Dengan demikian, delapan organisasi advokat tersebut masih tetap memiliki kewenangan (selain kewenangan yang dimiliki PERADI).
Terkait dengan kekhawatiran para pemohon tentang nasibnya sebagai advokat, MK menyatakan hal itu tidak perlu terjadi, karena telah dijamin oleh Pasal 32 ayat (1) UU Advokat yang berbunyi,” Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Mengenai masalah heregistrasi advokat yang dilakukan oleh PERADI, menurut MK, lebih merupakan kebijakan dan/atau norma organisasi yang tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas UU Advokat. (Lwe)
Comments