Skip to main content

Muatan Politik pada Lembaga Perwakilan


Oleh Luthfi Eddyono


Judul Buku : Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945; Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002; Buku III Lembaga Pemusyawaratan dan Perwakilan Jilid 1 dan Jilid 2 Edisi Revisi;
Penulis: Syukri Asy’ri (Jilid 1), Abdul Ghoffar, Budi H, Wibowo, Meyrinda R. Hilipito (Jilid 2)
Penerbit : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010
Tahun Terbit : 2010

Fakta bahwa tema lembaga permusyawaratan dan perwakilan merupakan salah satu tema terpenting dalam reformasi konstitusi Indonesia 1999-2002 terekam dalam buku ini. Penerbitan dalam dua jilid semakin menunjukkan betapa pembahasan tema tersebut penuh dengan muatan politik dan kepentingan banyak golongan sehingga membutuhkan perdebatan yang mendalam dan berlarut-larut.

Dilengkapi dengan kajian tentang latar belakang lembaga permusyawaratan dan perwakilan sebelum perubahan UUD 1945, tentu saja bagian terpenting dalam dua jilid buku ini adalah bahasan dan proses perdebatan atas eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat dan kemunculan Dewan Perwakilan Daerah.

Yang terpenting dalam naskah ini adalah bagaimana sebuah tema dibahas secara runtut dan teratur berdasarkan waktu pembahasan. Selain itu, tertera pula bahan-bahan yang selama ini tidak terpikirkan untuk diungkap kepada publik, yaitu rapat-rapat lobi. Lobi untuk beberapa isu ternyata menjadi wahana efektif untuk menyamakan ide dan persepsi para perumus. Karenanya pengungkapan hasil rapat lobi tersebut sangat berguna untuk memperkaya kajian komprehensif. Salah satu risalah rapat lobi yang digunakan dalam buku ini adalah Risalah rapat Lobi PAH I BP MPR bertanggal 10 September 2001.

Buku mengenai Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan yang dibagi dalam dua jilid ini mewadahi latar belakang konstitusional tiga institusi, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah. Dalam jilid pertama dibahas sejarah lembaga-lembaga tersebut dan pembahasan mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam jilid kedua dibahas Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah.

Dalam pembahasan tersebut banyak sekali alternatif isi pasal yang terungkap dan berbagai alternatif tersebut bila dibandingkan dengan pasal UUD 1945 sekarang sungguh berbeda. Permasalahannya adalah bagaimana menentukan sebuah bahasan merupakan original intent sebuah norma sehingga dapat menjadi pegangan dalam menafsirkan UUD 1945.

Menurut saya, hal demikian dapat ditentukan dengan memeriksa secara runtut pembahasan tersebut dan melihat kembali hubungannya dengan norma UUD 1945 yang hendak ditafsirkan. Cara paling mudah tentu saja dengan menanyakan kepada para penyusun UUD 1945 tersebut.

Kelebihan buku ini selain membahas tema dengan mengungkap pembahasan melalui risalah rapat termasuk meminta konfirmasi kepada para penyusun UUD 1945 pasca reformasi tersebut, yaitu Forum Konstitusi sebuah perhimpunan yang beranggotakan para perumsu rancangan perubahan UUD 1945 (anggota Panitia Ad Hoc III/I Badan Pekerja MPR). Hal demikian penting dilakukan karena bila menggunakan salah satu cara saja tentu tidak dapat dikatakan komprehensif. Bila hanya bertanya kepada para penyusun UUD 1945, penjelasan bisa menjadi subjektif, sehingga perlu dijajarkan dengan hasil risalah rapat.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus