Skip to main content

PASAL PENGHINAAN TERHADAP PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Dr. Eggi Sudjana, SH., M.Si, dan Pandapotan Lubis, para pemohon pengujian Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945 (perkara No. 013/PUU-IV/2006 dan 022/PUU-IV/2006) yang saat ini didakwa karena dianggap melakukan penghinaan terhadap Presiden berdasarkan pasal-pasal tersebut dapat bernafas lega. Karena Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusannya (6/12/2006) menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP merupakan pasal mengenai penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden. MK berpendapat, tidaklah relevan lagi bila Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, KUHP-nya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.

Lagipula, menurut MK, Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Terkait dengan alasan pemberlakuan pasal-pasal tersebut bahwa martabat Presiden dan Wakil Presiden berhak dihormati secara protokoler, MK menyatakan bahwa meskipun, demikian, namun kedua pemimpin pilihan rakyat tersebut tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkannya berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Terlebih-lebih, Presiden dan Wakil Presiden tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi, kecuali secara prosedural dalam rangka mendukung fungsí privilege tertentu. Untuk itu MK melansir agar RUU KUHP yang merupakan upaya pembaharuan KUHP warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP.

Pada putusan ini terdapat empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions), yaitu: Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi Soedarsono, Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya, dan Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi. Hal ini menunjukkan perdebatan yang sengit diantara majelis hakim konstitusi dalam memutuskan perkara.

Respon Berbagai Kalangan
Berbagai kalangan menilai positif putusan MK ini antara lain seperti yang disampaikan para aktivis yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, yang menyambut baik atas putusan dari Mahkamah konstitusi tersebut. Mereka berpendapat bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP dalam praktiknya selama ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden. “Ketiga pasal itu berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap, apalagi ketiga pasal itu selalu digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum demonstrasi dan unjuk rasa di lapangan,” kata Abdul Haris Semendawai atas nama Aliansi dalam Press Release-nya.

Walau begitu ada kalangan yang menentang pencabutan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap presiden. Salah satunya ahli hukum pidana UI Prof Dr Rudi Satrio. Dia tidak sependapat jika pasal itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sebagaimana putusan MK.

Pasal yang mengatur penghinaan terhadap presiden, masih sangat diperlukan untuk menjaga harkat dan martabat kepala negara. "Dengan pencabutan pasal itu, tampaknya kita terlalu liberal," tutur Rudi kepada Suara Merdeka (9/12/2006).

Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri mengatakan, dengan pencabutan sejumlah pasal tentang penghinaan terhadap presiden/Wapres dalam KUHP, Presiden dan Wapres selanjutnya akan aktif melapor kepada polisi jika merasa terhina atau tercemarkan nama baiknya. "Keputusan MK memang sudah final, tetapi itu tetap bisa dilaporkan. Apa susahnya melapor ke polisi, kan gampang saja," tandasnya menjawab pertanyaan wartawan di kantor Wapres, sebagaimana dilansir Suara Merdeka. (Lwe)

Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang Bertentangan dengan UUD 1945

Pasal 134:
“Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500”;

Pasal 136 bis.
“Perkataan penghinaan dengan sengaja dalam Pasal 134 mengandung juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 315, jika itu dilakukan kalau yang dihinakan tak hadir, yaitu baik di muka umum dengan beberapa perbuatan, maupun tidak di muka umum, tetapi dihadapan lebih dari empat orang atau dihadapan orang lain, yang hadir dengan tidak kemauannya dan yang merasa tersentuh hatinya, akan itu, dengan perbuatan-perbuatan, atau dengan lisan atau dengan tulisan”;

Pasal 137
(1) “Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya menghina Presiden atau Wakil Presiden dengan niat supaya isinya yang menghina itu diketahui oleh orang banyak atau diketahui oleh orang banyak, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500”;

(2) “Jika Si Tersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dan pada waktu melakukan kejahatan itu belum lagi lalu dua tahun sesudah tetap hukumannya yang dahulu sebab kejahatan yang serupa itu juga, maka ia dapat dipecat dari jabatannya. (KUHP 35, 144, 208, 310 s, 315, 483, 488)”;

Comments

Unknown said…
“Pasal itu sudah pernah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Desember 2006 yang menyidangkan perkara Nomor 013/PUU-IV/2006,” kata Hendardi di Jakarta, Selasa (4/8).

Hendardi: Pasal Penghinaan Presiden Inkonstitusional

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan