Skip to main content

PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI ATAS PASAL 33 UUD 1945

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahNya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Berdasarkan empat wewenang dan satu kewajiban yang dimilikinya, Jimly Asshidiqie beranggapan Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Hal itu juga membawa konsekuensi MK berfungsi sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution). Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional warga negara. Karena itu, MK juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights) serta pelindung HAM (the protector of human rights). [Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK RI, 2008), hlm. 39.]

Pasal 33 UUD 1945 pasca perubahan keempat, terdiri atas 5 ayat. Ayat (1) sampai dengan ayat (3) merupakan ayat asli UUD 1945, sedangkan ayat (4) dan ayat (5) merupakan tambahan dari perubahaan keempat UUD 1945 (2002) yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1), “Perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”;
Ayat (2), “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”;
Ayat (3), “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”;
Ayat (4), “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”;
Ayat (5), “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”;

Mahkamah Konstitusi telah kerap kali memutuskan perkara yang menggunakan batu uji Pasal 33 UUD 1945 tersebut yang diantaranya sebagai berikut:

Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003

Menimbang bahwa sebagaimana diakui juga oleh para Pemohon bahwa UUD 1945 adalah juga merupakan cita-cita dan arah serta dasar kebijakan yang bersifat normatif, sehingga apabila menilai perlindungan dan peran negara sebagai pelindung dilihat tidak tegas tampak dalam UU Ketenagakerjaan, hal ini disebabkan bahwa UU a quo harus merujuk kepada UUD 1945 yang artinya memperhitungkan pula keseimbangan berbagai kepentingan, khususnya kepentingan buruh dan kepentingan pengusaha dalam mekanisme ekonomi pasar. Kepentingan pengusaha harus juga diakomodasi karena ketiadaan investasi justru akan menyebabkan berkurangnya lapangan kerja dan bertambahnya pengangguran yang pada gilirannya justru akan merugikan pihak buruh sendiri. Dalam kaitan ini Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dipahami sepenuhnya sebagai penolakan terhadap sistem ekonomi pasar, yang berarti mengharuskan negara melakukan campur tangan tatkala mekanisme ekonomi pasar mengalami distorsi”.

Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003

Menimbang bahwa untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, Mahkamah perlu terlebih dahulu memberi pengertian atau makna “dikuasai oleh negara“ sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 mempunyai daya berlaku normatif sebagai berikut: 1. Konstitusi memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; 2. Kewenangan tersebut ditujukan kepada mereka baik yang akan maupun yang telah mengusahakan produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pada cabang produksi yang jenis produksinya belum ada atau baru akan diusahakan, yang jenis produksi tersebut penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak negara mempunyai hak diutamakan/didahulukan yaitu negara mengusahakan sendiri dan menguasai cabang produksi tersebut serta pada saat yang bersamaan melarang perorangan atau swasta untuk mengusahakan cabang produksi tersebut; 3. Pada cabang produksi yang telah diusahakan oleh perorangan atau swasta dan ternyata produksinya penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, atas kewenangan yang diberikan oleh Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, negara dapat mengambil alih cabang produksi tersebut dengan cara yang sesuai dengan aturan hukum yang adil;

Menimbang bahwa kewenangan negara yang diberikan oleh UUD 1945 dapat digunakan sewaktu-waktu apabila unsur-unsur persyaratan penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) terpenuhi;
Menimbang bahwa ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tidaklah dimaksudkan demi kekuasaan semata dari negara, tetapi mempunyai maksud agar negara dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, “.… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum …” dan juga “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Misi yang terkandung dalam penguasaan negara tersebut dimaksudkan bahwa negara harus menjadikan penguasaan terhadap cabang produksi yang dikuasainya itu untuk memenuhi tiga hal yang menjadi kepentingan masyarakat, yaitu: (1) ketersediaan yang cukup, (2) distribusi yang merata, dan (3) terjangkaunya harga bagi orang banyak. Hubungan antara penguasaan negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan hajat hidup orang banyak, serta misi yang terkandung dalam penguasaan negara merupakan keutuhan paradigma yang dianut oleh UUD 1945, bahkan dapat dikatakan sebagai cita hukum (rechtsidee) dari UUD 1945. Dengan demikian jelas bahwa UUD 1945 telah menentukan pilihannya. Pertanyaannya, bukankah ketiga hal tersebut di atas dapat dipenuhi oleh sistem ekonomi pasar, dan oleh karenanya mengapa tidak diserahkan saja kepada mekanisme pasar, tentu haruslah dijawab secara normatif bahwa UUD 1945 tidak memilih sistem tersebut sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 ayat (4). Dasar pilihan tersebut tidak berarti tanpa alasan sama sekali.

Asumsi bahwa mekanisme pasar dapat secara otomatis memenuhi ketiga hal tersebut di atas adalah penyederhanaan logika yang jauh dari kenyataan, yaitu adanya mekanisme (sistem) pasar yang sempurna. Kenyataan tidak adanya mekanisme pasar yang sempurna ini dapat disimak dari apa yang dinyatakan oleh Joseph E. Stiglitz: ”… presumption that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for desirable government interventions in the market and make everyone better off.“ (Globalization and Its Discontents, Joseph E. Stiglitz, hal. XII);

Menimbang bahwa berdasarkan penafsiran historis, seperti yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, makna ketentuan tersebut adalah “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang-seorang”. Uraian di atas masih menyisakan pertanyaan, apa saja yang termasuk cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta apa pula makna dikuasai oleh negara itu?;

Menimbang bahwa Mohammad Hatta sebagai salah satu pendiri negara (founding fathers) menyatakan tentang pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut, “Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman luar negeri. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanamkan modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah … Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945 … Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya maka diberikan kesempatan kepada mereka untuk menanamkan modalnya di tanah air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. (Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato II Hal. 231. Disusun oleh I. Wangsa Widjaja, Mutia F. Swasono, PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta 2002). Penafsiran Dr. Mohammad Hatta tersebut diadopsi oleh Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 pada tahun 1977 di Jakarta yang menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah untuk mengelola ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 dan di bidang pembiayaan, perusahaan negara dibiayai oleh Pemerintah, apabila Pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai, dapat melakukan pinjaman dari dalam dan luar negeri, dan apabila masih belum mencukupi bisa diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing atas dasar production sharing;

Menimbang bahwa Menteri Negara BUMN dalam keterangan tertulis di forum sidang Mahkamah menafsirkan “dikuasai oleh negara” berarti negara sebagai regulator, fasilitator, dan operator yang secara dinamis menuju negara hanya sebagai regulator dan fasilitator, sedangkan Prof. Dr. Harun Alrasid, S.H. menafsirkan dikuasai oleh negara berarti dimiliki oleh negara;

Menimbang bahwa Mahkamah juga memperhatikan pendapat para ahli yang menyatakan dalam kenyataan sesungguhnya tidak ada sistem ekonomi yang secara ekstrim liberal sepenuhnya, maupun sistem ekonomi yang bersifat command atau planned economy sepenuhnya. Sehingga oleh karenanya Pasal 33 UUD 1945 harus tetap menjadi acuan, karena Pasal 33 tersebut sama sekali tidak diartikan anti terhadap ekonomi pasar, dan ekonomi pasar juga tidak mengesampingkan sepenuhnya peran negara untuk campur tangan manakala terjadi distorsi dan ketidakadilan, oleh karena tafsiran dinamis atas Pasal 33 UUD 1945 oleh Mahkamah dilakukan dengan memperhatikan seoptimal mungkin perubahan lingkungan strategis secara nasional maupun global;

Menimbang bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sistem sebagaimana dimaksud, maka pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif;

Menimbang bahwa jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang-undang dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazim di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Karena itu, perkataan “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi pengertiannya hanya berkaitan dengan kewenangan negara untuk mengatur perekonomian. Oleh karena itu, baik pandangan yang mengartikan perkataan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, kedua-duanya ditolak oleh Mahkamah;

Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian pendapat dan uraian di atas, maka dengan demikian, perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat;

Menimbang bahwa dalam kerangka pengertian yang demikian itu, penguasaan dalam arti kepemilikan perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara, tergantung pada dinamika perkembangan kondisi masing-masing cabang produksi. Yang harus dikuasai oleh negara adalah cabang-cabang produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu: (i) cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada Pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilainya apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting lagi bagi negara dan tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak. Akan tetapi Mahkamah berwenang pula untuk melakukan penilaian dengan mengujinya terhadap UUD 1945 jika ternyata terdapat pihak yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena penilaian pembuat undang-undang tersebut;

Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, jikalau cabang produksi listrik sungguh-sungguh dinilai oleh Pemerintah bersama DPR telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang itu diserahkan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar. Namun, jikalau cabang produksi dimaksud masih penting bagi negara dan/atau masih menguasai hajat hidup orang banyak, maka negara c.q. Pemerintah tetap diharuskan menguasai cabang produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasinya agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah dalam pengelolaan cabang produksi listrik dimaksud. Dengan demikian, konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan ataupun dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu, negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

Menimbang bahwa di samping itu, untuk menjamin prinsip efisiensi berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional“, maka penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara c.q. Pemerintah untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
….
Menimbang bahwa dengan fakta tersebut di atas telah terbukti tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) cabang produksi tenaga listrik tersebut haruslah dikuasai oleh negara;

Menimbang oleh karena sudah jelas bahwa cabang produksi tenaga listrik harus dikuasai oleh negara, maka yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah, apakah dua isu (masalah pokok) dalam permohonan a quo yaitu tentang kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang terpisah (unbundled), bertentangan dengan UUD 1945?;

Menimbang bahwa dengan merujuk pada penafsiran Mahkamah atas penguasaan negara sebagai mana telah diuraikan di atas hal dimaksud harus dinilai berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 secara keseluruhan, termasuk penyelenggaraan perekonomian nasional berdasar atas demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan berwawasan lingkungan dengan mana ditafsirkan bahwa penguasaan negara juga termasuk dalam arti pemilikan privat yang tidak harus selalu 100%. Artinya, pemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha yang menyangkut cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud, dapat bersifat mayoritas mutlak (di atas 50%) atau bersifat mayoritas relatif (di bawah 50%) sepanjang Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas relatif tersebut secara hukum tetap memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan keputusan di badan usaha dimaksud;
Hal tersebut harus dipahami bahwa meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif dalam BUMN akan tetapi harus dipertahankan posisi negara untuk tetap sebagai pihak yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan yang menggambarkan penguasaan negara yang mencakup pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan;

Menimbang bahwa dalil Para Pemohon yang mengatakan bahwa produk tenaga listrik belum dapat diartikan, disamakan, dan diberlakukan sebagai komoditi ekonomi, tetapi juga harus diartikan sebagai prasarana yang perlu disubsidi, sehingga pengertian kompetisi dan perlakuan yang sama kepada semua pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud dalam konsiderans “Menimbang” huruf b dan c maupun Pasal 16, 17 ayat (1), dan 21 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tidak dapat diterima, karena dengan pengertian dikuasai oleh negara sebagaimana telah diuraikan di atas, akan menimbulkan kerancuan berfikir karena makna penguasaan negara yang mencakup pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan akan dikurangi jika dalam penyediaan tenaga listrik diperlakukan secara sama dalam sistem persaingan dengan badan usaha swasta, termasuk asing;

Menimbang bahwa lagi pula kompetisi dalam kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik di wilayah yang telah dapat menerapkan kompetisi dan secara unbundling, menurut ahli hanya akan terjadi di daerah JAMALI (Jawa, Madura dan Bali) sebagai pasar yang telah terbentuk yang akan dimenangkan oleh usaha yang kuat secara teknologis dan finansial, sedang di daerah yang pasarnya belum terbentuk di luar Jawa, Madura dan Bali, menjadi kewajiban Pemerintah/BUMN yang boleh melaksanakannya secara terintegrasi, hal mana tidak mampu dilakukan tanpa melalui subsidi silang dari pasar yang telah menguntungkan di JAMALI tersebut, sehingga kewajiban untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan tercapai, karena pelaku usaha swasta akan berorientasi kepada keuntungan yang hanya diperoleh di pasar yang sudah terbentuk;

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa untuk menyelamatkan dan melindungi serta mengembangkan lebih lanjut perusahaan negara (BUMN) sebagai aset negara dan bangsa agar lebih sehat yang selama ini telah berjasa memberikan pelayanan kelistrikan kepada masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, baik yang beraspek komersiil maupun non-komersiil sebagai wujud penguasaan negara, sehingga ketentuan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. Dengan demikian yang akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Keterangan ahli yang diajukan pemohon telah menjelaskan pengalaman empiris yang terjadi di Eropa, Amerika Latin, Korea, dan Meksiko, sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945;

Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat pembuat undang-undang juga menilai bahwa tenaga listrik hingga saat ini masih merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa hanya BUMN yang boleh mengelola usaha tenaga listrik, sedangkan perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerjasama oleh BUMN, baik dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan lain-lain. Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa dibagi dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD) sesuai dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN, tetapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai “holding company”;

Menimbang bahwa lagi pula dengan merujuk pandangan Hatta dan pandangan para ahli sebagaimana tersebut di atas tentang penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dapat disimpulkan secara ringkas bahwa makna dikuasai oleh negara ialah bahwa terhadap cabang produksi yang telah dimiliki oleh negara, maka negara harus memperkuat posisi perusahaan tersebut agar kemudian secara bertahap akhirnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan yang merupakan hajat hidup orang banyak dan menggantikan kedudukan perusahaan swasta, baik nasional maupun asing;

Menimbang bahwa adanya kenyataan inefisiensi BUMN yang timbul karena faktor-faktor miss-management serta korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan Pasal 33 UUD 1945, bak pepatah “buruk muka cermin dibelah”. Pembenahan yang dilakukan haruslah memperkuat penguasaan negara untuk dapat melaksanakan kewajiban konstitusionalnya sebagaimana disebut dalam Pasal 33 UUD 1945;

Menimbang bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan di atas, maka permohonan Para Pemohon harus dikabulkan sebagian dengan menyatakan Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68 UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menimbang bahwa meskipun ketentuan yang dipandang bertentangan dengan konstitusi pada dasarnya adalah Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68, khususnya yang menyangkut unbundling dan kompetisi, akan tetapi karena pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU No. 20 Tahun 2002 padahal seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem unbundling dalam ketenagalistrikan yang tercermin dalam konsideran “Menimbang” huruf b dan c UU Ketenagalistrikan. Hal tersebut tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan norma dasar perekonomian nasional Indonesia;

Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat cabang produksi dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 di bidang ketenagalistrikan harus ditafsirkan sebagai satu kesatuan antara pembangkit, transmisi, dan distribusi sehingga dengan demikian, meskipun hanya pasal, ayat, atau bagian dari ayat tertentu saja dalam undang-undang a quo yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat akan tetapi hal tersebut mengakibatkan UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak dapat dipertahankan, karena akan menyebabkan kekacauan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya;

Menimbang bahwa oleh karena Pasal 16 dan 17 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 yang berakibat UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum karena paradigma yang mendasarinya bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu guna mencegah timbulnya kesalahpahaman dan keragu-raguan yang mengakibatkan timbulnya kesan tidak adanya kepastian hukum di bidang ketenagalistrikan di Indonesia, perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum sejak diucapkan dan berlaku ke depan (prospective) sehingga tidak mempunyai daya laku yang bersifat surut (retroactive). Dengan demikian, semua perjanjian atau kontrak dan ijin usaha di bidang ketenagalistrikan yang telah ditandatangani dan dikeluarkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2002 tetap berlaku sampai perjanjian atau kontrak dan ijin usaha tersebut habis atau tidak berlaku lagi;
Menimbang bahwa guna menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Menimbang bahwa dengan dinyatakannya keseluruhan UU No. 20 Tahun 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, disarankan agar pembentuk undang-undang menyiapkan RUU Ketenagalistrikan yang baru yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945
;”

Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003

Menimbang bahwa sebelum memeriksa dalil Para Pemohon, Mahkamah harus menjelaskan beberapa pengertian penting yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang menyatakan: Ayat (2) : “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”; Ayat (3) : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”;

Menimbang bahwa titik pusat dari permasalahan yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya sebagaimana tertuang dalam ayat (2) dan (3) yang dijadikan dasar permohonan Para Pemohon, adalah terletak pada kata-kata “dikuasai oleh negara”, maka Mahkamah terlebih dahulu harus menjelaskan pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) tersebut;

Menimbang bahwa berkenaan dengan pengertian “dikuasai oleh negara” sebagaimana dimaksud Pasal 33 UUD 1945, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Rabu, 16 Desember 2004 sebagai berikut:

Bahwa dalam menemukan pengertian dan/atau maksud dari suatu ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD 1945 tidaklah cukup apabila hanya berpegang pada bunyi teks pasal yang bersangkutan dan hanya dengan menggunakan satu metode interpretasi tertentu. UUD 1945, sebagaimana halnya setiap undang-undang dasar atau konstitusi, adalah sebuah sistem norma dasar yang memberikan landasan konstitusional bagi pencapaian tujuan hidup berbangsa dan bernegara sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai suatu sistem, UUD 1945 adalah susunan kaidah-kaidah konstitusional yang menjabarkan Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, alinea keempat: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh karena itu, setiap interpretasi terhadap suatu ketentuan dalam Pasal-pasal UUD 1945 harus selalu mengacu kepada tujuan hidup berbangsa dan bernegara sebagaimana yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut;

Bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem sebagaimana dimaksud, maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Bahwa jika pengertian “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal demikian sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang-undang dasar. Sekiranya pun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazimnya di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Karena itu, pengertian “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi menjadi hanya kewenangan negara untuk mengatur perekonomian. Dengan demikian, baik pandangan yang mengartikan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, keduanya ditolak oleh Mahkamah;
Bahwa berdasarkan uraian tersebut, pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
Bahwa dalam kerangka pengertian yang demikian, penguasaan dalam arti kepemilikan perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara, tergantung pada dinamika perkembangan kondisi kekayaan masing-masing cabang produksi. Yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilai apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting bagi negara dan/atau tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak;
Menimbang bahwa atas dasar kerangka pemikiran demikian, jikalau cabang produksi minyak dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, oleh Pemerintah dan DPR dinilai telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi itu diserahkan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar. Namun, jikalau cabang-cabang produksi dimaksud oleh Pemerintah dan DPR dinilai masih penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka Negara, c.q. Pemerintah, tetap diharuskan menguasai cabang produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasinya agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi dimaksud. Dengan demikian, konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan atau dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya bersifat kumulatif dan tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu, negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menimbang bahwa di samping itu untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional”, maka penguasaan dalam arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Menimbang bahwa konsiderans “Menimbang” huruf b Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 menyatakan, “bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”. Dengan demikian, Mahkamah berkesimpulan, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, selaku lembaga negara yang oleh undang-undang dasar diberi kewenangan membentuk undang-undang, berpendirian bahwa minyak dan gas bumi adalah cabang produksi yang penting dan sekaligus menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

Menimbang bahwa oleh karena Para Pemohon mendasarkan seluruh butir atau perincian permohonannya yang mendalilkan sejumlah substansi undang-undang a quo bertentangan UUD 1945 dengan bertumpu pada Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, dan telah ternyata bahwa baik Pemerintah, DPR, maupun para ahli memandang minyak dan gas bumi adalah cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, maka dalam mempertimbangkan permohonan dimaksud Mahkamah akan menilainya berdasarkan pengertian penguasaan oleh negara sebagaimana diuraikan di atas dan keharusan tujuan penguasaan oleh negara itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat:

1. Para Pemohon mendalilkan, Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dengan argumentasi bahwa perusahaan asing akan menguasai industri minyak dan gas nasional, di samping mengurangi wewenang Presiden dan menumpukkan kekuasaan atas sumber daya minyak dan gas bumi di tangan Menteri ESDM. Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 menyatakan, “Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”. Terhadap hal ini Mahkamah tidak sependapat dengan Para Pemohon yang menganggap ketentuan tersebut menyebabkan terjadinya penumpukan kekuasaan yang sangat besar pada Menteri ESDM, karena hal itu merupakan masalah internal Pemerintah yang tidak relevan dalam perkara a quo. Namun, Mahkamah menilai ketentuan dimaksud tidak sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) undang-undang a quo yang menyatakan bahwa penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Secara yuridis, wewenang penguasaan oleh negara hanya ada pada Pemerintah, yang tidak dapat diberikan kepada badan usaha sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo. Sementara, Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap hanya melaksanakan kegiatan tersebut berdasarkan kontrak kerjasama dengan hak ekonomi terbatas, yaitu pembagian atas sebagian manfaat minyak dan gas bumi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2). Dalam lapangan hukum administrasi negara, pengertian pemberian wewenang (delegation of authority) adalah pelimpahan kekuasaan dari pemberi wewenang, yaitu negara, sehingga dengan pencantuman kata “diberi wewenang kepada Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap” maka penguasaan negara menjadi hilang. Oleh karena itu, kata-kata “diberi wewenang” tidak sejalan dengan makna Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, di mana wilayah kerja sektor hulu adalah mencakup bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang salah satunya adalah minyak dan gas bumi, yang merupakan hak negara untuk menguasai melalui pelaksanaan fungsi mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden). Oleh karena itu, adanya kata-kata “diberi wewenang” dalam Pasal 12 ayat (3) dimaksud adalah bertentangan dengan UUD 1945;

2. Para Pemohon mendalilkan bahwa pengertian Kuasa Pertambangan dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo yang hanya mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sementara kegiatan pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan bahan bakar minyak tidak termasuk di dalamnya, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Menurut Para Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut telah meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Terhadap dalil Para Pemohon ini, Mahkamah berpendapat, untuk menilai ada tidaknya penguasaan oleh negara, pasal dimaksud tidak dapat dinilai secara berdiri sendiri melainkan harus dihubungkan dengan pasal-pasal lain secara sistematis. Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo yang berbunyi, “Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi”, hanyalah memberikan pengertian tentang Kuasa Pertambangan dan sama sekali belum menggambarkan implementasi pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945. Lagipula, dalam hubungannya dengan minyak dan gas bumi, yang juga harus dinilai adalah bahwa tujuan penguasaan oleh negara itu, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukanlah untuk penguasaan an sich melainkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam memeriksa dalil Pemohon ini, Mahkamah harus mempertimbangkan secara sistematis konteks pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud tatkala diimplementasikan dalam pasal-pasal lain dari undang-undang a quo. Jika pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1), (2), (3), Pasal 6 ayat (1), (2), dan Pasal 7 ayat (1) tampak jelas hal-hal sebagai berikut:
- bahwa minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara;
- penyelenggara penguasaan oleh negara dimaksud adalah Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan;
- Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana, yaitu suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang minyak dan gas bumi (Pasal 1 angka 23);
- Pelaksanaan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi (Kegiatan Usaha Hulu) dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama, yaitu Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1 angka 19);
- Kontrak Kerja Sama dimaksud, paling sedikit harus memuat persyaratan: (a) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan (yaitu titik penjualan minyak atau gas bumi); (b) pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c) modal dan risiko ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Yang dimaksud “pengendalian manajemen operasi” menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (2) adalah pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana pengembangan lapangan, serta pengawasan terhadap realisasi dari rencana tersebut;
- Pelaksanaan kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga (Kegiatan Usaha Hilir) dilaksanakan dengan Izin Usaha;
Uraian di atas menunjukkan bahwa semua unsur yang terkandung dalam pengertian “penguasaan oleh negara”, yaitu mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden) masih tetap berada di tangan Pemerintah, sebagai penyelenggara “penguasaan oleh negara” dimaksud, atau badan-badan yang dibentuk untuk tujuan itu. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, dalil Para Pemohon harus dinyatakan tidak beralasan dan karenanya harus ditolak;

3. Para Pemohon mendalilkan, pola industri minyak dan gas nasional yang memisahkah antara kegiatan hulu dan hilir (unbundling), sebagaimana diatur dalam Pasal 10 undang-undang a quo, akan berakibat lebih mahalnya biaya/harga produk bahan bakar minyak dan non-bahan bakar minyak karena setiap sektor kegiatan mempunyai biaya dan profit tersendiri. Hal ini, oleh Para Pemohon, juga dinilai bertentangan dengan trend industri minyak dan gas dunia. Pasal 10 dimaksud menyatakan, “(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu”. Adanya Pasal 10 haruslah dipahami agar supaya tidak terjadi pemusatan penguasaan minyak dan gas bumi di satu tangan sehingga mengarah kepada monopoli yang merugikan kepentingan masyarakat. Namun, ketentuan pasal dimaksud harus ditafsirkan tidak berlaku terhadap badan usaha yang telah dimiliki oleh negara yang justru harus diberdayakan agar penguasaan negara menjadi semakin kuat. Pasal 61 yang termasuk dalam Ketentuan Peralihan harus ditafsirkan bahwa peralihan dimaksud terbatas pada status Pertamina untuk menjadi persero dan tidak menghapuskan keberadaannya sebagai Badan Usaha yang masih tetap melakukan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir, meskipun untuk usaha hilir dan hulu tersebut harus dilakukan oleh dua Badan Usaha “Pertamina Hulu” dan “Pertamina Hilir” yang keduanya tetap dikuasai oleh negara. Dengan alur pikir demikian, kekhawatiran Para Pemohon menjadi tidak beralasan;

4. Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 60 undang-undang a quo yang mengubah fungsi perusahaan negara minyak dan gas mengakibatkan negara tidak lagi menyelenggarakan pengusahaan minyak dan gas bumi karena wewenang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi diserahkan Pemerintah langsung kepada swasta (asing/nasional), sedangkan pada sektor hilir, kegiatan dilakukan berdasarkan mekanisme pasar. Pasal 60 dimaksud menyatakan, “Pada saat undang-undang ini berlaku: a. dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan Peraturan Pemerintah; b. selama Persero sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum terbentuk, Pertamina yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) wajib melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi serta mengatur dan mengelola kekayaan, pegawai dan hal penting lainnya yang diperlukan; c. saat terbentuknya Persero yang baru, kewajiban Pertamina sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dialihkan kepada Persero yang bersangkutan”. Dengan memperhatikan bunyi Pasal 60 undang-undang a quo dan penjelasannya serta pertimbangan Mahkamah yang diuraikan pada angka 2 dan 3 di atas, maka permohonan Para Pemohon tidak cukup beralasan karena ketentuan peralihan tersebut diperlukan untuk mencegah kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid);

5. Para Pemohon mendalilkan, Pasal 44 ayat (3) huruf g undang-undang a quo, dalam hal ini yang berkait dengan diberikannya tugas kepada Badan Pelaksana (BHMN) untuk menunjuk penjual minyak dan/atau gas bumi bagian negara kepada pihak lain yang bukan BUMN, menurut Para Pemohon, di satu sisi akan merugikan negara karena fee penjualan akan diperoleh swasta dan membuka peluang korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan di lain pihak akan membuka persaingan antar sesama LNG Indonesia di pasar internasional. Terhadap dalil Para Pemohon ini, Mahkamah berpendapat bahwa masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme memang harus diberantas dalam rangka mewujudkan prinsip good corporate governance dalam BUMN, namun hal tersebut bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Sementara itu, 2 (dua) Hakim Konstitusi berpendapat bahwa terlepas dari masalah tersebut di atas, Pasal 44 ayat (3) huruf g undang-undang a quo tidak menggambarkan adanya penguasaan oleh negara sebagaimana diperintahkan Pasal 33 UUD 1945, karena memberikan kewenangan diskresioner untuk menunjuk penjual selain Badan Usaha Milik Negara yang seharusnya diberdayakan oleh negara sendiri sebagai instrumen penguasaan oleh negara dalam kegiatan penjualan Migas. Namun demikian, Mahkamah berpendirian bahwa ketentuan pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, tetapi harus ditafsirkan dalam penunjukan penjual oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud, harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya;

6. Para Pemohon mendalilkan, sebagai akibat diserahkannya harga minyak dan gas bumi kepada mekanisme persaingan usaha, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (2) undang-undang a quo, di samping akan menimbulkan perbedaan harga antar daerah/pulau yang, menurut Para Pemohon, dapat memicu disintegrasi bangsa dan kecemburuan sosial, juga bertentangan dengan praktik kebijaksanaan harga BBM di setiap negara di mana Pemerinah ikut mengatur harga BBM sesuai dengan kebijaksanaan energi dan ekonomi nasional setiap negara, karena komoditas BBM tidak termasuk dalam agenda WTO. Terhadap dalil Para Pemohon dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa campur tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga tersebut termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pasal 28 ayat (2) dan (3) undang-undang a quo mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, sehingga tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, guna mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah. Menurut Mahkamah, seharusnya harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Oleh karena itu Pasal 28 ayat (2) dan (3) tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;

7. Pemohon mendalilkan bahwa pembebanan kewajiban bagi Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan usaha hulu (eksplorasi dan eksploitasi) untuk membayar berbagai penerimaan negara yang berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 undang-undang a quo, akan merusak iklim usaha, antara lain, membuat investor tidak tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang ekplorasi dan ekploitasi. Terhadap dalil Pemohon ini Mahkamah dapat membenarkan sepanjang menyangkut usaha eksplorasi karena masih berupa pencarian sumber migas yang belum pasti menghasilkan, sehingga secara konstitusional tidak adil bagi Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan untuk dikenakan pajak sehingga dapat mengurangi minat investor untuk menanamkan modalnya dalam kegiatan eksplorasi yang pada gilirannya akan berdampak mengurangi kesempatan untuk mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Akan tetapi terhadap usaha eksploitasi tidak terdapat alasan untuk menyatakan ketentuan dimaksud bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, karena kegiatan usaha hulu di bidang eksploitasi sudah menghasilkan migas. Dengan pertimbangan demikian, meskipun Mahkamah sependapat dengan sebagian dalil Para Pemohon, akan tetapi Mahkamah tidak mungkin mengabulkan permohonan Para Pemohon, karena ketentuan pengenaan pajak dalam pasal a quo mencakup kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi. Oleh karena Mahkamah tidak berwenang melakukan perubahan atau perbaikan rumusan pasal dalam undang-undang, maka Mahkamah menganjurkan pada pembentuk undang-undang untuk melakukan amandemen terhadap pasal undang-undang a quo (legislative review). Berdasarkan pertimbangan tersebut permohonan Para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 31 ayat (1) undang-undang a quo tidak mungkin dikabulkan;

8. Para Pemohon mendalilkan, undang-undang a quo, melalui ketentuan Pasal 23 ayat (2), telah meliberalisasi sektor hilir pengusahaan minyak dan gas bumi. Para Pemohon menilai, dengan cara itu berarti undang-undang a quo mendahulukan kepentingan pengusaha yang berorientasi pada laba maksimum serta mengabaikan kepentingan hajat hidup orang banyak. Padahal sebelumnya, kegiatan demikian dilakukan oleh Pemerintah melalui BUMN sehingga Pemerintah senantiasa dapat menyediakan bahan bakar minyak di mana saja di seluruh Indonesia dengan harga yang seragam dan terjangkau karena hal itu merupakan misi Badan Usaha Milik Negara. Karenanya Para Pemohon berpendapat bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (2) tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 23 ayat (2) dimaksud menyatakan, “Izin usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas: a. Izin Usaha Pengolahan; b. Izin Usaha Pengangkutan; c. Izin Usaha Penyimpanan; d. Izin Usaha Niaga”. Dalil permohonan Para Pemohon tersebut tidak beralasan, karena Pasal 23 ayat (2) dimaksud meskipun memang mengatur unbundling, namun ketentuan unbundling tersebut tidak merugikan BUMN (Pertamina) karena haknya telah dijamin berdasarkan Pasal 61 huruf b sebagaimana telah diuraikan pada pertimbangan nomor 3 di atas. Pasal 61 huruf b tersebut berbunyi, “Pada saat terbentuknya Persero sebagai pengganti Pertamina, badan usaha milik negara tersebut wajib mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana untuk melanjutkan Eksplorasi dan Eksploitasi pada bekas Wilayah Kuasa Pertambangan Pertamina dan dianggap telah mendapatkan Izin Usaha yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga”. Dengan demikian, kekhawatiran Para Pemohon terhadap berlakunya Pasal 23 ayat (2) dimaksud tidak beralasan;

9. Para Pemohon, meskipun tidak secara jelas mendalilkan dalam permohonannya akan tetapi di depan persidangan tanggal 16 Februari 2004 telah mempermasalahkan Pasal 22 ayat (1) undang-undang a quo yang berbunyi “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri” sebagai bertentangan dengan UUD 1945. Dari bunyi pasal tersebut bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (duapuluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi migas untuk menehui kebutuhan dalam negeri, dapat mengakibatkan pihak Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tidak melaksanakan tanggungjawabnya untuk turut memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 19 dalam rangka penjabaran Pasal 33 ayat (3) yaitu prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Mahkamah menilai bahwa prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam cabang produksi migas mengandung pengertian bukan hanya harga murah maupun mutu yang baik, tetapi juga adanya jaminan ketersediaan BBM dan pasokan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) undang-undang a quo yang mencantumkan kata-kata “paling banyak” maka hanya ada pagu atas (patokan persentase tertinggi) tanpa memberikan batasan pagu terendah, hal ini dapat saja digunakan oleh pelaku usaha sebagai alasan yuridis untuk hanya menyerahkan bagiannya dengan persentase serendah-rendahnya (misalnya hingga 0,1%). Oleh karena itu, Mahkamah menganggap kata-kata “paling banyak” dalam anak kalimat “.... wajib menyerahkan paling banyak 25% (duapuluh lima persen) ...” harus dihapuskan karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya, pengaturan mengenai pelaksanaan penyerahan 25% bagiannya yang dimaksud, dituangkan dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (2) undang-undang a quo
;”


Putusan Perkara Nomor 053/PUU-II/2004

Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pasal-pasal a quo tidak adil dan menyebabkan tidak adanya kepastian hukum serta menimbulkan biaya ekonomi yang sangat tinggi sehingga Pemohon selaku pengembang merasa tidak ada efisiensi dalam bisnis pengembang, Mahkamah berpendapat bahwa ‘’efisiensi berkeadilan‘’ dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 bukan dalam arti efisiensi dalam suatu bisnis atau perusahaan, melainkan adalah mengenai sistem perekonomian nasional dimana dalam menjalankan efisiensi tidak boleh mengakibatkan ketidakadilan yang bertentangan dengan hak asasi manusia;”


Putusan Perkara Nomor 21-22/PUU-V/2007

[3.17] Menimbang bahwa Pasal 33 UUD 1945, yang merupakan bagian dari BAB XIV yang bertitel PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
• Ayat (1), “Perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”;
• Ayat (2), “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”;
• Ayat (3), “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”;
• Ayat (4), “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”;
• Ayat (5), “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”;

Seluruh ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945 di atas haruslah dipahami sebagai satu kesatuan yang bulat dan dengan semangat untuk senantiasa menjadikan UUD 1945 sebagai konstitusi yang hidup (living constitution). Dengan pemahaman demikian maka konteks kesejarahan (historis) dalam penyusunan Pasal 33 UUD 1945 itu menjadi penting bukan semata-mata karena ia memberikan gambaran tentang “apa fakta-fakta yang ada tatkala ketentuan itu dirumuskan” melainkan karena ia melengkapi kebutuhan kita akan jawaban atas pertanyaan “mengapa berdasarkan fakta-fakta tersebut ketentuan itu dirumuskan demikian oleh pembentuk undang-undang dasar”. Tugas Mahkamah, sebagaimana halnya tugas setiap yuris, bukanlah berhenti pada upaya merekonstruksi fakta-fakta sejarah perumusan suatu norma hukum melainkan pada upaya menemukan tujuan atau maksud yang ada dibalik rumusan norma hukum itu berdasarkan rekonstruksi atas fakta-fakta sejarah tersebut. Dengan cara itu, suatu norma undang-undang, lebih-lebih norma undang-undang dasar, dibebaskan keterikatannya pada ruang dan waktu sehingga ia senantiasa menjadi norma yang hidup (living norm) karena ia lebih terikat ke masa depan yaitu pada tujuan yang hendak dicapai, bukan pada masa lalu atau fakta-fakta sejarah yang melahirkannya. Dengan demikian tafsir konstitusi bukan hanya dilakukan secara tekstual, melainkan juga dengan cara konstekstual sehingga konstitusi tetap aktual;

[3.18] Menimbang, berdasarkan cara pemahaman terhadap Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana diuraikan di atas, jelas bahwa tujuan akhir yang hendak dicapai adalah terwujudnya perekonomian nasional yang memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada rakyat. Sementara itu, dasar-dasar konstitusional yang digariskan bagi upaya untuk mencapai tujuan perekonomian yang demikian adalah:
a. bahwa perekonomian nasional itu harus disusun sebagai usaha bersama;
b. bahwa asas perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama itu adalah asas kekeluargaan;
c. bahwa dalam perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan itu terdapat beberapa hal yang harus dikuasai oleh negara, yaitu:
i. cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan sekaligus menguasai hajat hidup orang banyak;
ii. cabang-cabang produksi yang penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak;
iii. cabang-cabang produksi yang tidak penting tetapi menguasai hajat hidup orang banyak;
iv. bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan air itu;
d. bahwa dasar penyelenggaraan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama dan berasaskan kekeluargaan itu adalah demokrasi ekonomi yang di dalamnya terdapat sejumlah prinsip, yaitu:
i. prinsip kebersamaan;
ii. prinsip efisiensi yang berkeadilan;
iii. prinsip berkelanjutan;
iv. prinsip berwawasan lingkungan;
v. prinsip kemandirian; dan
vi. prinsip menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
e. bahwa ketentuan tentang pelaksanaan lebih lanjut dari dasar-dasar konstitusional perekonomian nasional itu diserahkan pengaturannya dalam undang-undang;

[3.19] Menimbang bahwa dengan uraian pada paragraf [3.18] berarti bahwa atas dasar cara pemahaman dan semangat itulah secara umum penilaian terhadap konstitusional-tidaknya suatu norma undang-undang yang mengatur tentang atau berkait dengan perekonomian nasional harus dilakukan. Tanpa melupakan konteks kesejarahan dalam penyusunan maupun beragam pendapat yang berkembang tentang atau yang berkait dengan Pasal 33 UUD 1945, penting ditegaskan bahwa konteks sejarah maupun pendapat itu hanya bernilai jika konkordan dengan jawaban atas pertanyaan untuk apa sesungguhnya kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar, sebagaimana ditegaskan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Dalam kerangka pikir itulah perekonomian nasional, yang berupa usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan itu, tidak dapat diartikan lain selain sebagai bagian dari tugas Pemerintah Negara Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam kerangka pikir itu pula makna “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 UUD 1945 itu harus dipahami, bukan semata-mata pada bentuk. Hanya dengan pemahaman demikian pula dapat diterima jalan pikiran pembentuk undang-undang bahwa terhadap bidang-bidang dan/atau cabang-cabang produksi tertentu memang diperlukan penguasaan oleh negara;

[3.20] Menimbang bahwa perihal penguasaan oleh negara, atau yang dalam UUD 1945 dirumuskan “dikuasai oleh negara”, Mahkamah telah menyatakan pendapatnya sebagaimana tertuang, antara lain, dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003. Dalam putusan dimaksud telah pula dijelaskan tentang kemungkinan dapat berubahnya penguasaan oleh negara sepanjang menyangkut cabang-cabang produksi yang diakibatkan oleh berubahnya penilaian DPR dan Pemerintah tentang mana cabang produksi yang dianggap penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sementara itu, pendapat Mahkamah perihal penguasaan oleh negara terhadap bumi dan air dan seluruh kekayaan alam yang terdapat di dalamnya juga telah dijelaskan, antara lain, dalam Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 (Undang-Undang MIGAS). Sehubungan dengan hal yang disebut terakhir ini, Mahkamah memandang perlu menegaskan bahwa adanya hak penguasaan oleh negara atas bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang ada di dalamnya itu menunjukkan bahwa konsepsi hak yang dianut oleh UUD 1945 berkenaan dengan ketiga hal dimaksud (bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air itu) bukanlah konsepsi hak sebagaimana yang dikenal dalam doktrin hukum Romawi bahwa siapa yang memiliki hak atas tanah ia juga berhak atas segala yang berada di atas maupun di bawah atau di dalam tanah itu secara tak terbatas (cojus est solum est usque ad coelum et ad inferos ad infinitum).

Penegasan ini penting karena salah satu isu konstitusional yang dipermasalahkan dalam permohonan a quo bersangkut-paut dengan hak penguasaan negara atas tanah. Dengan penegasan tersebut di atas, maka tiga hal menjadi jelas.

Pertama, bagi negara, bahwa hak menguasai yang diberikan oleh UUD 1945 kepadanya itu bukanlah demi negara itu sendiri melainkan terikat pada tujuan pemberian hak itu yakni untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat;

Kedua, bagi orang perorangan pemegang hak atas tanah, termasuk badan hukum, dengan penegasan tersebut berarti ada kepastian bahwa dalam hak atas tanah yang dipunyainya itu melekat pula pembatasan-pembatasan yang lahir dari adanya hak penguasaan oleh negara;

Ketiga, bagi pihak-pihak lain yang bukan pemegang hak atas tanah juga diperoleh kepastian bahwa mereka tidak serta-merta dapat meminta negara untuk melakukan tindakan penguasaan atas tanah yang terhadap tanah itu sudah melekat suatu hak tertentu;

[3.21] Menimbang, selain hal-hal yang telah diuraikan pada paragraf [3.19] dan [3.20] di atas, Pasal 33 UUD 1945 juga menentukan bahwa dasar penyelenggaraan perekonomian nasional adalah demokrasi ekonomi. Sebagaimana halnya isi dan pengertian demokrasi pada umumnya yang terus berubah dan berkembang, demikian pula halnya dengan isi dan pengertian demokrasi ekonomi. Ia tidak boleh dan tidak mungkin diberi isi dan pengertian yang hanya terikat pada waktu tertentu. Namun, apa pun isi dan pengertian demokrasi ekonomi tersebut, maknanya adalah kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dengan prinsip-prinsip atau asas-asas yang melandasinya adalah prinsip kebersamaan, prinsip efisiensi yang berkeadilan, prinsip berkelanjutan, prinsip berwawasan lingkungan, prinsip kemandirian, serta prinsip keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
;”

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...