Skip to main content

PENAHANAN MERUPAKAN “A NECESSARY EVIL”

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Pranata penahanan memang secara langsung bersinggungan dengan hak asasi manusia, namun dengan perumusan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, pembentuk undang-undang telah berusaha untuk mempertimbangkan adanya hak asasi pada terdakwa atau tersangka, termasuk juga dengan tersedianya pranata praperadilan.

Hal tersebut terpaparkan dalam sidang pembacaan putusan pengujian UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945 yang diajukan Mayor Jenderal (Purn). H. Suwarna Abdul Fatah, (22/12/2006) di Ruang Sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Suwarna mempermasalahkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”

Suwarna merasa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dilanggar dan dirugikan dengan berlakunya pasal tersebut, khususnya pada frasa “melakukan tindak pidana” dan frasa ”dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran”. Hal ini terkait dengan penahanan dirinya hingga beberapa kali perpanjangan. Menurut Suwarna kejadian ini mengakibatkannya kehilangan hak untuk bekerja sebagai Gubernur Kalimantan Timur berdasarkan Keputusan Presiden No. 103/M Tahun 2003, Tanggal 18 Juni 2003.

Menanggapi permohonan pengujian itu, MK berpendapat, secara norma rumusan Pasal 21 ayat (1) KUHAP telah seimbang, karena mempertemukan dua kepentingan, yaitu kepentingan umum dan kepentingan perlindungan individual. Pranata penahanan dari sudut hak asasi manusia dan kepentingan umum memang menjadi suatu hal menyakitkan, tetapi diperlukan (a necessary evil) dan tidak dapat dihindari. Lagipula, menurut MK, ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP secara norma tidaklah eksessif atau berlebihan, sehingga telah sesuai dengan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Dengan kata lain, keberadaan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP masih dalam batas rasionalitas yang dapat dibenarkan.

MK juga berpendapat, pranata hukum (rechtsinstituut) penahanan tidaklah dapat dihilangkan dalam hukum acara pidana. Namun hal yang diperlukan adalah mengurangi dampak pranata penahanan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Pengurangan dampak tersebut dapat dilakukan dengan menentukan ukuran secara rasional alasan melakukan penahanan serta dengan cara menciptakan pranata kontrol. (Lwe)

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan