Skip to main content

Perspektif Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan


Oleh Luthfi Eddyono


Judul Buku : Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa jauh? Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek

Judul Asli : Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook (2004 edition)

Editor : Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr, Bahia G. Tahzib Lie

Editor Pembantu : Elizabeth A. Sewell, Lena Larsen

Edisi Bahasa Indonesia
Penerjemah : Rafael Edy Bosko, M. Rifa’I Abduh

Editor Pembantu: Neni Indriati Wetlesen

Penerbit : Kanisius

Tahun Terbit : 2010

Jumlah halaman: xvii + 829


Inti buku ini adalah kajian prinsip dan praktek kebebasan pemikiran, keyakinan, dan agama yang umumnya dideskripsikan sebagai forum internum. Dari berbagai tulisan para kontributor yang mempunyai keahlian dan kepakaran di bidang tersebut, dapatlah kita kerucutkan perlindungan kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.

Pada prinsipnya, inti normatif hak asasi manusia atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat disingkat menjadi delapan elemen, yaitu kebebasan internal, kebebasan eksternal, tanpa dipaksa, tanpa diskriminasi, hak orang tua dan wali, kebebasan korporat dan kedudukan hukum, tidak dapat dikurangi, dan pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal (halaman 20-21).

Dilema pengakuan atas forum internum jelas berhadapan langsung dengan intervensi pemerintah yang dapat dibenarkan atau menjadi kewajiban. Contohnya, sebagaimana diungkapkan Manfred Nowak dan Tanja Vospernik dalam Bab 3, jika penganut Saksi Yehowah (Jehovah Witnesses) atas dasar keyakinan agamanya menolak untuk memberikan transfusi darah demi keselamatan nyawa anak-anak mereka yang berusia enam tahun atau kalau ratusan pengikut suatu kelompok keagamaan tertentu menuruti seruan pemimpinnya untuk melakukan bunuh diri, maka campur tangan pemerintah bisa juga diperlukan untuk mengatasi konflik-konflik antarsesama pemeluk agama yang sama atau bahkan antara orang tua dan anak yang menganut agama atau keyakinan yang sama.

Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Pasal 9 ayat (2) The European Convention on Human Rights (ECHR), dan Pasal 12 ayat (3) American Convention on Human Rights (ACHR), pembatasan terhadap kebebasan untuk memanifestasi agama atau keyakinan hanya dibenarkan apabila ditentukan oleh hukum atas dasar salah satu dari lima alasan yang telah ditentukan, yaitu keselamatan umum (public safety), tatanan/ketertiban masyarakat (public order), moral publik (public moral), perlindungan hak serta kebebasan orang lain, dan jika pembatasan itu memang perlu atau diharuskan (necessary) maka pembatasan tersebut harus proporsionalitas dan tidak boleh diskriminatif (halaman 206).

Salah satu kajian menarik yang diungkap adalah mengenai pembatasan-pembatasan demi melindungi hak-hak dan kebebasan fundamental orang-orang lain, di antaranya mengenai penyebaran agama secara tidak patut (proselytism) dan penghujatan (blasphemy).
Di Yunani, proselytism dipandang sebagai campur tangan yang tidak diperbolehkan terhadap agama, dan benar-benar merupakan suatu pelanggaran pidana yang oleh hukum Yunani diartikan sebagai “setiap upaya langsung atau tidak langsung untuk mengganggu atau mencampuri keyakinan agama seseorang yang berbeda agama, dengan tujuan merusak keyakinan tersebut, baik dengan menggunakan setiap bentuk bujukan atau dukungan moral atau bantuan material atau dengan cara tipu muslihat atau dengan mengambil keuntungan dari pengalaman, kepercayaan, kebutuhan, kebodohan atau keluguannya” (halaman 222).

Dengan menghukum proselytism, negara melakukan intervensi terhadap kebebasan individu dalam memanifestasikan agamanya melalui kegiatan misioner (menyebarkan agama) demi melindungi kebebasan keagamaan orang lain untuk tidak berpindah agama, sedangkan penghukuman atas blasphemy merupakan intervensi negara terhadap kebebasan berekspresi demi melindungi perasaan keagamaan atau moral, dan tidak mesti kebebasan agama. Pengadilan HAM Eropa sendiri telah mengembangkan suatu yurisprudensi yang sangat kontroversial berkenaan dengan perlindungan dari publikasi ofensif yang menyerang perasaan keagamaan sebagai bagian dari “penikmatan secara damai” kebebasan beragama (peaceful enjorment of freedom of religion) menurut Pasal 9 ECHR (halaman 224).

Selain itu, menurut Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, secara umum, yurisprudensi Pengadilan Eropa tampaknya melindungi standar-standar moral yang disamakan dengan perasaan keagamaan mayoritas di negara masing-masing, atau perasaan-perasaan keagamaan minoritas yang memperoleh simpati yang kuat (halaman 227).

Dalam tulisan Javier Martinez-Torron dan Rafael Navarro-Valls berjudul “Perlindungan Kebebasan Beragama dalam Sistem Dewan Eropa” (Bab 5), dijelaskan dari berbagai persoalan yang dialami dalam perlindungan kebebasan beragama di dunia, sudut pandang hukum negara utamanya mempersoalkan intoleransi yang terdiri atas intoleransi berorientasi agama dan intoleransi berorientasi sekularisme.

Intoleransi berorientasi agama di mana struktur legal dan konstitusional negara dirancang agar sesuai dengan perintah sebuah agama dan keyakinan lain diabaikan atau ditekan. Terjadi , misalnya, di banyak negara islam dan sejumlah negara yang memiliki Gereja Ortodoks Kristen yang kuat seperti di sejumlah kawasan Eropa Timur.

Intoleransi berorientasi sekularisme dimana negara memutuskan untuk menjadi sekler atau tidak agamis dan memisahkan antara negara dan agama. Pilihan ini biasanya dijustifikasi baik dengan alasan historis (Perancis) atau dengan menyatakan perlu kiranya mempertahankan otonomi timbal balik negara dan gereja (Amerika Serikat) atau dengan menyatakan bahwa negara, tidak bisa tidak, harus terbebasdari intoleransi keagamaan yang ada pada bagian terbesar penduduk (Turki). Javier Martinez-Torron dan Rafael Navarro-Valls menyimpulkan, pengalaman menunjukkan bahwa kadang-kadang negara-negara tersebut menerapkan sekularisme agresif dan berusaha menghilangkan rujukan aktual terhadap keyakinan maupun praktik agama dari ranah kehidupan sosial. Sekularisme menjadi semacam agama resmi (halaman 288).

Isu pelanggaran hak kebebasan beragama atau keyakinan memang mengorbankan baik laki-laki maupun perempuan, akan tetapi bagi Bahia G. Tahzib-Lie perlu dicermati kaum perempuan menjadi korban pelanggaran hak kebebasan beragama atau berkeyakinan dikarenakan mereka perempuan atau apakah pelanggaran seperti itu tidak ada kaitannya dengan soal jender (Bab 7).

Memang banyak norma HAM internasional mengakui secara khusus bahwa tidak semua pembedaan atas dasar jenis kelamin, jender, dan agama atau keyakinan dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Selain itu, banyak yurisprudensiinternasional menekankan bahwa pembedaan perlakuan – kondisi di mana situasi-situasi yang sama diperlakukan secara berbeda atau situasi yang sama sekali berbeda diberi perlakuan yang sama – dianggap sebagai tindakan diskriminasi jika tidak mempunyai dasar pembenar yang objektif dan dapat diterima. Dasar tersebut dikatakan ada bila terdapat suatu tujuan yang sah atau ada keterkaitan proporsional antara sarana atau alat yang digunakan dengan tujuan yang hendak dicapai. Tanpa adanya dasar pembenar yang objektif dan masuk akal, suatu perbedaan perlakuan merupakan tindakan diskriminatif (halaman 405-406).

Berdasarkan hal demikian, menurut Bahia G. Tahzib-Lie, perempuan yang melawan arus (dalam konteks pemakaian penutup kepala sebagai salah satu permasalahan) bisa mengatakan telah terjadi dua bentuk pembedaan perlakuan. Pertama, dia berargumen bahwa tujuan atau pengaruh atau akibat pembatasan yang dilakukan merupakan diskriminasi berdasarkan agama atau keyakinan karena secara nyata hanya mempengaruhi penganut-penganut agama yang mewajibkan pemakaian penutup kepala, sekalipun tidak semua melakukannya. Kedua, dia bisa berargumentasi bahwa tujuan atau lebih tepatnya pegaruh atau akibat pembatasan yang dilakukan oleh negara merupakan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atau gender karena persyaratan agama untuk memakai penutup kepala hanya diberlakukan bagi kaum perempuan (halaman 466).

Akhirnya ada kajian mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia yang disusun Nicola Colbran yang bekerja di Indonesia Programme, Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo (Bab 13). Colbran yang dalam catatan kakinya menyatakan langsung menulis dalam bahasa Indonesia, sangat mumpuni menyoroti kerangka normatif jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan sebagai hak asasi manusia di Indonesia dan berbagai legislasi serta kasus di lapangan. Tidak lupa dikaji pula bagaimana perwujudan hak kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam putusan pengadilan termasuk putusan Mahkamah Konstitusi.

Akhir kalam, bacalah buku ini untuk memahami perkembangan terkini hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di berbagai negara termasuk Indonesia dengan kaca mata hak asasi manusia yang tidak hanya termaktub dalam kata-kata tetapi praktik-praktik kebijakan pemerintah atau yurisprudensi pengadilan.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan