Skip to main content

Memahami Proses Pemakzulan Presiden di Indonesia


Oleh Luthfi Eddyono


Judul Buku : Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945
Penulis : Hamdan Zoelva
Penerbit : Konstitusi Press, cetakan pertama, Juni 2005
Jumlah Halaman : x + 238


Impeachment sesungguhnya adalah satu proses politik yang diinginkan memenuhi syarat proses yuridis dalam rangka mewujudkan konstitusionalisme dan rule of law dalam kehidupan bernegara
Maruarar Siahaan


Di Amerika, sejumlah anggota kongres Amerika Serikat (AS) dari kubu Demokrat mulai berfikir untuk mengajukan impeachment (pemakzulan) terhadap Presiden George Walker Bush. Pemikiran ini muncul menyusul terkuaknya program Bush yang memata-matai warga AS tanpa izin pengadilan. (Kompas, 3 januari 2006).

Akan tetapi usaha impeachment tersebut tidaklah gampang, nyatanya dalam sejarah ratusan tahun AS hanya ada satu presiden AS yang dimakzulkan, yakni Andrew Johnson pada tahun 1868 yang dituduh mengganti menteri perang secara tidak sah. Walaupun ada juga Presiden Richard M. Nixon yang turun tahta tahun 1974 untuk menghindari pemakzulan setelah ia dituduh menutupi skandal Watergate.

Berdasarkan konstitusi dan tradisi politik AS, presiden memang tidak dapat diberhentikan hanya karena mereka tidak mendapat dukungan Kongres. Presiden juga tidak dapat dipecat karena tidak kompeten. Mereka hanya dapat dipecat jika mereka dihukum karena pengkhianatan, suap, atau kejahatan tinggi serta tindak pidana ringan. Dan yang lebih rumit, penentuan (pengadilan) pemakzulan itu akan berlangsung di senat. Dalam kasus Bush, saat ini kubu Demokrat hanya memiliki 44 suara di senat, sedangkan kubu Republik (Bush) menguasai 55 suara. (Kompas, 3 Januari 2006).

Bagaimana perkembangan pemakzulan presiden di Indonesia? Buku karya Hamdan Zoelva ini akan menjelaskannya. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, terdapat dua presiden yang diberhentikan pada saat menjabat yaitu Presiden Soekarno di masa orde lama dan Presiden Abdurahman Wahid di masa reformasi. Presiden Soekarno diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara (MPRS) tahun 1967 setelah terbit Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang menuduh Presiden Soekarno terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 (hal. 3). Sedangkan Presiden Abdurahman Wahid diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) karena adanya Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat yang menuduh Presiden Abdurahman Wahid terlibat dalam penyalahgunaan uang milik Yayasan Dana Kesejahteraan Bulog yang merupakan tindak pidana korupsi (hal. 4).

Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi alasan utama pemakzulan kedua presiden tersebut yakni karena presiden kehilangan legitimasi karena tindakan dan perbuatannya yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum baik hukum pidana maupun hukum ketata¬nega-raan/pelanggaran konstitusi termasuk pelanggaran sumpah jabatan. Hampir mirip dengan praktek di Amerika Serikat, tetapi nyatanya alasan itu masih cukup rancu. Kerancuan itu sepertinya yang mendasari terbitnya perubahan ketiga UUD 1945. UUD 1945 lepas dari perubahan ketiga terlihat berusaha mengatur dengan tegas alasan-alasan pemakzulan Presiden. Hal ini memang berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan yang tidak mengatur dengan tegas pemberhentian presiden di masa jabatannya termasuk alasan-alasannya.

UUD 1945 sebelum perubahan jelas tidak mem¬berikan atu¬ran ter¬perinci mengenai pemakzulan presiden. Satu-satunya keten¬tuan implisit mengatur ke-mung¬kinan pemberhentian presiden di tengah masa jaba¬tannya ada pada Pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi: “Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewa¬ji¬ban¬nya dalam masa jabatannya ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.” Dalam Penjelasan UUD 1945 angka VII Alinea ketiga, ditentukan: “Jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa meminta pertanggungan jawab Presiden.” Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Sidang Istimewa ini diatur dalam Ketetapan MPR No. III Tahun 1978 Jo. Ketetapan MPR No. VII Tahun 1973.

Berdasarkan ketentuan itu, Presiden bisa diberhentikan dalam masa jabatannya karena alasan ‘Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat’. Persoalannya tidak ada satu pun keten¬tuan dalam peraturan perundang-undangan Indo¬nesia yang tegas mengatur tentang apa yang dimaksud ‘melanggar Haluan Negara’ tersebut. Walapun demikian, ada ketentuan lain yang juga implisit mengenai sumpah jabatan presiden yang diatur dalam Pasal 9 UUD 1945 yang berbunyi “Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adil¬nya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta ber¬bakti kepada nusa dan bangsa,” sehingga dapat dimengerti bahwa pelanggaran terhadap undang-undang (termasuk undang-undang hukum pidana) merupakan pelanggaran terhadap Haluan Negara (hal. 5-6). Akan tetapi dalam prakteknya kejatuhan presiden di Indonesia terhenti pada alasan politik semata, karena pada akhirnya tidak pernah dilakukan peradilan pidana terhadap kedua presiden yang dimakzulkan tersebut.

Kemudian tibalah saat Perubahan Ketiga UUD 1945 yang mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar dan drastis, terutama terkait dengan pengangkatan dan pemakzulan Presiden. Perubahan Ketiga tidak lagi menempatkan MPR seba¬gai lembaga tertinggi negara yang secara penuh melak¬sanakan kedaulatan rakyat. Artinya MPR bukan lagi sumber kekuasaan negara tertinggi yang mendistribusikan kekuasaan negara pada lembaga-lembaga negara lain-nya, termasuk tidak lagi memiliki kekuasaan untuk me¬ngangkat presiden dan wakil presiden.

Perubahan Ketiga tersebut juga mempertegas sistem presidensil di Indonesia karena melalui Perubahan Ketiga-lah ada penentuan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat, serta presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan dalam jabatannya apabila baik terbukti telah melakukan pelang¬garan hukum berupa penghinaan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau per¬buatan tercela; maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia. Hal ini termaktub jelas dalam Pasal 7A UUD 1945.

Dari pasal tersebut maka dapat ditemukan bahwa alasan pemakzulan presiden menurut UUD 1945 (setelah perubahan) dikelompokkan dalam dua kategori yaitu: pertama, karena presiden melakukan perbuatan melanggar hukum yang terdiri dari: pengkhianatan terhadap negara; korupsi; penyuapan; tindak pidana berat lainnya; serta perbuatan tercela, dan kedua, karena tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

Alasan pemakzulan presiden karena perbuatan melanggar hukum terrsebut dapat dikelompokkan lagi dalam dua kategori, pertama, perbuatan melanggar hukum yang termasuk tindak pidana berat yaitu: pengkhianatan terhadap negara; korupsi; penyuapan; dan tindak pidana lainnya yang diancam hukuman lima tahun atau lebih. Tindak pidana pengkhianatan terhadap negara adalah seluruh tindak pidana terhadap keamanan negara yang diatur dalam perundang-undangan hukum pidana. Demikian juga tindak pidana korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam perundang-undangan pidana.

Tidak ada suatu pembatasan minimum ancaman pidana terhadap tindak pidana pengkhianatan terhadap negara, korupsi dan penyuapan yang dapat dijadikan alasan pemakzulan presiden. Menurut Hamdan Zoelva, penulis buku yang merupakan Wakil Ketua Komisi A (Komisi Perubahan UUD 1945) pada Sidang Tahunan 2000, hal ini berarti berapa pun ancaman pidananya asalkan perbuatan itu termasuk dalam tindak pidana terhadap keamanan negara, korupsi maupun penyuapan, dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan Presiden. Berbeda dengan tindak pidana berat lainnya yang dibatasi hanya pada ancaman pidana minimum lima tahun. Pengaturan ini dikarenakan kualifikasi tindak pidana keamanan negara, korupsi dan penyuapan termasuk tindak pidana yang mengancam keberadaan negara dan pemerintahan suatu negara (hal 115-116).

Kedua, perbuatan melanggar hukum dalam bentuk perbuatan tercela. Yang dimaksud dengan “perbuatan tercela”, memiliki makna yang luas yaitu mencakup pelanggaran hukum pidana di luar pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan serta tindak pidana dengan ancaman pidana lima tahun penjara maupun perbuatan melanggar hukum lainnya, termasuk pelanggaran nilai-nilai agama, moral maupun adat (hal. 116). Perundang-undangan juga hanya memberikan pengertian umum tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan tercela. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang sedemikian rupa merendahkan martabat dan kedudukan seorang presiden (Pasal 10 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK)).

Disimpulkan bahwa seluruh tindak pidana yang diatur dalam undang-undang hukum pidana, pelanggaran hukum lain di luar pelanggaran terhadap undang-undang hukum pidana seperti pelanggaran terhadap UUD dan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya sebagai presiden serta pelanggaran terhadap nilai-nilai agama, moral dan adat dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan presiden di tengah masa jabatannya, asalkan pelanggaran itu sedemikian rupa merendahkan martabat dan kedudukan Presiden.

Dengan batasan itu, alasan pemakzulan presiden ternyata tetap bernuansa politis (dipengaruhi oleh tuntutan-tuntutan rakyat dan kekuatan politik yang ada di DPR dan MPR). Akan tetapi, dengan mencantumkan secara lugas bentuk-bentuk tindak pidana berat dalam UUD 1945, terdapat pesan bahwa sebenarnya hanya perbuatan melanggar hukum yang setingkat tindak pidana berat saja yang dapat dijadikan alasan pemakzulan presiden. Sedangkan tindak pidana dan pelanggaran hukum lain, bisa saja dijadikan alasan pemakzulan presiden bila ternyata sangat merendahkan martabat dan kedudukan presiden sehingga presiden dianggap kehilangan legitimasi dari rakyat karena perbuatannya (hal. 117). Dari sini bisa kita lihat bahwa alasan pemakzulan presiden di Indonesia menurut UUD 1945 setelah perubahan ternyata hampir sama dengan yang ada dalam Konstitusi AS.

***

Mekanisme pemakzulan dan proses pembuktian tindak pidana dalam kasus pemberhentian presiden adalah proses hukum ketatanegaraan yang berbeda dengan proses peradilan pidana. Proses peradilan dalam kasus pemakzulan presiden berakhir pada diberhentikan atau tidak diberhentikannya presiden dari jabatannya sebagai presiden, sedangkan proses peradilan pidana berakhir pada dijatuhkan atau tidak dijatuhkan pidana pada si pelaku. Proses peradilan pidana dapat dijalankan terus walaupun presiden telah dijatuhi hukuman diberhentikan dari jabatannya. Dengan demikian sesungguhnya pelanggaran presiden yang menyebabkan ia diberhentikan dari jabatan presiden adalah karena pelanggarannya terhadap hukum ketatanegaraan yaitu pelanggaran terhadap UUD.

Secara teoritis bisa saja proses peradilan pidana dijalankan terhadap presiden pada saat masa jabatannya, karena tidak ada perundang-undangan yang melarangnya, dan presiden tidak memiliki imunitas untuk diadili secara pidana pada saat menjabat presiden, akan tetapi secara praktis hal ini sulit dilakukan karena posisi presiden yang sangat strategis dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Presiden adalah kepala eksekutif yang merupakan pimpinan tertinggi yang mengendalikan kekuasaan peradilan pada tahap penyelidikan dan penyidikan memiliki peranan yang sangat menentukan dalam proses penyelidikan dan penuntutan. Walaupun kejaksaan dan kepolisian dalam melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan adalah independen namun posisi Jaksa Agung dan Kapolri yang berada di bawah presiden dan sebagai anggota kabinet akan menempatkan kejaksaan dan kepolisian dalam posisi sulit untuk menyelidiki dan menyidik seorang presiden (hal. 118).

Untuk itulah Perubahan Ketiga UUD 1945 memberikan solusi praktis, yaitu memunculkan keberadaan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945). Mahkamah Konstitusi (MK) dikatakan dalam Penjelasan UU MK, dinyatakan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dianggap merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antarlembaga negara di Indonesia. Kewenangan konstitusional MK adalah untuk melaksanakan checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Salah satu kewenangan MK yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Menanggapi keterkaitan ini, Hamdan Zoelva kemudian menyatakan bahwa proses pemakzulan seorang presiden dari jabatannya sesungguhnya sebuah proses peradilan, yaitu peradilan ketatanegaraan. Dalam hal adanya tindak pidana sebagai alasan untuk memberhentikan presiden, maka proses dan mekanisme pembuktian tindak pidana itu harus dilakukan dengan jujur dan memenuhi rasa keadilan baik bagi presiden yang sedang dituntut maupun bagi masyarakat warga negara, dan tidak boleh dilakukan hanya karena alasan politis karena permainan politik di parlemen (oleh DPR dan MPR). Karena itu perlu dibuat pengaturan yang lengkap dan terinci mengenai proses peradilan ketatanegaraan terhadap presiden baik dalam proses penyelidikan di DPR maupun dalam proses peradilan di MK (hal. 119).

Bagaimanakah proses tersebut? Maruarar Siahaan, salah seorang Hakim Konstitusi dalam bukunya Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang diterbitkan KonPress, Juni 2005, menjelaskan apabila keputusan DPR dicapai dan menghasilkan pendapat bahwa presiden/wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau keadaan dimana presiden/wakil presiden tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden/wakil presiden yang disebut dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 dan diperjelas dalam Pasal 10 ayat (2) dan (3) UU MK hal itu merupakan alasan yang sah untuk meng-impeach (menurunkan dari jabatannya) Presiden/ Wa¬kil Presiden.

Proses politik yang terjadi di DPR untuk meng-impeach presiden/wakil presiden harus diteruskan DPR kepada MPR yang selanjutnya setelah melalui proses tertentu akan memutuskan pemecatan tersebut. Tetapi proses politik tersebut, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, harus terlebih dahulu melalui proses hukum yang dilakukan oleh MK. MK akan me¬mutus apakah pendapat DPR tentang pelanggaran hukum atau keadaan presiden/wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana pendapat DPR telah benar menurut hukum.

Selanjutnya menurut Maruarar, oleh karena proses di MK adalah merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dengan proses di DPR maka meskipun hukum acara MK hanya mengatur mekanisme yang akan dilakukan di MK, sangat penting untuk memahami proses yang dilakukan di DPR. Pemahaman akan rangkaian proses pemakzulan ini karena ukuran dipenuhinya syarat-syarat permohonan pendapat DPR diajukan ke MK untuk diputus akan ditentukan juga oleh dipenuhinya syarat acara yang dilakukan di DPR. Misalnya, Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 menyatakan permohonan pemakzulan yang diajukan kepada MK hanya dapat dilakukan jika keputusan tersebut didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir dalam sidang paripurna sekurang-kurangnya 2/3 anggota. Peraturan tata tertib DPR tentu akan mengatur syarat inisiatif usul pemakzulan ini untuk diproses. (Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, KonPress, Jakarta, hal. 178-179).

Terkait dengan itu, menurut Hamdan, walaupun UUD tidak menentukan bagaimana proses penyelidikan pelanggaran di lembaga DPR dilakukan, akan tetapi proses penyelidikan adanya dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh presiden di DPR harus dilakukan dengan mendalam melalui penggunaan hak angket. Pengaturan hak angket, ternyata tidak cukup dengan peraturan tata tertib DPR yang bersifat internal, karena bisa menimbulkan perdebatan apakah tata tertib DPR itu mengikat pihak luar DPR atau tidak. Karena itu penggunaan hak angket harus dilakukan berdasarkan undang-undang. UU No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket harus diperbaharui dan disesuaikan dengan perubahan-perubahan ketatanegaraan yang terjadi. Dalam undang-undang angket itulah diatur secara jelas, terperinci serta jujur mengenai proses dan mekanisme penyelidikan terhadap presiden dilakukan oleh DPR (hal. 119).

***

Buku yang awalnya disusun untuk tesis S2 ini memang sudah cukup untuk menjadi bahan referensi dalam upaya mengungkapkan proses pemakzulan presiden di Indonesia, akan tetapi akan lebih baik apabila dalam edisi berikutnya semakin diperjelas secara lebih mendetail dan praktis mengenai pelaksanaan angket di DPR serta alur beracara di MK (walaupun memang saat ini MK belum mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang pedoman beracara pemakzulan presiden), sehingga pembaca dapat secara menyeluruh memahami proses pemakzulan presiden dan tidak lagi salah kaprah menanggapi isu-isu seputar usaha pemakzulan presiden di Indonesia.


+++

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...