Oleh Luthfi EddyonoB
Para pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara No. 20/PUU-V/2007 yang dimohonkan Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparmono, Bambang Wuryanto, Dradjad Wibowo, dan Tjatur Sapto Edy, Senin (17/12/2007), di Ruang Sidang MK.
Permohonan ini terkait dengan materi muatan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang berbunyi, “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Para Pemohon menganggap aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.
Menurut MK, para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Terhadap putusan ini Hakim Konstitusi H. Harjono dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion)
MK berpendapat bahwa pengertian “perorangan warga negara Indonesia” dalam Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) tidak sama dengan “perorangan warga negara Indonesia dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR” sebagaimana didalilkan para Pemohon. Sebab, perorangan warga negara Indonesia yang bukan Anggota DPR tidak mempunyai hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) dan Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945.
UUD 1945 secara eksplisit telah menentukan hak konstitusional bagi warga negara Indonesia, Anggota DPR, maupun DPR. Hak konstitusional setiap Anggota DPR tercantum dalam Pasal 20A Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas”.
Kemudian hak konstitusional DPR untuk melaksanakan fungsinya, baik fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan tercantum dalam Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”, serta Pasal 21 UUD 1945, yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak DPR dan Anggota DPR diatur dalam undang-undang, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20A Ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang”. Penjabaran lebih lanjut Pasal 20A Ayat (4) UUD 1945 dituangkan dalam UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang selanjutnya berdasarkan Pasal 31 undang-undang tersebut diturunkan lagi dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
Dalam Peraturan Tata Tertib DPR, hak Anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan undang-undang (hak inisiatif) telah disyaratkan harus diusulkan oleh sekurang-kurangnya 13 orang Anggota DPR [vide Pasal 130 Ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR 2005-2006].
Dengan demikian terbukti bahwa dalam Peraturan Tata Tertib DPR bahwa seorang Anggota DPR tidak dapat menggunakan haknya untuk mengusulkan suatu rancangan undang-undang (RUU) secara perseorangan, melainkan harus secara kolektif. RUU yang disusun Anggota DPR tersebut untuk menjadi RUU usul inisiatif DPR pun harus disetujui dalam Rapat Paripurna DPR.
Kekuasaan membentuk undang-undang berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 adalah DPR sebagai institusi/lembaga. Sehingga, menurut MK, sungguh janggal jika undang-undang yang dibuat oleh DPR dan menjadi kekuasaan DPR untuk membentuknya, masih dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh DPR sendiri in casu oleh Anggota DPR yang telah ikut membahas dan menyetujuinya bersama Presiden.
Walaupun ada kemungkinan kelompok minoritas di DPR yang merasa tidak puas dengan undang-undang yang telah disetujui oleh mayoritas di DPR dalam Rapat Paripurna, namun, secara etika politik (politieke fatsoen) apabila suatu undang-undang yang telah disetujui oleh DPR sebagai institusi yang mencakup seluruh anggotanya dengan suatu prosedur demokratis dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tentunya harus dipatuhi oleh seluruh Anggota DPR, termasuk oleh kelompok minoritas yang tidak setuju.
DPR, menurut MK, sebagai suatu organisasi yang berbentuk majelis (college), terdapat sejumlah pemangku jabatan tunggal (eenmansambten) namun masing-masing anggota tidak mewakili dirinya sendiri, melainkan dalam bentuk kerja sama secara kelembagaan (institutie). Sebagai keputusan kelembagaan jabatan majemuk (DPR), maka keputusan dimaksud merupakan hasil yang dicapai secara bersama-sama.
Jika para Pemohon sebagai perorangan Anggota DPR menganggap Pasal 11 Ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UUD 1945, para Pemohon berhak mengajukan usul perubahan terhadap ketentuan undang-undang a quo.
Hak demikian tidak dimiliki oleh perorangan warga negara Indonesia yang bukan Anggota DPR. Hal dimaksud sekaligus mempertegas bahwa pengertian “perorangan warga negara Indonesia” dalam Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK bukanlah sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian telah nyata bahwa substansi persoalan dalam permohonan a quo adalah persoalan legislative review, bukan judicial review.
Selain itu, menurut MK, seandainya para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), permohonan a quo juga tidak dapat dikabulkan, karena dengan dinyatakannya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, justru tidak akan ada lagi ketentuan yang mengharuskan adanya pemberitahuan secara tertulis kepada DPR. Hal ini berarti akan lebih merugikan DPR sebagai lembaga maupun Anggota DPR.
Para pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara No. 20/PUU-V/2007 yang dimohonkan Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparmono, Bambang Wuryanto, Dradjad Wibowo, dan Tjatur Sapto Edy, Senin (17/12/2007), di Ruang Sidang MK.
Permohonan ini terkait dengan materi muatan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang berbunyi, “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Para Pemohon menganggap aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.
Menurut MK, para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Terhadap putusan ini Hakim Konstitusi H. Harjono dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion)
MK berpendapat bahwa pengertian “perorangan warga negara Indonesia” dalam Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) tidak sama dengan “perorangan warga negara Indonesia dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR” sebagaimana didalilkan para Pemohon. Sebab, perorangan warga negara Indonesia yang bukan Anggota DPR tidak mempunyai hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) dan Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945.
UUD 1945 secara eksplisit telah menentukan hak konstitusional bagi warga negara Indonesia, Anggota DPR, maupun DPR. Hak konstitusional setiap Anggota DPR tercantum dalam Pasal 20A Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas”.
Kemudian hak konstitusional DPR untuk melaksanakan fungsinya, baik fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan tercantum dalam Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”, serta Pasal 21 UUD 1945, yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak DPR dan Anggota DPR diatur dalam undang-undang, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20A Ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang”. Penjabaran lebih lanjut Pasal 20A Ayat (4) UUD 1945 dituangkan dalam UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang selanjutnya berdasarkan Pasal 31 undang-undang tersebut diturunkan lagi dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
Dalam Peraturan Tata Tertib DPR, hak Anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan undang-undang (hak inisiatif) telah disyaratkan harus diusulkan oleh sekurang-kurangnya 13 orang Anggota DPR [vide Pasal 130 Ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR 2005-2006].
Dengan demikian terbukti bahwa dalam Peraturan Tata Tertib DPR bahwa seorang Anggota DPR tidak dapat menggunakan haknya untuk mengusulkan suatu rancangan undang-undang (RUU) secara perseorangan, melainkan harus secara kolektif. RUU yang disusun Anggota DPR tersebut untuk menjadi RUU usul inisiatif DPR pun harus disetujui dalam Rapat Paripurna DPR.
Kekuasaan membentuk undang-undang berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 adalah DPR sebagai institusi/lembaga. Sehingga, menurut MK, sungguh janggal jika undang-undang yang dibuat oleh DPR dan menjadi kekuasaan DPR untuk membentuknya, masih dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh DPR sendiri in casu oleh Anggota DPR yang telah ikut membahas dan menyetujuinya bersama Presiden.
Walaupun ada kemungkinan kelompok minoritas di DPR yang merasa tidak puas dengan undang-undang yang telah disetujui oleh mayoritas di DPR dalam Rapat Paripurna, namun, secara etika politik (politieke fatsoen) apabila suatu undang-undang yang telah disetujui oleh DPR sebagai institusi yang mencakup seluruh anggotanya dengan suatu prosedur demokratis dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tentunya harus dipatuhi oleh seluruh Anggota DPR, termasuk oleh kelompok minoritas yang tidak setuju.
DPR, menurut MK, sebagai suatu organisasi yang berbentuk majelis (college), terdapat sejumlah pemangku jabatan tunggal (eenmansambten) namun masing-masing anggota tidak mewakili dirinya sendiri, melainkan dalam bentuk kerja sama secara kelembagaan (institutie). Sebagai keputusan kelembagaan jabatan majemuk (DPR), maka keputusan dimaksud merupakan hasil yang dicapai secara bersama-sama.
Jika para Pemohon sebagai perorangan Anggota DPR menganggap Pasal 11 Ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UUD 1945, para Pemohon berhak mengajukan usul perubahan terhadap ketentuan undang-undang a quo.
Hak demikian tidak dimiliki oleh perorangan warga negara Indonesia yang bukan Anggota DPR. Hal dimaksud sekaligus mempertegas bahwa pengertian “perorangan warga negara Indonesia” dalam Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK bukanlah sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian telah nyata bahwa substansi persoalan dalam permohonan a quo adalah persoalan legislative review, bukan judicial review.
Selain itu, menurut MK, seandainya para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), permohonan a quo juga tidak dapat dikabulkan, karena dengan dinyatakannya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, justru tidak akan ada lagi ketentuan yang mengharuskan adanya pemberitahuan secara tertulis kepada DPR. Hal ini berarti akan lebih merugikan DPR sebagai lembaga maupun Anggota DPR.
Comments