Oleh Luthfi Eddyono
Alkisah pada 1974, Sengkon dan Karta ditangkap polisi dengan sangkaan merampok dan membunuh pasangan suami-istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Majelis hakim memutus perkara tersebut karena sangat yakin pada tuduhan jaksa penuntut umum, sehingga memutuskan Sengkon dan Karta masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara.
Belakangan Gunel mengaku sebagai pelaku sebenarnya. Sengkon dan Karta kemudian mengajukan peninjauan kembali (herziening) dan Mahkamah Agung menyatakan mereka bukanlah pelaku kejahatan tersebut. Walau begitu gugatan ganti rugi Sengkon dan Karta kepada Departemen Kehakiman ditolak.Mereka kemudian dibebaskan, meski tidak bisa menikmati umur panjang. Sengkon tewas kecelakaan tak lama setelah keluar dari penjara, sedangkan Karta meninggal kemudian akibat menderita sakit parah.
Kejadian Sengkon-Karta inilah yang menjadi salah satu alasan utama penolakan hukuman mati oleh kubu abolisionis (yang kontra hukuman mati). Betapa berbahaya pelaksanaan hukuman mati bila ternyata yang bersangkutan ternyata tidak bersalah. Penegakan hukuman mati di Indonesia nyatanya memang masih memberi peluang besar kesalahan penjatuhan hukuman tembak sampai mati tersebut [di Indonesia (Hindia Belanda) praktek eksekusi hukuman mati sejak tahun 1935 dilakukan dengan cara tembak, sebelumnya dengan cara eksekusi gantung. Hingga pada 1964 terbit UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang mengharuskan pelaksanaannya dengan cara tembak sampai mati].
Ancaman pidana mati (sebenarnya merupakan pembunuhan berencana oleh negara) yang awalnya bersumber pada KUHP (Wetboek van Strafrecht—Wv.S.) yang disahkan pada 1 Januari 1918, notabene warisan kolonialis Belanda. Saat ini di kebanyakan negara Eropa sudah dihapus dalam sistem hukum mereka (termasuk Belanda sendiri).
KUHP sendiri memuat dua pasal ancaman hukuman mati yaitu Pasal 104 tentang kejahatan terhadap keamanan negara atau makar dan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana. Banyak pihak yang menyatakan penguatan pascahukuman mati oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) merupakan politik kolonial untuk menerapkan ancaman itu bagi kalangan Bumi Putra. Selanjutnya dalam praktiknya terus digunakan sampai pada rezim otoritarian Orde Baru untuk menciptakan rasa takut para aktivis serta menghancurkan lawan politik.
Sedangkan mereka yang pro-hukuman mati (retentionis) berpendapat hukuman mati merupakan pidana tepat bagi pelaku pembunuhan (paham pembalasan). Dengan kata lain bila hukuman mati memang konsisten bermaksud untuk membalas, maka seandainya terpidana mati yang telah dieksekusi ternyata tidak bersalah, maka para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi) yang terlibat pada penghukuman mati tersebut harus pula dihukum mati sebagai balasannya.
Alasan lain pelaksanaan hukuman mati adalah anggapan hukuman mati lebih ekonomis daripada hukuman seumur hidup. Pidana mati juga masih tercantum dalam sejumlah perundang-undangan (beberapa pasal dalam KUHP, Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dll). Beberapa kalangan juga mendasarkan pemikiran hukuman mati berdasarkan keyakinan agama.
Kaitan dengan pelaksanaan hukuman mati ini, pandangan masyarakat internasional cenderung menolak penerapannya. Terlihat dari kesepakatan dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) tahun 1966 yang berlaku sejak 1976. Hingga 9 Desember 2002 berdasarkan data Imparsial, tercatat telah 149 negara melakukan ratifikasi/aksesi terhadap kovenan ini. Khusus terhadap penghapusan hukuman mati, 49 negara telah pula melakukan ratifikasi/aksesi terhadap Second Optional Protocol of ICCPR (1990) Aiming of The Abolition of Death Penalty.
Parlemen Indonesia sendiri telah mengambil langkah yang perlu untuk mengesahkan ratifikasi ICCPR tersebut pada 30 September 2005. Kemudian pada 23 Februari 2006 instrumen aksesi telah disimpan di PBB (berdasarkan Pasal 49 ayat (2) ICCPR kovenan berlaku tiga bulan setelah instrumen aksesi disimpan). Walau belum meratifikasi Second Optional Protocol of ICCPR (1990) Aiming of The Abolition of Death Penalty, sebagai bentuk kewajiban negara dalam melakukan promosi (to promote), memberikan perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fulfill) hak untuk hidup (rights to life) yang termasuk dalam non-derogable rights, secara tegas hak untuk hidup ini telah pula diadopsi dalam Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945.
Dengan kata lain konstitusionalitas hak atas hidup (merupakan penolakan atas hukuman mati) telah terjamin dalam konstitusi yang menjadi dasar sistem hukum Indonesia. Undang-undang yang memberlakukan hukuman mati bisa diuji materil di Mahkamah Konstitusi. Hal ini agar kita bisa terus menerus “mengenakan” jas merah Sengkon-Karta [mengutip Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) Presiden Soekarno pada peringatan hari Proklamasi 17 Agustus 1966].
Alkisah pada 1974, Sengkon dan Karta ditangkap polisi dengan sangkaan merampok dan membunuh pasangan suami-istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Majelis hakim memutus perkara tersebut karena sangat yakin pada tuduhan jaksa penuntut umum, sehingga memutuskan Sengkon dan Karta masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara.
Belakangan Gunel mengaku sebagai pelaku sebenarnya. Sengkon dan Karta kemudian mengajukan peninjauan kembali (herziening) dan Mahkamah Agung menyatakan mereka bukanlah pelaku kejahatan tersebut. Walau begitu gugatan ganti rugi Sengkon dan Karta kepada Departemen Kehakiman ditolak.Mereka kemudian dibebaskan, meski tidak bisa menikmati umur panjang. Sengkon tewas kecelakaan tak lama setelah keluar dari penjara, sedangkan Karta meninggal kemudian akibat menderita sakit parah.
Kejadian Sengkon-Karta inilah yang menjadi salah satu alasan utama penolakan hukuman mati oleh kubu abolisionis (yang kontra hukuman mati). Betapa berbahaya pelaksanaan hukuman mati bila ternyata yang bersangkutan ternyata tidak bersalah. Penegakan hukuman mati di Indonesia nyatanya memang masih memberi peluang besar kesalahan penjatuhan hukuman tembak sampai mati tersebut [di Indonesia (Hindia Belanda) praktek eksekusi hukuman mati sejak tahun 1935 dilakukan dengan cara tembak, sebelumnya dengan cara eksekusi gantung. Hingga pada 1964 terbit UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang mengharuskan pelaksanaannya dengan cara tembak sampai mati].
Ancaman pidana mati (sebenarnya merupakan pembunuhan berencana oleh negara) yang awalnya bersumber pada KUHP (Wetboek van Strafrecht—Wv.S.) yang disahkan pada 1 Januari 1918, notabene warisan kolonialis Belanda. Saat ini di kebanyakan negara Eropa sudah dihapus dalam sistem hukum mereka (termasuk Belanda sendiri).
KUHP sendiri memuat dua pasal ancaman hukuman mati yaitu Pasal 104 tentang kejahatan terhadap keamanan negara atau makar dan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana. Banyak pihak yang menyatakan penguatan pascahukuman mati oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) merupakan politik kolonial untuk menerapkan ancaman itu bagi kalangan Bumi Putra. Selanjutnya dalam praktiknya terus digunakan sampai pada rezim otoritarian Orde Baru untuk menciptakan rasa takut para aktivis serta menghancurkan lawan politik.
Sedangkan mereka yang pro-hukuman mati (retentionis) berpendapat hukuman mati merupakan pidana tepat bagi pelaku pembunuhan (paham pembalasan). Dengan kata lain bila hukuman mati memang konsisten bermaksud untuk membalas, maka seandainya terpidana mati yang telah dieksekusi ternyata tidak bersalah, maka para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi) yang terlibat pada penghukuman mati tersebut harus pula dihukum mati sebagai balasannya.
Alasan lain pelaksanaan hukuman mati adalah anggapan hukuman mati lebih ekonomis daripada hukuman seumur hidup. Pidana mati juga masih tercantum dalam sejumlah perundang-undangan (beberapa pasal dalam KUHP, Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dll). Beberapa kalangan juga mendasarkan pemikiran hukuman mati berdasarkan keyakinan agama.
Kaitan dengan pelaksanaan hukuman mati ini, pandangan masyarakat internasional cenderung menolak penerapannya. Terlihat dari kesepakatan dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) tahun 1966 yang berlaku sejak 1976. Hingga 9 Desember 2002 berdasarkan data Imparsial, tercatat telah 149 negara melakukan ratifikasi/aksesi terhadap kovenan ini. Khusus terhadap penghapusan hukuman mati, 49 negara telah pula melakukan ratifikasi/aksesi terhadap Second Optional Protocol of ICCPR (1990) Aiming of The Abolition of Death Penalty.
Parlemen Indonesia sendiri telah mengambil langkah yang perlu untuk mengesahkan ratifikasi ICCPR tersebut pada 30 September 2005. Kemudian pada 23 Februari 2006 instrumen aksesi telah disimpan di PBB (berdasarkan Pasal 49 ayat (2) ICCPR kovenan berlaku tiga bulan setelah instrumen aksesi disimpan). Walau belum meratifikasi Second Optional Protocol of ICCPR (1990) Aiming of The Abolition of Death Penalty, sebagai bentuk kewajiban negara dalam melakukan promosi (to promote), memberikan perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fulfill) hak untuk hidup (rights to life) yang termasuk dalam non-derogable rights, secara tegas hak untuk hidup ini telah pula diadopsi dalam Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945.
Dengan kata lain konstitusionalitas hak atas hidup (merupakan penolakan atas hukuman mati) telah terjamin dalam konstitusi yang menjadi dasar sistem hukum Indonesia. Undang-undang yang memberlakukan hukuman mati bisa diuji materil di Mahkamah Konstitusi. Hal ini agar kita bisa terus menerus “mengenakan” jas merah Sengkon-Karta [mengutip Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) Presiden Soekarno pada peringatan hari Proklamasi 17 Agustus 1966].
Comments